Jumat, April 19, 2024

Can’t Relate Soal Isu MRT

Farhatani
Farhatani
Suka dengerin buku dan baca lagu.

Akhir-akhir ini kita sama-sama norak karena akhirnya kita melihat, merasakan, dan memiliki satu moda transportasi yang ditunggu-tunggu sejak lama: Mass Rapid Transit, a.k.a MRT.

Perang komentar soal apa? Ada beberapa foto yang viral dan kita semua sepakat kalau dua hal ini membuat perdebatan di kolom komentar menggila. Yang pertama, foto sebuah kelompok keluarga yang lesehan di emperan stasiun. Kedua, soal orang-orang yang enggan antri di tempat yang seharusnya sebelum menaiki MRT.

Kita menemukan orang-orang norak berkomentar di Twitter, Facebook, Instagram… ah banyak sekali ternyata platform yang digunakan untuk perang komentar.

Orang-orang norak ini mengkritik dengan norak kepada sekelompok orang yang lesehan di emperan stasiun. Foto itu menampilkan kelompok ibu-ibu (dengan bapak-bapak yang terlihat santai tanpa rokok) bersama anak-anaknya yang dengan santai membuka makanan dan minuman yang telah dibawa dan sepertinya dipersiapkan dengan matang.

Apakah ada kesalahan di sini? Jelas. Ini bukan Stasiun Bekasi 10 tahun lalu, dimana kita bisa memesan nasi uduk di peron stasiun.

Tapi, bisakah kita tidak menghujatnya terlebih dengan norak dan merasa dirinya manusia paling patuh dan modern? Tentu tidak.

Kita tahu, semua orang terpana melihat stasiun MRT yang didesain tidak seperti Stasiun Gang Sentiong. Kita juga dengan norak mengambil video di dalam MRT karena dianggap sangat mirip dengan kereta-kereta di luar negeri, apalagi melihat ada orang yang lebih norak (dari kita) dengan bergelantungan di dalam kereta.

Lalu orang-orang dengan enteng mencaci: udah bagus-bagus dibikin, eh malah gelantungan di kereta. Udah susah-susah dibikin, malah lesehan terus makan di stasiun. Udah ribet-ribet dibikinin aturan, masih aja gak bisa antri.

Template kritik ini akan dilanjutkan dengan: Nih, kayak Jepang dong! Nih, cara antri di eskalator dan mau masuk kereta! Nih, orang-orang Jepang bisa teratur! Jangan dirusak, ini karya presiden gue! Ah enggak, ini karya gubernur-gubernur sebelumnya!

Untuk saya, penduduk asli Bekasi yang pernah dan akan terus dengan senang hati berdesak-desakan di Commuter Line di jam sibuk, lalu kini hidup di jantung Yogyakarta dengan melihat penumpang Trans Jogja memakai helm di dalam bis, isu MRT adalah isu Jakartasentris yang masyarakat Jogja atau daerah lain can’t relate.

Tidak semua orang di Indonesia bisa merasakan keresahan yang sama dengan orang-orang norak tadi. Saya menemukannya setelah terbiasa menggunakan KA Lokal dan Commuter Line yang terjadwal, lalu beradaptasi dengan Trans Jogja yang membuat saya terkadang muak menunggu transit bis.

Bahkan pola masyarakatnya pun berbeda sekali. Kaum urban Jabodetabek mulai meninggalkan kebiasaan menggunakan kendaraan pribadi dan mulai menggunakan transportasi umum, seperti Commuter Line. Walaupun mengetahui di dalam keputusan itu mengandung banyak risiko: kereta datang telat, berdesak-desakan, lupa mengisi top up, hingga pelecehan seksual.

Sedangkan di Yogyakarta yang minim angkutan umum plus masyarakatnya belum terbiasa dengan angkutan umum yang ada, mereka masih mengandalkan kendaraan pribadi, atau setidaknya transportasi online untuk mobilisasi setiap harinya. Apa artinya? Kendaraan pribadi: motor atau mobil, masih akan laku di sini.

Alasan lain mengapa masyarakat Yogyakarta masih mengandalkan kendaraan pribadi adalah, transportasi umum masih belum menjangkau tempat tinggal atau tempat kerjanya.

Misalnya, jika rumah saya di Piyungan dan ingin berangkat ke kampus di Jalan Gejayan dengan transportasi umum, maka saya harus menggunakan bis kota dari Wonosari ke Terminal Giwangan terlebih dahulu, dengan waktu tempuh kurang lebih 20-30 menit. Dari Terminal Giwangan saya akan melanjutkan perjalanan dengan Trans Jogja dengan berbagai trayek: 4A, 4B, atau 3A lalu transit di Halte Kehutanan dan berganti ke 2A. Waktu yang dihabiskan dari Terminal Giwangan ke Jalan Gejayan sekitar 30 menit.

Total satu jam dibutuhkan hanya untuk berangkat ke kampus. Sedangkan dengan sepeda motor, waktu tempuh bisa dipangkas hingga 30 menit. Itu sudah termasuk macet luar biasa (menurut warga Jogja luar biasa, untuk saya biasa saja) di depan Mal Lippo.

Itu belum dihitung biaya, apalagi kalau hujan turun di pagi hari. Lebih baik tarik selimut lagi.

Dari segi apa pun, warga Jogja akan lebih senang memilih mengendarai sepeda motor. Trans Jogja belum sebagus Transjakarta, bis kota kadang masih sering ngetem, mau naik ojol juga mahal. Jadi, cita-cita ‘beralih ke transportasi umum’ di Yogyakarta (atau mungkin di daerah lain) masih belum berlaku. Mungkin 5-10 tahun lagi.

Apakah pembaca sekalian berpikir untuk berkomentar ‘Bodo amat woi, itu kan di Jogja, bukan di Jakarta. Gue hidup di Jakarta!’? Saya juga bodo amat soal pembahasan norak kalian tentang MRT.

Kalian selalu komentar ‘ini nih kelakuan warga negara +62’ padahal yang dimaksud kelakuan warga 021. Heuheu.

Farhatani
Farhatani
Suka dengerin buku dan baca lagu.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.