Rabu, April 24, 2024

Candu Nyinyir, Hilangnya Akal Sehat Demokrasi

Adib Khairil Musthafa
Adib Khairil Musthafa
Tukang tidur yang banyak mimpi | Pegiat Literasi di Tasawwuf Institute Malang |

“Beruntunglah penguasa jika rakyatnya tak pernah berpikir”

~ Adolf Hitler

Kasak-kusuk potret politik di Indonesia memang nampak tak pernah bosan jika diperbincangkan, kecemasan kerusuhan dalam kontestasi pilkada DKI yang lalu memang sudah terlewatkan walau menyisakan banyak bekas di benak kita, mulai dari isu-isu yang sebanarnya nol substansif, munculnya istilah-istilah “Cebong dan Kampret”.

Bahkan sampai isu riskan yang tak pantas dijadikan alat politik, SARA misalnya, yang pada akhirnya menyeret gubernur petahana DKI Jakarta Ahok, Rasa khawatir lantaran cekaman situasi politik memang sudah terlewatkan, masyarakat kita sudah dewasa dalam menempatkan demokrasi pada jalur yang tepat (On the track).

Fanatisme Politik

Perang opini dua kubu Prabowo dan Jokowi bukanlah hal yang baru, lahirnya istilah cebong dan kampret contohnya, sebenarnya sudah di mulai dari tahun 2014 berlanjut di DKI Jakarta, dan sekarang semakin berkembang biak di perhelatan pilpres 2019.

Secara historis istilah cebong berawal dari Jokowi yang menyukai katak, bahkan di istana negara katak menjadi salah satu hewan pelliharaan Jokowi, katak merupakan hewan yang mengalami metamorfosis, salah satu proses menetasnya telur menjadi kecebong.

Itulah salah satu yang menyebabkan kubu pendukung jokowi disebut “cebong”. Sedangkan istilah “Kampret” merupakan plesetan dari koalisi merah putih, seperti kita ketahui koalisi merah putih merupakan koalisi pendukung pasangan Prabowo-hatta dalam pilpres 2014.

Koalisi tersebut disingkat KMP, sehingga oleh kubu Jokowi kerap kali singkatan itu diplesetkan jadi “KMPret”. Munculnya fanatisme politik dalam kontestasi pilpres  memang cukup mengkhawatirkan, warga negara yang sepantasnya memiliki kedewasaan berpikir memang nampak memprihatinkan.

Masyarakat yang masih tak lepas dari budaya politik konservatif yang mengaggap bahwa kemenangan adalah tujuan utama kontestasi, simbol pertaruhan yang harus mengorbankan persaudaraan, kerukunan, bahkan kehormatan sehingga menghalalkan segala cara dan pada akhirnya mengorbankan kepentingan publik. Padahal ruang demokrasi yang sepantasnya di bangun lewat perhelatan pilpres sebagai instrumennya tak lain dan tak bukan membawa kepentingan publik.

Benar kata A. Joseph Schlesinger yang mengatakan bahwa “Kontestasi politik sejatinya selalu menyisakan rongga ambisi yang memunculkan fanatisme membabi buta” Sehingga bukan akal sehat yang digunakan dalam praktik kita melainkan sebuah sentimental politik yang pada akhirnya narasi yang dibangun miskin ide dan gagasan.

Etika Verbal

Dari fanatisme politik, terjadilah perang opini yang saling merespon bahkan karena tensi kedua kubu yang sangat fanatik menghidangkan pertarungan yang nol substansi, bahkan kefanatikan ini memunculkan pelanggaran “etika verbal” dari masing-masing kubu.

Berbeda pilihan merupakan fenomena yang “Sunnatullah” termasuk berbeda dalam hal pandangan politik, perbedaan tentu kita sepakat merupakan hukum tuhan yang kita sadar akan semua itu.

Seharusnya kesadaran perbedaan itu menjadi roh dalam menyampaikan tutur kata kita. Persoalan yang terjadi perbedaan pandangan politik dalam masyarakat kita malah menjadi sarang berkembangnya bahasa verbal yang kurang etis, cara menyampaikan ketidak cocokan atau ketidak setujuan terhadap pendapat orang lain sering kali disampaikan dengan bahasa yang kurang baik, ini yang di sebut fenomena “nyinyir”.

Kebebasan aspirasi tentu dilindungi dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum, namun filterisasi pendapat tersebut kadang yang sangat kurang diperhatikan, digitalisasi dan perkembangan teknologi seakan melahap habis setiap kritik maupun pendapat tanpa ada penyaringan.

Kebebasan yang tak terbatas ini seharusnya dapat kita kelola sebaik mungkin, mengkritik tanpa menghilangkan akal sehat, namun yang terjadi dewasa ini, narasi yang sering dibangun oleh para elite yang tak bertanggung jawab, adalah memfitnah untuk mempengaruhi orang lain, bahkan tak heran ujaran kebencian seakan menjadi kebebasan tak terbatas dalam ruang demokrasi kita.

Tidak jarang tuturan fitnah diperkuat dengan gambar, video bahkan dalil kitab suci. Cara ini yang paling dianggap efektif dalam mempengaruhi masyarakat kita yang minim pengetahuan tentang objek fitnahnya.

Fenomena disrubsi tampaknya semakin menjalar, digitalisasi telah hidup bebas, tak hanya dalam ruang ekonomi, hoby, maupun bisnis, namum Fenomena itu menjarah dalam ruang digitalisasi kita.

Sebuah kebanggaan memang kekerasan tak lagi dalam ranah fisik, namun perlu menjadi catatan kekerasan itu telah berpindah dalam ruang digital. Tak jarang kita temukan terutama di media sosial. Penyebaran Hoax, Ujaran Kebencian, penipuan dan berujung pada bullying sehingga muncullah suatu kecanduan,

Perang opini yang nol substansi itu pada akhirnya akan memunculkan suatu kecanduan, kecanduan untuk saling mem-bully, menghina dan menjatuhkan kedua pendukung fanatik, sudah saatnya ruang digital yang semakin berkembang kita isi dengan kegiatan-kegiatan bermanfaat dan konstruktif, bukan hanya sekedar nyiyir dan saling membully, bukan hanya sekedar membangga-banggakan diri siapa yang paling “Cebong” maupun siapa yang paling “kampret”.

Kkarena sejatinya cebong maupun kampret adalah sebuah narasi kebencian yang tak kan pernah berkesudahan jika kita dengan rajin merawatnya dalam ruang publik kita, memang secara fisik kita tak bertarung dan mengaggap hanya sebatas guyonan ringan semata, tapi bagaimana jika sebenarnya secara psikis ada pergulatan emosional yang ditumpahkan lewat media sosial, sehingga tentu kita tak akan mau menjadi Jonru, Ahok, atau Ratna Serumpaet yang baru dalam ruang demokrasi yangg semakin terbuka ini.

Perlu diwaspadai  dalam demokrasi yang semakin terbuka bebas ini, kita tak boleh terjebak dalam kejahatan verbal/nyinyir, sudah sepantasnya sebagai warga negara yang menjunjung tinggi “Bhinneka Tunggal ika” kita terapkan dalam kedewasaan berdemokrasi, bukan hoax, bukan pula ujaran kebencian yang dijual, akan tetapi ide, gagasan dan visi yang harusnya di sampaikan kepada masyarakat.

Adib Khairil Musthafa
Adib Khairil Musthafa
Tukang tidur yang banyak mimpi | Pegiat Literasi di Tasawwuf Institute Malang |
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.