Rabu, April 24, 2024

Buruh Tidak Selalu Salah, Mereka Korban

Wahyu Eka Setyawan
Wahyu Eka Setyawan
Alumni Psikologi Universitas Airlangga. Bekerja di Walhi Jawa Timur dan sebagai asisten pengajar. Nahdliyin kultural.

Saya bertanya kepada anda sekalian, apakah salah jika seorang buruh menuntut untuk mendapatkan upah layak ?, Apakah perusahaan akan bangkrut begitu saja ketika menaikan upah ?, Lantas mengapa orang-orang eksekutif mendapatkan keuntungan berlebih ?. Semua pasti secara tidak langsung akan menyalahkan si buruh, atau macam menjadi penengah, dengan menawarkan solusi-solusi ala motivator. Usahalah, kuliahlah hingga minum bodrex-lah. Itu umum kita temui di era masyarakat yang mendewa-dewakan harta dan jabatan. Sebuah konstruksi orde baru yang masih melekat hingga sekarang.

Era Industrialisasi memang menyimpan sebuah duka, dimana terjadi transisi masyarakat secara mendadak. Tiba-tiba ada investasi masuk, lalu dengan iming-iming pekerjaan dan harga tanah lumayan, bim salabim jadilah mereka proletar. Memang tidak sesederhana itu, namun kejadian itu terus terjadi, terus direproduksi hingga menjadi sebuah pola yang sistematis. Tak jarang banyak yang menyesal, alih profesi tak senikmat janji makelar tanah.

Mereka harus berjibaku dengan persaingan antar sesama manusia, bahkan dengan saudaranya sendiri untuk memperoleh pekerjaan. Tak jarang mereka yang belum menjadi pekerja, harus rela membayar untuk kursus ini dan itu, agar dapat sertifikat tentu untuk kerja. Begitu juga kesempatan kerja terbatas, bahkan ada yang mematok uang pendaftaran ketika sesorang melamar kerja. Ini kerja apa sekolah ?. Lalu, persoalan perusahaan penyalur pekerja, sehingga ada mekanisme yang cukup rumit, seperti perjanjian aneh yang pada intinya semakin menindas pekerja.

Relevansinya apa dengan persoalan buruh yang setiap hari semakin pelik. Upah murah, hak-hak normatif tidak dipenuhi adalah imbas tidak seimbangnya lapangan pekerjaan. Ranah produksi yang semakin menurun, hanya dikuasai beberapa gelintir orang juga menjadi masalah. Ketika seseorang ingin menuntut haknya, namun di sisi lain terbentur masalah takut dipecat. Itu dilematis, semua memang berawal dari akumulasi primitif disana. Perpindahan dan peralihan alat produksi, yang dimana awalnya milik bersama atau tersebar pada beberapa orang menjadi milik perorangan saja. Lalu, tidak hanya berhenti di situ saja, selain alat produksi mereka juga menjadi pekerja di tanah yang dulu milik mereka.

Transisi itulah yang menjadikan posisi buruh semakin dilematis, pemilik modal secara semena-mena terkadang melakukan apapun, termasuk memalak buruh agar keuntungannya tidak berkurang. Upah layak seharusnya disesuaikan kebutuhan hidup, jika perusahaan mengeluh terkait naiknya upah, apa mereka tak melihat kebutuhan semakin meningkat ?, Pendidikan, kesehatan dan kebutuhan pokok melambung bebas, semakin mencekik mereka.

Terkadang ketika perusahaan sedang dalam kondisi terbaiknya, jam kerja mereka ditambah dengan bayaran tetap, paling upah lembur yang sesuai itung-itungan perusahaan. Mereka-pun tidak akan pernah sejahtera, uang mereka akan habis untuk kebutuhan pokok. Pas mereka sakit, lalu tidak masuk kerja dibilang alasan dan malas. Secara psikologis-pun mereka terancam, stress, depresi hingga persoalan bunuh diri.

Persoalan buruh bukan hanya upah, namun waktu kerja dan kesejahteraan mereka. Negara seharusnya hadir sebagai penggambaran dari rakyat, membuat kebijakan yang objektif melihat persoalan. Melalui kajian yang benar, untuk melihat persoalan buruh ini.

Apa yang terjadi pada buruh Kembang Api di Tangerang atau Es Krim Aice, merupakan dampak dari persoalan kesemena-menaan pemilik modal. Mereka bertindak berdasarkan paham masa bodoh dengan buruh, yang penting untung dan kaya sendirian. Masak ya tega buruh Aice memproduksi hampir berbox-box es, namun upah masih rendah jika dibandingkan upaya dan usaha mereka, belum lagi faktor hak lainnya. Dengan entengnya perusahaan memecat mereka, hanya karena menuntut hak dasarnya.

Jika dilihat dengan perspektif manajemen sumber daya, mereka itu tidak tahu diri, wong rata-rata ilmu itu berpihak pada pemilik kok. Entah akan berpikir menurun lah, ini lah, namun persoalan epistemik seperti upah, kebutuhan istirahat dan kehidupan sosial tidak diperhitungankan. Mereka hanya melihat sinkronisasi kerja efektif dengan akumulasi modal.

Buruh Kembang Api contohnya, disuruh bekerja giat, upah di bawah layak serta keamanan yang tidak terjamin. Ketika terjadi kecelakaan siapa yang disalahkan ?, buruh ?, Waras, ya mereka yang rakus untuk dapat keuntungan-lah.

Ketika solusi muncul jadilah pemilik perusahaan, mbok ya mikir memang gampang. Persoalan modal itu susah, tidak ada peminjaman tanpa syarat. Sementara tanah hanya tinggal rumah, otomatis pinjam uang sama dengan bunuh diri. Ini dampak dari perampasan tanah, pertanian menurun, kemiskinan meningkat, kualitas hidup dipertanyakan. Lahan yang diambil untuk industri apalagi itu produktif, mengancam banyak hal.

Selain berbicara persoalan pekerjaan, hal lain yang penting untuk disoroti ialah perusakan lingkungam hidup. Mereka yang muak dengan industri akan keluar dan mulai mengokupasi tanah, membuka lahan hutan, terjadilah perusakan hutan. Belum lagi ranah ekstraktif, mereka akan beralih menjadi penambang, mengambil secara kalap apa yang ada di alam. Hanya untuk kebutuhan sendiri, semua relasional menjadi satu kesatuan.

Jika menilik persoalan buruh yang semakin hari semakin dirampas haknya. Merupakan hasil dari perpindahan alat produksi, terutama transisi dari pertanian ke industri. Selanjutnya persoalan semakin rusaknya lingkungan hidup, juga tidak lepas dari dampak peralihan tersebut. Bahkan yang lebih ekstreem akibat ulah ekspansi perusahaan, tentu dalih yang digunakan sama, yakni membuka lapangan kerja dan distribusi kesejahteraan. Sekaligus menghasilkan pengangguran baru, serta penindasan baru lagi. Amazing!!! 

Logika yang saya tawarkan untuk membantah Menteri Perindustrian ialah, mbok ya kamu ini mikir, semakin banyak proletar dan menyusutnya lahan pertanian itu indikasi kesejahteraan suatu negara semakin jauh. La masak orang yang sudah mandiri, dipaksa bergantung dengan orang lain. Apalagi dia pemilik modal, yang terkadang tidak objektif dan rasional dalam berpikir kemanusaiaan.

Buruh Aice ataupun Kembang Api, mereka itu contoh nyata penindasan. Pemilik untung besar, yang bikin produk disiksa setengah mati. Satu produk Aice berharga 2000 perak, upah buruhnya paling tidak ada 100san perak, upah karyawan (buruh menengah) ngehek diambil dari 400 perak perbiji. Di hitung dengan bahan baku, serta biaya packing dan marketing. Semua tidak lebih dari 1500 perak. Maka keuntungan yang diperoleh 500 perak.

Jika diakumulasikan dengan berjuta-juta produk terjual, keuntungannya berlipat-lipat. Buruh lagi yang tersiksa, karena kurang kuliah akibat pendidikan mahal. Guyonan khas karyawan ngehek, yang belum pernah menjadi buruh Kembang Api atau Aice

NB: itung-itungan hanya ilustrasi.

Wahyu Eka Setyawan
Wahyu Eka Setyawan
Alumni Psikologi Universitas Airlangga. Bekerja di Walhi Jawa Timur dan sebagai asisten pengajar. Nahdliyin kultural.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.