Setiap tanggal 1 Mei, dunia internasional memperingatinya sebagai Hari Buruh atau yang terkenal dengan istilah Mayday. Sebagai bentuk apresiasi atas buruh, pemerintah Indonesia menjadikan tanggal 1 Mei sebagai hari libur nasional.
Di era Revolusi Industri 4.0 dimana telah memunculkan kekhawatiran terjadinya PHK besar-besaran, harus menjadi momentum untuk mendorong profesionalisme dan kompetensi sebagai salah satu persyaratan dalam memenangkan persaingan di pasar kerja.
Sebagaimana diketahui, bahwa prinsip utama dari revolusi industry 4.0 yakni interoperabilitas, seperti objek data, otomisasi mesin dan robot, dan tenaga kerja yang harus dapat berkomunikasi melalui Internet of Things (IoT) dan Internet of People (IoP).
Melalui prinsip yang paling esensial ini diharapkan membuat industri menjadi pandai. Dampaknya tentunya efisiensi dan peningkatan kapasitas produksi yang pada ujungnya akan meningkatkan daya saing industri lokal.
Prinsip esensial yang demikian, akibatnya diskursus mengenai hambatan implementasi revolusi 4.0 lebih banyak pada isu-isu mengenai dampak pengangguran serta ketimbangan tekhnologi antar daerah di Indonesia yang masih begitu nyata.
Sebut saja prediksi hilangnya 57% pekerjaan saat ini yang diperkirakan akan hilang karena tergerus revolusi industry 4.0 akibat diganti oleh robot. Dan tentunya akan berkonsekwensi terhadap peningkatan jumlah pengangguran.
Hal ini juga sesuai dengan teori fungsi produksi dalam pendekatan isocost dan isoquant. Dimana disebutkan bahwa dalam mendorong peningkatan produktifitas dengan tingkat biaya produksi total yang sama, perlu dilakukan kombinasi antara 2 faktor produksi atau lebih, sehingga dalam tingkat biaya produksi (budget line) yang sama, akan terjadi penambahan atau pengurangan faktor-faktor produksi seperti bahan baku, tenaga kerja dan tekhnologi.
Artinya, dengan revolusi industri 4.0 yang mensyaratkan otomisasi mesin, robot, IoT dan IoP, kekhawatiran meningkatnya pengangguran menjadi sangat rasional dan logis. Oleh sebab itu, pemerintah harus menjawab kekhawatiran-kekhawatiran tersebut dengan beberapa kebijakan strategis dalam rangka melakukan perlindungan terhadap butuh atau tenaga kerja Indonesia.
Perlindungan Dalam Sistem Pengupahan
Sistem pengupahan yang berlaku di Indonesia belum mampu mendorong sistem produktifitas dan menciptakan ekonomi usaha yang berkelanjutan. Bahkan cenderung mendorong terjadinya benturan antara pengusaha dengan pekerja.
Sebab setiap kali pemerintah mengeluarkan kebijakan kenaikan upah selalu diikuti dengan kenaikan harga komuditas barang dan jasa. Akibatnya daya beli pekerja juga tidak mengalami peningkatan karena kanaikan upah tidak dibarenggi dengan kenaikan nilai uangnya.
Sistem pengupahan yang demikian juga cenderung tidak adil dan hanya menguntungkan perusahaan besar khususnya TNC/MNC dan cenderung merugikan perusahaan kecil. Pasalnya sistem pengupahan yang ada tidak mempertimbangkan skala kegiatan ekonomi perusahaan, kemampuan usaha, lokasi usaha, termasuk kinerja perusahaan dari sisi kinerja keuangannya. Akibatnya kewajiban untuk membayar upah dalam semua level usaha adalah sama, baik itu perusahaan besar – baca TNC/MNC – dengan UMKM.
Akibatnya akan terjadi distorsi ekonomi dan produktifitas. Distorsi ekonomi akan ditandai dengan ukuran kenaikan biaya produksi akibat kenaikan upah apakah sebanding dengan tingkat kenaikan produktifitas dan keuntungan atau tidak. Jika tidak maka perusahaan akan cenderung untuk merekrut tenaga kerja baru dengan beragam skema untuk menghindari terjadinya kenaikan biaya akibat kenaikan upah.
Hal ini sangat mungkin dilakukan, pasalnya dalam mekanisme pasar tenaga kerja yang ada saat ini, sisi penawaran tenaga kerja jauh lebih besar dibandingkan dengan sisi permintaannya.
Distorsi produktifitas ditandai dengan tidak adanya perbedaan upah antara tenaga kerja terampil, rajin dan disiplin dengan tenaga kerja tidak terampil, malas dan tidak disiplin. Akibatnya rajin tidak rajin, disiplin dan tidak disiplin tidak akan mempengaruhi besaran upah yang diterimanya.
Implementasi upah berbasis kinerja menjadi salah satu solusi untuk mengatasi distorsi tersebut. Namun bisa dipastikan kebijakan upah berbasis kinerja juga rentan terhadap asas pemerataan dan keadilan. Karena hanya tenaga kerja terampil saja yang dipastikan akan terserap oleh pasar.
Oleh sebab itu, gagasan upah sebagai jaring pengaman sudah layak untuk dipertimbangkan pemerintah, yakni dengan memperluas cakupan dan makna upah sebagai jaring pengaman, bukan hanya bagi pekerja, tetapi juga bagi perusahaan kecil dan UMKM.
Selama ini konsep upah sebagai jaring pengaman semata-mata dilihat dari aspek untuk melindungi pekerja agar upah tidak terus merosot akibat ketidakseimbangan pasar tenaga kerja, serta melindungi upah pekerja pada level paling bawah agar tidak terus jatuh akibat rendahnya posisi tawar dalam sistem pasar tenaga kerja.
Dimensi ini diperluas dengan juga mencantumkan dimensi perlindungan perusahaan dalam skala kecil, yang antara lain bisa dilakukan dengan skema insentif atau subsidi. Hal ini bisa diberikan dengan memberikan subsidi kepada pekerja yang bekerja pada perusahaan/industri kecil dari sisi skala ekonominya.
Misalnya subsidi untuk kompensasi kenaikan harga komoditi akibat kenaikan upah. Sehingga penetapan upah harus dibedakan berdasarkan pada skala ekonomi perusahaan dan kemampuan keuangannya.
Skema ini bisa dilakukan dengan membuat sistem pengupahan dalam dua sistem. Yakni (1) Upah Minimum (UM) sebagai konsep jaring pengaman yang diberlakukan bagi semua perusahaan dari mulai perusahaan besar (TNC/MNC) sampai dengan perusahaan kecil dan UMKM.
(2) Upah Hidup Layak (UHL) yang dikenakan hanya kepada perusahaan-perusahaan besar dengan kemampuan skala ekonomi perusahaan yang besar. Adapun para pekerja yang bekerja pada perusahaan kecil dan UMKM hanya dikenakan UM saja, dan selisih untuk standar hidup layak diberikan oleh pemerintah melalui skema subsidi.