Jika Bung Karno berumur panjang, tahun ini beliau berumur 118 tahun, suatu usia yang masih bisa dicapai manusia Indonesia yang sehat sebagaimana banyak diberitakan bagaimana manusia Indonesia bisa mencapai usia 100 tahun lebih.
Salah satunya misalnya Mbah Arjo Suwito, kakek asal Dusun Sukomulyo, Desa Gadungan, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar, Jawa Timur yang diberitakan meninggal pada usia 193 tahun. Sayangnya tidak.
Bung Karno, dilahirkan di Surabaya, 6 Juni 1901 meninggal begitu cepat pada 21 Juni 1970 di Jakarta pada usia 69 tahun. Simbol angka yang barangkali membuat Bung Karno tersenyum? Mengingat betapa kehidupan seksualitas Bung Karno yang mudah jatuh cinta pada wanita-wanita cantik dan dewasa?
Meninggal begitu cepat? Ya. Bukan saja karena usianya yang tak sampai 70 tahun, (tentu sungguh tak pantas seharusnya sebagai Presiden Republik Indonesia yang mendapatkan fasilitas kesehatan hampir tiada batas meninggal pada usia sebelum 70 tahun seperti hampir kebanyakan orang Indonesia yang sehat).
Tetapi, memang kesehatan Bung Karno merosot begitu cepat pasca peristiwa G 30 S 1965 dan ketika banyak ide-ide besar revolusinya tak lagi bisa dijalankan secara politik. Sebagai manusia politik dan pejuang, tentu Bung Karno tak bisa dikerangkeng dan disuruh diam saja.
Tetapi gerak Bung Karno semakin dibatasi dan para pendukungnya, dibuat tak berdaya, mati kutu dengan berbagai ancaman dan intimidasi, hingga bila perlu diantarkan pada dunia orang mati.
Begitulah kematian pun semakin cepat mendekati Bung Karno yang seakan menjadi tahanan kota di bawah penguasa baru yang mendapatkan surat perintah untuk mengamankan agenda revolusi dari dirinya sendiri sementara si pemberi perintah semakin dijauhkan dari massa pendukungnya dan dilarang berpidato yang merupakan bagian dari semangat hidupnya untuk berumur panjang.
Tragis! Bung Karno, sang proklamator kemerdekaan Republik Indonesia, Presiden Seumur Hidup dan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia serta Penyambung Lidah Rakyat Indonesia itu disingkirkan dari panggung politik Indonesia.
Ajarannya pun dilarang. Desukarnoisasi merajalela di bawah Orde Baru yang berkuasa hampir setengah abad sehingga rakyat Indonesia kini harus tertatih-tatih untuk menghargai dan menghormati pejuang besar anti kolonialisme dan imperialisme seperti Bung Karno. Ya begitulah hidup. “C’est la vie,” kata orang Prancis.
Apa yang dialami Bung Karno, Presiden Republik Indonesia yang pertama, di tahun 1965 dan sesudahnya itu ternyata bukan hal baru dalam sejarah nasional Indonesia di masa yang lalu.
Tokoh dari masa lalu yang seakan mirip dengan kehidupan Bung Karno itu adalah raja terakhir Singhasari: Sri Kertanagara yang bahkan sampai sekarang juga masih sering disalah-pahami sehingga terus-menerus menjadi kontroversial sebagaimana Bung Karno. Kehidupan Kertanagara sering dikaitkan dengan pesta orgy dan minuman keras, yang membuatnya terlena dan lemah di hadapan lawan, termasuk keyakinannya pada tantris yang mungkin pernah menjadi ajaran terlarang di masa Airlangga.
Begitu pula Bung Karno yang juga tak bisa dilepaskan dari wanita-wanita, minuman keras (?) dan komunisme (PKI) yang sampai sekarang menjadi ajaran terlarang di Indonesia. Walau begitu, keduanya, baik Kertanagara maupun Bung Karno, adalah orang-orang yang yakin terhadap keberadaan dan cita-cita Persatuan Indonesia (Nusantara) demi melawan kekuatan imperial.
Pada masa hidupnya, Kertanagara mengerahkan bala tentaranya ke negeri-negeri Melayu, Kalimantan bahkan Campa untuk menghadang ekspansi dan ancaman pendudukan imperium Mongol di bawah kaisar Dinasti Yuan: Kubilai Khan.
Begitu juga Bung Karno dalam program Ganyang Malaysia yang dituduhnya sebagai negara boneka imperialis, mengerahkan bala tentaranya ke negeri-negeri Melayu juga, termasuk Kalimantan dalam kerangka menghadang imperialisme.
Karena politik luar negerinya yang bersemangat dalam menghadang Kubilai Khan, Kertanagara melupakan ancaman dalam negeri; Kertanagara dijatuhkan Jayakatwang, Adipati Gelang-Gelang, raja bawahannya sendiri; pun bagian dari keluarganya sendiri; sementara Bung Karno dijatuhkan orang bawahannya sendiri juga: Jendral Soeharto; yang juga dianggap sebagai bagian dari keluarga.
Hanya saja interupsi Jayakatwang itu bagi Kertanagara hanya berlangsung tak lebih dari setahun; Dyah Wijaya (menantu Kertanagara) berhasil memulihkan Dinasti Singasari hingga berlanjut ke anak cucu Kertanagara hingga mencapai masa kejayaan dan keemasan yang terus dikenang rakyat hingga kini: Majapahit; tetapi Dinasti (baca juga: Partai) Bung Karno memerlukan hampir setengah abad untuk kembali berkuasa (baca juga: kembali ke panggung politik)
“L’histoire se repete.” Begitulah orang Prancis berkata. Kehidupan tragis Kertanagara seakan diulang kembali pada kehidupan tragis Bung Karno. Keduanya adalah hero nasional dalam situasi dan kondisi yang berbeda dan masih kontroversial hingga kini bahkan dalam soal untuk menjadikannya sebagai pahlawan nasional yang resmi. Misalnya ada penilaian bahwa hal terpenting bagi Bung Karno dan keluarga bukanlah pemberian gelar pahlawan nasional tetapi justru Pencabutan Tap MPRS 33 1967 yang menzalimi dan menyakiti Bung Karno.
Di Patung Pahlawan di Jakarta: dibangun tahun 1963 oleh pematung Russia kenamaan: Matvey Manizer dan Ossip Manizer sebagai hadiah persahabatan dari Pemerintahan Uni Soviet atau yang lebih dikenal rakyat sebagai Tugu Tani dipahatkan kata-kata Bung Karno: “hanja bangsa jang menghargai pahlawan2nja dapat mendjadi bangsa jang besar”. Begitulah seharusnya kita bersikap, bila berkehendak menjadi bangsa yang besar.