Jumat, April 19, 2024

Bung Karno, Cita Adil dan Makmur

Ghaniey Arrasyid
Ghaniey Arrasyid
M Ghaniey Al Rasyid | Penulis Lepas dan Pengkliping yang tinggal di Surakarta.

Ir. Soekarno, namanya. Beliau selalu diterima di hati rakyat Indonesia. Begitu piawai dan percaya diri, begitulah karakteristik Bung Karno sudah sedari dulu bangga dan ingin menggenggam dunianya suatu hari. Disampaikannya kepada kakak perempuannya, “Yu, lihat nanti jagat saya kepal” (Tempo; 2000). Bung satu ini, tak pernah pesimis atas dirinya sendiri, apa lagi untuk bangsa Indonesia, yang pada waktu itu sedang di kerangkeng oleh kolonialisme.

Pria Gemini kelahiran 6 Juni 1901 dengan nama kecilnya Koesno. Di didiklah dengan pendidikan yang cukup oleh kedua orang tuanya. Raden Soekemi (1869-1945) yaitu ayahnya sebagau tokoh alim dan berilmu sebagai guru muda Sekolah Dasar Negeri di Buleleng Bali. Sedangkan, ibundanya yaitu Ida Ayu Nyoman Srimben, putri keluarga berada dari bali. Lahirlah seorang ekspert dari bangsa Indonesia yang dikagumi.

Selalu diselipkan tongkat komandonya itu. Berdiri tegap dengan hentakan mantap Ir. Soekarno sang pemikir dan penggerak bangsa Indonesia, Ia salah satunya alasan mengapa Indonesia berdiri. Soekarno sebagai pribadi yang karismatik, bergelora berapi-api sehingga setiap celotehnya, membawa semangat begitu penuh rakyat Indonesia untuk menggapai cita kemerdekaan.

Begitu juga dengan gagasannya yang begitu luar biasa ketika, momentum pidato gilang-gemilangnya, selalu membuat bulu kuduk berdiri. Tak lain dan tak bukan, bung satu ini tak pernah pesimis. Rakyat. Selalu disebutnya ditengah ribuan khalayak manusia Indonesia agar sadar. “Bangsa kita bukan bangsa tempe.”

Ketika Perang Dunia Ke-II usai, dengan ditandai oleh perjanjian Postdam dan pengeboman dua kota besar –Nagasaki dan Hiroshima sebagai pertanda Nazi-isme runtuh, Bung karno begitu lihai merangkul seluruh elemen bangsa dari golongan muda hingga tua, agar mempersiapkan kemerdekaan untuk menata secara kolektif.

Derita jerih payah, selalu merongrong keberadaan bangsa ini seteleh merasakan penyampaian proklamasi. Berjejal-jejal dengan rakyat, dari lobi ke lobi, bahkan dari buku ke buku. Bung Karno, suatu hari di tahun 1959, berpidato menandakan aras baru demokrasi yang mengarahkan era baru juga gagasan mengenai bangsa dan negara.

Ketika berpidato, banyak yang mencatat sebagai bukti sejarah. Bung dijukuluk singa podium yang tak tergantikan mampu menarik hati rakyat Indonesia. “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Itulah judul orasi beliau kala diucapakan pada tanggal 17 Agustus 1959. Een natie von koelies en koelie onder de naties (suatu bangsa yang terdiri dari kuli dan bangsa kuli antar bangsa-bangsa) adalah salah satu pernyataan Bung Karno untuk memantik geliat bangsa Indonesia untuk bebas dari penyakit ekonomi yaitu kemiskinan dan ketidakadilan sosial.

Salah satu yang memikat yaitu konsep Horordening economie, politiek, sociaal. Ketika kemelut politik dihuni oleh segerombol yang membuat rakyat semakin tertindas. Ir. Soekarno bagai menghamntam bumi menggelegar membuat getar seisi lapangan agar mengubah horodening (mengerikan) menjadi herodening (memikirkan kembali) untuk rakyat Indonesia sepenuhnya.

“Tidak boleh lagi terdjadi bahwa Rakjat ditunggangi oleh pemimpin, Tidak boleh lagi terdjadi bahwa rakjat menjadi alat demokrasi. Tetepi sebaliknja, demokrasi harus menjadi alat Rakjat. Alat Rakjat untuk mentjapai tudjuan rakjat. Tudjuan Rakjat jang telah dikorbani oleh Rakjat berpuluh-puluh tahun jaitu Negara kuat, masjarakat adil dan Makmur.

Terkait masyarakat adil dan makmur, harus ada sebuah keterkaitan untuk konsisten antara ekonomi dan politik. Ketika sistem politik bisa betul-betul berpihak pada rakyat, ekonomi akan bergulir bermuara untuk rakyat. Ketika kondisi politik tak memiliki keberpihakan untuk rakyat, konsep trickle up effect berpeluang membuang rakyat sengsara.

Ir. Soekarno memberikan peringatan kepada kita, bahwasa individualisme itu membuat sengsara. Pasalnya, idividualisme itu memikirkan pribadi. Begitu juga dengan kondisi hari ini. Mengenai pembangunan perekonomian, kita harus menerima dengan baik untuk tujuan kepada rakyat. Namun, lain halnya ketika, konsistensi elit yang duduk di jenjang teratas rabun berpihak pada rakyat maka increamental output ratio (ICOR) itu tinggi dan bermuara kepada rakyat yang semakin muram.

Pengalaman itu pernah dialami pada era 1950-1959. Modal asing perusahaan belanda melahap sumber daya alam Indonesia. Konferensi Meja Bundar (KMB) yang memaksa untuk menghormati legalitas keberadaan perusahaan asing, khususnya perusahaan belanda, membuat bangsa itu semakin tercekik, seperti halnya peristiwa Tanjung Morawa. Tak kaget, bila Soekarno membakar semangat rakyatnya untuk berdiri di atas kaki sendiri dan memiliki taji di kancah Internasional.

Mengenai Ekonomi Nasional

Imperialisme bagi Soekarno adalah “nafsu” angkara. Soekarno selalu bergelut atas grand theory untuk diserap demi kepentingan rakyatnya. Penghisapan perihal yang jauh-jauh harus dihilangkan. Penghisapan sesama dan memperkaya diri sendiri adalah kejumudan. Maka harus dibuang jauh-jauh, bila bangsa ini ingin berdikari dalam ekonomi.

Menurut Onghokham (1978), yang menarik dari Sukarno adalah tiga unsur pokok pemikirannya yakni anti elitisme, anti imperialism-kolonialisme. Elistisme membawa manusia kepada individualisme dengan hanya memikirkan pribadi atau kelompok tertentu. Jelas sekali, bahwasannya dalam gagasan Penemuan Revolusi kita.

Seperti penyampaian Soekarno, “Misalnya persoalan ekonomi kita bukan hanja persoalan, sandang-pangan sadja. Persoalan ekonomi kita adalah persoalan jang lebih luas daripada itu.” Fungsional Struktural memberikan sebuah analisa sistematis harapan Soekarno atas sinergitas setiap struktural dalam mencapai adil makmur.

Menurut Talcott Parsons melalui bukunya The Structure of Social Action (1938), Toward a general Thery of Action (1951) dan The Social System (1951) bahwa struktur sosial menentukan peranan dan pola-pola perilaku yang tetap. Melalui sebuah lokus atau pelembagaan yang dikelola demi kepentingan rakyat sepenuhnya diharapkan mampu mencapai tujuan adil makmur, seperti yang diharapkan Soekarno.

Lokus hukum harus jujur dan melibas ketidakadilan tanpa pandang bulu. Lokus ekonomi harus menujukan kebijakannya kepada rakyat. Dan para rohaniawan, buruh, tani dlsb, harus bergerak dengan jujur tanpa tedeng aling-aling untuk kemajuan bersama.

Horodening untuk berubah menjadi Herodening, membutuhkan sebuah sinergitas. Soekarno menyederhanakannya dengan narasi Gotong-Royong. Gotong-Royong adalah kunci bagaimana tidak ada sekat sama sekali alias transparansi dan sinergitas fungsional struktural.

Melalui gagasan Soekarno, kita jadi paham. Bahwasannya, sektor terkecil sampai terbesar itu selalu memiliki hubungan. Hubungan itulah yang seharusnya disadari. Satu jengkal kaki kita, satu guratan pena di bangku sekolah, itu semua memiliki keterkaitan cita adil dan makmur. Maka, lakukanlah gerakan terbaik untuk negerimu tercinta!

Sumber:

Kanumoyoso, Bondan. 1994. Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia. Jakarta: Pusataka Sinar Harapan.

Soekarno. 1959. Penemuan Kembali Revolusi Kita. Djakarta: Kementrian Penerangan RI

Abdullah, Taufik, Aswab Mahasin, Daniel Dhakidae. 2022. Manusia dalam Kemelut Sejarah. Depok: LP3ES.

Ghaniey Arrasyid
Ghaniey Arrasyid
M Ghaniey Al Rasyid | Penulis Lepas dan Pengkliping yang tinggal di Surakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.