Pendidikan anak menjadi salah satu hal yang sangat penting bagi sebuah keluarga di zaman sekarang. Keluarga yang biasanya memutuskan untuk memiliki 2 anak ini, secara positif menjadikan pendidikan anak sebagai salah satu yang wajib untuk dipersiapkan. Tak sedikit dari mereka yang menyediakan biaya besar demi pendidikan buah hatinya.
Keterbukaan fikiran orang tua terhadap pentingnya pendidikan, rupanya menjadikan sekolah-sekolah saling berlomba untuk memperbaiki diri dan mengembangkan sarana prasarananya. Tak lupa pula strategi marketing pun dibuat sedemikian rupa agar sesuai dengan visi sekolah dan keadaan pasar. Contohnya, jauh dari zaman ini, kita tahu bahwa pesantren pernah menjadi primadona bagi dunia pendidikan. Beberapa tahun lalu, ramai sekali sekolah berlabel Internasional didirikan dan di waktu yang hampir bersamaan pula tak sedikit sekolah berlabel Islam Terpadu bermunculan. Dikutip dari ISC Research, Sekolah Internasional di Indonesia mencapai 192 sekolah, jumlah tersebut adalah yang terbanyak di Asia Tenggara dan peringkat ke-10 di dunia.
Fasilitas eksklusif dan dibarengi dengan kurikulum yang sesuai visi serta selera pasar pun menjadi hal yang dijual oleh sekolah. Banyaknya pilihan sekolah yang menjual eksklusifitas saat ini, membuat para orang tua menjadikan sekolah secara utuh sebagai wadah belajar anak yang sempurna. Banyak orang tua yang menaruh harapan besar terhadap anak dan sekolah ketika mereka mendaftarkan anaknya tersebut. Sebaliknya pun banyak sekolah yang ingin menerima anak secara instan dengan diselenggarakannya ujian seleksi masuk bagi Sekolah Dasar. Hal ini jelas membuat bergesernya tujuan pendidikan itu sendiri. Hubungan dunia pendidikan tak lagi terjalin komunikasi segitiga yang baik antara anak, orang tua dan guru, namun sudah seperti hubungan antara produsen dan konsumen.
Harapan besar orang tua terkadang membuat tekanan terhadap anaknya sendiri dan guru sebagai orang yang disebut bertanggung jawab besar atas perkembangan pendidikan anaknya. Tak sedikit dari mereka yang akan marah ketika anaknya mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan, bahkan jika justru anaknya yang salah. Orang tua seakan tak peduli akan proses pembelajaran anak, tapi yang mereka pedulikan adalah hasil pembelajaran anaknya, hasil itu pun sayangnya terukur hanya sebatas angka, bukan value. Orang tua akan senang jika anaknya pandai dalam pelajaran dan mendapatkan nilai bagus, sebaliknya mereka akan kebakaran jenggot jika anaknya tak faham bahkan dalam hanya salah satu materi pelajaran. Parahnya, orang tua pun menuntut tingkah laku anak terhadap sekolah, mereka akan menanyakan kepada gurunya jika anaknya berbuat kenakalan di rumahnya.
Lucu memang, seakan orang tua sudah lupa bahwa pendidikan diawali justru dari rumah. Bahkan guru utama seorang anak adalah orang tuanya sendiri. Namun, lagi lagi biaya mahal menjadi alasan yang cukup untuk orang tua membebankan segalanya terhadap sekolah, termasuk tingkah laku anak. konsumen adalah raja, kurang lebih seperti itulah hukumnya. Guru pun haram hukumnya melakukan kesalahan sekecil apapun di dalam bisnis ini. Dan anak tentu saja menjadi korban ambisi eksklusifitas dunia pendidikan dan orang tua, pendidikan yang menyenangkan dan dunia bermain harus bergeser dengan kewajiban menguasai Bahasa Inggris dan hitungan.
Padahal menurut Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010, Pendidikan anak usia dini bertujuan untuk membangun landasan bagi berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkepribadian luhur, sehat, berilmu, cakap, kritis, kreatif, inovatif, mandiri, percaya diri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Selain itu pula, bertujuan untuk mengembangkan potensi kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, kinestetis, dan sosial peserta didik pada masa emas pertumbuhannya dalam lingkungan bermain yang edukatif dan menyenangkan.
Pendidikan anak memang sangat penting untuk tumbuh kembangnya, namun jika pendidikan mulai bergeser dan salah kaprah maka justru anak lah yang menjadi korban karena anak merupakan objek dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan selayaknya dijadikan wadah bagi seorang anak untuk berproses dari ketidak fahaman menjadi faham, bukan justru wadah yang instan. Maka perlu adanya pemahaman yang baik tentang bagaimana peran guru, sekolah, anak, dan orang tua. Dan ekslusifitas sekolah selayaknya bukan menjadi bahan untuk jualan saja, namun secara utuh untuk mendukung kegiatan belajar mengajar anak dan guru. Sehingga tercipta lingkungan yang menyenangkan untuk anak belajar sesuai dari tujuan belajar itu sendiri.