Lembaga Pendidikan sejatinya jadi ruang aman bagi siapapun yang menimba ilmu. Namun, jika bullying terus terjadi, di mana ditemukan rasa aman bisa ditemukan?
Kasus kematian berinisial TAS, mahasiswa Unud yang baru saja terjadi, menjadi kabar duka sekaligus keprihatinan bagi segenap Masyarakat Indonesia. TAS yang diduga bunuh diri menjadi korban bullying (perundungan) oleh sesama rekan mahasiswa. Tragisnya, perundungan di lembaga pendidikan bukanlah pertama kalinya terjadi. Dari berbagai sumber data terjadi kenaikan besar kasus kekerasan di lingkungan Pendidikan terjadi kenaikan tajam.
Berdasarkan data dari JPPI (Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia), pada tahun 2023 terdapat 285 kasus kekerasan di sekolah, dan pada tahun 2024 jumlahnya melonjak menjadi 573 kasus, naik lebih dari 100 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Dari total tersebut, sekitar 31 persen berkaitan langsung dengan perundungan. Angka ini memperlihatkan bahwa bullying masih menjadi bentuk kekerasan yang paling dominan di sekolah. Di tahun 2025 sendiri ada beberapa peristiwa perundungan dari berbagai level, dari SD hingga SMA, dan terakhir peristiwa mahasiswa TAS yang mengalami perundungan dan berakhir bunuh diri. Kasus TAS yang memilih bunuh diri bukanlah kasus pertama.
Beberapa korban perundungan memilih mengakhiri hidupnya karena tekanan batin yang berujung depresi. Tragis, dari di balik citra lembaga pendidikan sebagai ruang intelektual, masih bersembunyi praktik kekerasan simbolik dan sosial yang terus berulang, seolah menjadi bagian tak terucap dari budaya akademik kita.
Beragam kasus bullying, memicu beragam reaksi publik : marah, berduka, lalu lupa. Berbagai upaya prevensi dilakukan, seperti membentuk peraturan baru, membentuk tim etik, atau menggelar seminar anti-perundungan Namun, membasmi perundungan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Akar masalah ada pada krisis empati, ya kita hidup dalam krisis empati. Perundungan di lembaga pendidikan sejatinya bukan sekadar masalah perilaku individu yang dilakukan oleh anak atau remaja di Lembaga Pendidikan melainkan cermin kondisi masyarakat secara lebih luas, yaitu krisis empati.
Realita di Masyarakat, seringkali menormalisasi ejekan dan candaan yang merendahkan. Ejekan dapat terjadi karena kekurangan fisik atau perbedaan strata sosial. Dari candaan berkonotasi negatif seperti ejekkan, “Bercanda kok baper,” jadi kalimat pembenaran untuk perilaku yang menyakitkan. Mayoritas korban perundungan memilih diam, menanggung luka dalam diam, karena takut dianggap lemah atau berlebihan. Korban perundungan tidak berani speak up atau bersuara. Kekhawatiran dan ketakutan yang dipendam membuahkan ketakutan hingga depresi.
Empati, seperti yang dijelaskan oleh Rogers (1957), adalah kemampuan untuk menyelami pengalaman batin seseorang tanpa mengabaikan batasan diri. Pendapat yang sama disampaikan oleh Goleman (1995), empati mencakup kemampuan untuk mengidentifikasi dan merasakan perasaan orang lain—sebuah kemampuan emosional yang sangat penting untuk menciptakan interaksi yang empatik.
Hoffman (2000) menambahkan bahwa empati memicu respons emosional yang mendorong tindakan prososial, sehingga menjadi elemen penting dalam mencegah bullying dan membangun suasana hubungan yang positif. Empati bukan sekedar kepedulian yang tumbuh begitu saja; ia berkembang dari karakter yang kuat dan kemampuan berelasi dengan orang lain berlandaskan nilai dan norma.
Lembaga pendidikan seharusnya menjadi ruang aman untuk melatih empati melalui pengalaman sosial, contoh dari pendidik atau pengajar, dan budaya saling menghargai. Ketika lembaga pendidikan gagal menumbuhkan kepedulian ini, hal itu bukan hanya menunjukkan kekurangan dalam sistem sekolah, tetapi juga mengungkapkan pola interaksi sosial di masyarakat yang kurang mendukung sikap peduli dan respek. Bullying, dalam konteks ini, menjadi refleksi nyata dari lemahnya fondasi sosial yang seharusnya membentuk individu yang peka dan bertanggung jawab.
Empati menjadi syarat dalam menjalin relasi dan berinterasi dengan orang lain. Empati dapat menjadi fondasi kekuatan sosial dalam berelasi. Empati membentuk rasa aman psikologis, yang membuat orang berani tumbuh dan belajar tanpa takut dihakimi. Lembaga pendidikan tanpa empati hanya melahirkan manusia cerdas tanpa hati. Krisis empati ini semakin parah oleh cara era digital.
Komentar negatif di media digital, seperti di grup percakapan, kolom chat medi sosial, dan forum daring sering menjadi ruang reproduksi perundungan. Perundungan yang awalnya hanya dilakukan oleh satu atau dua orang menjadi meluas pada sekelompok orang, bahkan meluas dengan kemajuan media digital. Penghinaan berselubung becanda, tanpa sadar dapat menghancurkan kepercayaan diri seseorang. Kita mungkin tidak sadar, tapi bullying digital telah menjadi bentuk komunikasi baru yang sama berbahayanya dengan kekerasan verbal.
Prevensi mengurangi bullying tidak berhenti pada sanksi atau kampanye moral. Menumbuhkan empati membutuhkan waktu serta proses. Empati adalah keterampilan sosial yang bisa dilatih. Ia tumbuh dari kebiasaan refleksi dan kehadiran. Menghadirkan diri secara utuh saat seseorang bercerita, tanpa buru-buru menilai, adalah bentuk sederhana dari komunikasi yang menyembuhkan. Sayangnya, di kampus yang sibuk mengejar target, kehadiran sering kali jadi kemewahan.
Kasus bunuh diri karena bullying seharusnya menggugah kesadaran kita bersama. Ini bukan sekadar tragedi personal, melainkan cermin kegagalan sistem sosial yang kehilangan rasa. Kampus bukan hanya tempat mencari ilmu, tapi tempat membangun manusia. Tanpa empati, ilmu kehilangan maknanya. Kini saatnya kita meninjau Kembali cara kita berinteraksi. Empati bukan kelembutan kosong — ia adalah bentuk keberanian baru: berani mendengarkan, berani memahami, dan berani menghentikan budaya menyakiti. Dunia akademik yang penuh tuntutan, komunikasi empatik bukan pilihan idealis, tapi kebutuhan moral. Karena tidak ada intelektualitas sejati tanpa kemanusiaan yang hidup di dalamnya.
Pendidikan komunikasi empatik dapat menjadi langkah pencegahan yang kuat. Anak dan remaja mempelajari hal-hal mendasar seperti menghormati orang lain, memahami dengan mendengarkan aktif, refleksi perasaan, dan memvalidasi emosi. Guru, Dosen, dan orang tua sangat berperan dalam menumbuhkan keteladan. Empati bukan sekedar teori tetapi sebuah praktik dalam berinteraksi dan berelasi.
Akhirnya, komunikasi empatik merupakan antitesis dari perundungan. Komunikasi empati dapat menumbuhkan kesadaran, kepedulian, dan rasa tanggung jawab sosial. Komunikasi empatik adalah bukan hanya soal etika berbicara, tetapi bagaimana kita memilih untuk menjadi manusia yang saling menjaga. Dari situlah langkah kecil untuk menghapus bullying sesungguhnya dimulai.
