Pendidikan sejatinya memiliki tujuan untuk menghaluskan budi anak. Pendidikan tentu saja merupakan alat yang paling mumpuni dalam menempa karakter anak agar menjadi pribadi yang berakhlak mulia. Ya, idealnya memang begitu. Namun bukan pendidikan namanya kalau tidak ada masalah pula yang terjadi didalamnya.
Tujuan mulia pendidikan untuk mengembangkan karakter, khususnya anak, kini mulai kurang membuahkan hasil yang baik. Buktinya tentu dengan semakin menjamurnya perilaku bullying yang dilakukan oleh anak. Dilansir dalam situs resmi KPAI sendiri, mereka menyatakan telah menerima pengaduan sebanyak 26 ribu kasus bully selama kurun waktu 2011–2017.
Sungguh angka yang fantastis sekaligus memilukan. Pendidikan tentu menjadi PR dan sorotan utama ihwal kian menjamurnya kasus ini. Perlu di garis bawahi pula, bahwa pendidikan yang dimaksud disini bukan hanya sekolah saja, namun jelas semua stakeholder pendidikan juga tak boleh lepas tangan dalam mengatasi permasalahan ini.
Kasus bullying tentu amat memperburuk kualitas pendidikan kita, dan tentu saja memperkeruh karakter anak bangsa yang saat ini pun tidak bisa terlalu dibanggakan dengan berbagai macam kasus seks bebas, narkoba, geng motor dan hal – hal memalukan lainnya. Kita seharusnya berfokus mengoptimalkan bonus demografi dan menyambut generasi Indonesia emas 2045.
Sistem pendidikan yang tidak harmonis lah yang menyebabkan mengapa kasus bully ini kian menjamur. Kesalahan yang paling elementer atas kasus ini adalah dengan adanya pandangan bahwa tugas mendidik anak itu secara penuh di pegang oleh sekolah. Tentu saja ini pandangan yang keliru. Karena pada hakikatnya sistem pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara terdiri dari tiga bagian, atau yang biasa kita sebut tri-sentra pendidikan yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Nah, jika hanya sekolah yang hanya memegang peran pengembangan karakter anak, dalam hal ini misalnya menangkal perilaku bully tentu akan sulit. Dalam pandangan Roem Topatimasang, bahwa sekolah hanya tempat anak untuk mengisi waktu luangnya. Ini tentu mengindikasikan bahwa peran sekolah tidak lebih besar dari keluarga dan masyarakat dalam mengembangkan karakter anak.
Tentu saja akan percuma sekalipun pihak sekolah mati–matian mendidik anak untuk berperilaku baik, jika di masyarakat dan keluarga yang notabene realitas hidup anak – anak lebih lama berkecimpung tidak melakukan peran yang sama seperti sekolah. Ya, efek pendidikan di sekolah tidak akan berdampak signifikan bagi anak.
Sebetulnya usaha pendidikan untuk mengembangkan perilaku anak supaya menjadi manusia yang berakhlak baik, dan dalam hal ini menangkal perilaku bully sudah sejak lama dipikirak oleh Ki Hadjar Dewantara. Ia berpandangan bahwa pengembangan karakter anak tidak boleh lepas dari peran tri-sentra pendidikan tadi.
Pertama, Keluaga sebagai sub sistem paling dasar dari pendidikan menjadi kunci utama dalam membimbing anak mengembangkan karakter dasarnya. Karena tentu saja yang akan anak teladani adalah perilaku orang tuanya sendiri. Maka jangan kaget jika banyak pelaku bully berasal dari keluarga yang tidak harmonis. Mulai dari perceraian, pertengkaran, dan kekerasan oleh orang tua.
Kedua, sekolah dan khususnya sekolah dasar sebagai tempat anak untuk mengisi waktu luang serta mengembangkan potensi, harusnya memperbanyak muatan pelajaran moral dibandingkan pelajaran kognitif. Hal yang terjadi justru sebaliknya, anak SD seringkali mendapat beban belajar yang berlebihan, yang terkadang membuat mereka stress dan kehilangan waktu bermainnya. Ini pula lah yang menyebabkan mengapa mereka menjadi cenderung lebih emosional, dan menjadi tonggak awal perilaku bully muncul.
Ketiga, masyarakat sebagai lingkungan sosial anak dengan skala besar tentu memilki peran yang tidak kalah penting juga dalam mengembangkan karakter serta potensi anak. Namun lagi – lagi, masyarakat tidak mampu memberikan hawa edukasi bagi anak – anak, dan malah menjadi tempat bagi anak untuk menimba ilmu dalam kasus bully. Seringkali kita lihat konten di TV dan sosial media yang bernuansa kekerasan menjadi makanan pokok yang digemari anak – anak. Maka jangan kaget pula kalau anak – anak ikut terbawa beringas oleh apa yang mereka tonton.
Tentu dalam mengatasi permasalahan bully ini diperlukan sinergi yang harmonis diantara semua stakeholder pendidikan. Jangan sampai hal ini terus dibiarkan terjadi, karena tentu saja orientasi pendidikan kita akan menjadi rancu pula, karena yang tadinya tujuan pendidikan berniat ingin mencetak manusia yang beradab malah realitanya mecetak manusia yang biadab. Jangan sampai.