Membaca adalah jendela dunia, begitulah kata bijaknya. Jendela dibuat agar menjadi pintu masuknya udara dan cahaya matahari ke dalam rumah. Dari jendela, kita bisa melihat keadaan di luar rumah, bahkan tak jarang dijadikan sebagai tempat untuk menemukan inspirasi.
Begitu pula dengan membaca, ia menjadi sirkulasi masuknya arus informasi, ide akan menemui kebuntuan bila tidak mendapatkan pencerahan dalam menemukan inspirasi. Untuk membebaskan pikiran dari belenggu kebodohan, kuncinya adalah belajar. Belajar tidak harus monoton tatap muka antara guru dan murid, sebab belajar tidak se’kaku’ itu. Belajar bisa dimulai dari hal-hal kecil seperti membaca.
Membaca akan mengantarkan kita kepada gerbang kecerdasan intelektual yang akan menuntun pada kebijaksanaan. Membaca akan membawa pikiran dan imajinasi kita melintasi batas ruang dan waktu.
Dengan membaca, kita tahu bagaimana budaya dan pola kehidupan di belahan dunia sana, meskipun kita belum pernah keliling dunia. Kita akan tahu kejadian ribuan tahun lalu, meskipun kita tidak hidup pada masa itu. Kita akan tahu bagaimana kondisi tata surya di luar angkasa sana, meskipun kita tidak pernah ke luar angkasa. Namun untuk mencapai kecerdasan intelektual itu, perlu usaha yang lebih giat untuk banyak belajar dan membaca.
Seperti yang dikatakan oleh Riduan Situmorang dalam tulisannya yang berjudul ‘Bagaimana Membelajarkan Membaca’ yang terbit di basabasi.co, ia mengatakan “jalan menuju kebodohan ternyata lebih luas.
Selain luas jalannya juga menyenangkan. Cukup bermalas-malasan tanpa usaha, maka kita akan dengan sendirinya sampai pada gerbang kebodohan”. Apalagi di era teknologi sekarang ini, eksistensi buku jauh dibawah eksistensi gawai. Orang akan lebih cepat tahu tentang merk hp apa yang terbaru sekarang ketimbang buku apa yang jadi best seller sekarang. Sebagian orang akan lebih tahan bermain gawai sejam, dua jam, atau bahkan semalaman sambil main game ketimbang membaca buku barang sepuluh atau lima belas menit. Begitulah kira-kira.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Puan Maharani mengatakan bahwa rata-rata orang Indonesia hanya membaca buku 3-4 kali per minggu, dengan durasi waktu membaca per hari rata-rata 30-59 menit. Jumlah buku yang ditamatkan per tahun rata-rata hanya 5-9 buku. (Kompas,26/03/18).
Jika kita kalkulasikan untuk menamatkan 5 buku per tahun, berarti butuh waktu 2,4 bulan untuk menamatkan satu buku. Namun jika jumlah buku yang ditamatkan 9 buku per tahun, berarti butuh waktu 1,3 bulan untuk menamatkan satu buku. Kesimpulan dari keduanya, untuk menamatkan satu buku saja butuh waktu lebih dari sebulan.
Wajar saja jika UNICEF melaporkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia 0,001 persen. Diantara seribu orang hanya satu yang memiliki minat baca yang bagus. Sungguh perbandingan jumlah yang sangat jauh bukan? Bahkan The World’s Most Literate Nations 2016 meranking Indonesia di urutan ke 60 dari 61 negara.
Sungguh angka yang sangat ironis bukan? Tim Program of International Student Assessment (PISA) Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas menyatakan bahwa kemahiran membaca anak usia 15 tahun di Indonesia sangat memprihatinkan. Sekitar 37,6 persen hanya bisa membaca tanpa menangkap maknanya dan 24,8 persen hanya bisa mengaitkan teks yang dibaca dengan satu informasi. Apalagi yang dibaca adalah buku-buku ilmiah dan pelajaran.
Kondisi lainnya, membaca belum dijadikan sebagai referensi utama dalam mencari informasi, baik itu membaca buku, koran, majalah, maupun media online lainnya. Data BPS tahun 2015 menyebutkan penduduk berumur 10 tahun ke atas mendata bahwa menonton televisi menjadi sumber informasi utama dengan persentase 91,47 persen. Sedangkan membaca berita elektronik sebanyak 18,89 persen, dan membaca surat kabar/majalah sebanyak 13,11 persen. Artinya, penduduk kita lebih senang menggali informasi yang sudah siap saji melalui audio visual dari televisi daripada membaca berita yang tertulis secara tekstual.
Belajar dari Negara Lain
Kita tentu tidak ingin minat baca dan literasi kita terus rendah. Kita juga tidak ingin dijengkali oleh negara luar akibat hal ini. Maka dari itu, kita perlu belajar dari pengalaman negara-negara lain untuk bisa bangkit dengan meningkatkan minat baca dan literasi masyarakatnya. Hal ini bisa berkaca dari negara Perancis dan Jepang.
Sebelum Raja Louis XVI naik tahta, kondisi sosial politik Perancis telah memanas akibat kerajaan yang semena-mena. Pada akhirnya terjadi revolusi Perancis yang mampu mengubah sejarah Perancis, bahkan Eropa. Salah satu yang menjadi pemicu revolusi Perancis adalah pemikiran sastrawan bernama Voltaire.
Hal ini tertulis pada novelnya yang berjudul “Candide”. Novel ini menyampaikan kritik atas kekuasaan negara Perancis dalam dialog-dialognya. Akibatnya, Voltaire di hukum mati oleh pihak pemerintah pada tahun 1778. Setelah masyarakat melek membaca, tulisan-tulisan Voltaire ramai diperbincangkan hingga akhirnya memicu gerakan revolusi Perancis pada tahun 1789.
Lain halnya dengan Jepang, seorang peraih Nobel ekonomi pada tahun 1998 bernama Amartya Sen menyoroti kebangkitan Jepang dari aspek literasi. Menurutnya, Jepang telah bangkit di pertengahan abad ke-19 dengan restorasi Meiji-nya. Jepang memulai kebangkitannya melalui pemberantasan buta huruf. Pada tahun 1913, walaupun Jepang belum berkembang secara ekonomi tapi sudah menjadi produsen buku terbesar di dunia. (blog.ruangguru.com). Hasilnya, membaca menjadi budaya bagi masyarakat Jepang, dimanapun dan kapanpun.
Indonesia juga berpeluang seperti dua negara tersebut. Bangkit dari keterpurukan melalui peningkatan minat baca dan literasi. Membudayakan membaca sebagai kebutuhan. Diawali setelah ibadah pagi (setelah sholat subuh bagi yang muslim atau setelah saat teduh bagi umat kristen) dan sebelum memulai aktivitas harian.
Sekitar 15 hingga 30 menit setiap harinya sebagai pembuka di pagi hari, kemudian bisa melanjutkannya pada siang hari atau pada waktu luang lainnya. Jikapun tidak sempat pada waktu siangnya, setidaknya sudah membaca pada pagi harinnya. Ini merupakan hal sederhana yang bisa dilakukan secara rutin untuk meningkatkan minat baca kita.
Jika kebiasan ini terus digalakkan menjadi kebudayaan bahkan kebutuhan. Bukan tidak mungkin Indonesia menjadi negara maju dengan sumber daya manusia yang berkualitas seperti halnya Jepang.
Karena untuk memulainya hanya soal pembiasaan untuk tetap konsisten. Kita perlu membuka jendela dunia dengan membaca untuk bisa menatap dunia lebih luas. Pikiran juga butuh diberikan asupan bacaan agar tidak terjebak dalam kubangan kebodohan. Jangan biarkan pikiran berpuasa, beri ia makan dengan membaca, dan beri ia minum dengan berdiskusi.