Literasi selalu menjadi isu yang seolah tidak ada habisnya didiskusikan. Hal ini mengingat fakta yang dipaparkan oleh UNESCO, bahwa budaya literasi di Indonesia yang tidak terlalu tinggi.
Dilansir dari Republika (12/16), minat baca di negeri ini masih sangat rendah. Indeks minat baca di Indonesia yang dikeluarkan UNESCO pada 2012 mencapai 0.001. Artinya, pada setiap 1000 orang hanya ada satu orang yang memiliki minat baca. Fakta ini memprihatinkan karena mengingat membaca merupakan kunci untuk membuka pintu ilmu maupun jendela dunia. Dengan kata lain, seseorang yang sukar membaca akan berada dalam kegelapan, layaknya orang buta yang tidak mampu melihat obyek di sekelilingnya.
Mengingat pentingnya budaya literasi bagi bangsa, hendaknya literasi dikembangkan dalam keluarga. Hal ini karena keluarga merupakan suatu miniatur pendidikan utama dalam merangsang pola perkembangan anak baik dari aspek intelektual, emosional, maupun spiritual. Salah satu di antaranya yang berkenaan dengan kecanggihan teknologi dan informasi yang kian melaju cepat seiring dinamika zaman.
Karena bagaimana pun, kekhawatiran akan tetap timbul pada setiap orang tua yang menginginkan anaknya berguna bagi nusa dan bangsa. Tidak bisa dinafikan, bahwa di tengah kemudahan akses yang serba instan, maka perlunya kontrol dan bimbingan orang tua kepada anak-anaknya agar fokus kepada proses belajarnya.
Sebagaimana kita mafhum, generasi masa depan akan selalu menjadi tumpuan dan harapan untuk memberikan kontribusi terhadap kemajuan bangsa dan negara melalui kelebihannya di bidang-bidang tertentu, sehingga anggapan negatif bahwa generasi masa depan adalah generasi sampah, amatlah tidak berdasar.
Maka patut digarisbawahi, bahwa tumbuh kembang anak dalam menjalani masa-masa proses belajar amatlah penting apalagi menyangkut dunia literasi. Oleh karena itu, betapa pentingnya memberikan asupan informasi bagi otak dan hati yang kemudian keduanya bertaut membangun konsep, berpikir kritis dan mampu melahirkan kreatifitas.
Keluarga dan Literasi
Literasi merupakan sebuah kemampuan guna untuk memahami, menganalisis, mendekonstruksi pencitraan media. Kemampuan tersebut dimaksudkan agar pembaca sebagai konsumen media (termasuk juga anak-anak) menjadi melek mengenai bagaimana media dibuat dan kemudian diakses.
Berdasarkan prinsip yang diusung oleh Ki Hajar Dewantara bahwa di dalam tripusat pendidikan terdapat tiga pihak yang sangat berpengaruh, yaitu, keluarga, sekolah dan masyarakat. Maka dari itu, keluarga adalah bagian dari masyarakat yang memiliki peranan penting sekaligus menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan program tersebut.
Keluarga sebagai salah satu unit terkecil yang ada di dalam masyarakat dapat menjadi kunci utama untuk menghidupkan budaya literasi. Hal ini dapat meminimalisir anak agar tidak hanya fokus dengan game yang ada di dalam gadget, yang hampir setiap detik atau menit selalu diakses.
Dengan dihidupkannya budaya literasi dalam keluarga merupakan sebuah upaya guna menumbuhkembangkan karakter anak dalam menghadapi kehidupan sesuai dengan masanya. Upaya tersebut dilakukan melalui peningkatan pemahaman terhadap beragam teks. Seiring dengan perkembangan zaman, teknologi memunculkan berbagai macam teks berbasis IT (informasi dan teknologi) atau teks inovatif yang dengan keberadaannya melengkapi teks konvensional.
Menyadari arti penting dalam pembentukan budaya literasi, seharusnya kesadaran budaya literasi merambah ke dalam setiap keluarga sebagai unsur masyarakat dan bangsa. Dengan kata lain, kedua unsur tersebut mestinya juga mendapatkan pembinaan agar mampu melaksanakan sesuai perannya. Karena dalam satu hari, anak 6-8 jam berada di sekolah. Sisa waktunya adalah ketika mereka berinteraksi dalam keluarga dan masyarakat.
Aktivitas literasi dalam keluarga beraneka ragam. Hal tersebut dapat diawali dari keteladanan orang tua menyisihkan waktunya untuk membaca, memberi fasilitas kepada anak-anak sejak usia dini agar gemar membaca. Selain itu, tidak lupa pula untuk memberi motivasi akan pentingnya membaca. Secara praktis, orang tua memberikan ruang kepada anak, baik moril atau materil agar anak menyisihkan waktu untuk membaca seperti mengajak ke toko buku, perpustakaan, museum atau membeli salah satu produk media cetak.
Implikasi dari keluarga yang literat akan menghasilkan orang tua yang open minded terhadap perkembangan anaknya. Tidak ada pengekangan, akan tetapi secara langsung memantau serta selalu membimbing sesuai keunikan masing-masing anak. Karena bagaimana pun, setiap anak memiliki potensi dan keunikan masing-masing. Dari sini dapat diketahui peran penting budaya literasi di dalam sebuah keluarga. Oleh karena itu, sebagai warga yang baik, spirit budaya literasi akan dibangun sesuai kemampuan dan kreatifitas masing-masing.
Apabila ditinjau dari sisi Islam, budaya literasi ternyata yang pertama kali dianjurkan oleh Allah SWT. Melalui firmanNya yang berbunyi iqra’. Sungguh besar makna iqra’ tersebut. Karena tidak hanya menyangkut membaca saja, namun berkaitan juga dengan menulis.
Maka dari itu, salah satu penentu kebahagiaan yang amat penting yaitu orang tua bisa memberikan manfaat besar bagi anak-anaknya dalam dunia literasi, agar hidupnya dipenuhi dengan bekal yang teramat berarti dalam kebelangsungan hidupnya. Di samping itu, keluarga sebagai pembentuk anak yang bisa membanggakan keluarga, nusa, dan bangsa.
Pada akhirnya, jika budaya literasi ini dapat diaplikasikan dalam keluarga, maka akan membangun peradaban suatu bangsa karena kemampuan literasi merupakan sebuah kunci dari ilmu pengetahuan yang tak berhingga luasnya serta memberikan dampak yang besar bagi kemajuan sebuah bangsa dan negara. Salam literasi.