Rabu, Januari 22, 2025

Buat Apa Resolusi Tahun Baru Jika Masa Depan Sudah Ditakdirkan?

Sigit Adi
Sigit Adi
Researcher at Minerva E-Co
- Advertisement -

Sebentar lagi kita akan segera memasuki tahun baru. Seperti kebiasaan yang sudah-sudah, banyak orang membuat resolusi tahun baru yang berisi harapan tentang hal-hal yang ingin mereka capai yang belum terealisasikan di tahun sebelumnya. Sebagian orang mungkin ingin berhenti merokok, sebagian lainnya ingin menurunkan berat badan, promosi jabatan, kawin, punya rumah, mobil baru, HP baru dan sebagainya.

Menetapkan resolusi tahun baru didasarkan pada keyakinan bahwa kita memiliki kemampuan dan kemauan untuk mewujudkannya. Kitalah yang menentukan apakah daftar target yang tertulis dalam katalog resolusi akan tercentang di tahun mendatang. Pembuatan resolusi ini berakar pada keyakinan bahwa masa depan belum ditentukan. Dengan kata lain, secara implisit, mereka yang membuat resolusi tahun baru cenderung bersebrangan dengan pandangan hidup yang menganggap bahwa segala sesuatu telah ditakdirkan.

Masalah ini menarik kita pada perdebatan teologi klasik yang membenturkan gagasan kehidupan yang predetermined dengan kehidupan yang digerakkan oleh free will atau kehendak bebas. Kedua konsep ini saling menegasikan satu sama lain.

Bagi mereka yang meyakini gagasan kehidupan yang predetermined, manusia ibarat wayang yang melakoni jalan cerita yang ditentukan oleh sang dalang—dalam konteks agama yaitu Tuhan—sehingga masa depan sudah dipastikan dan free will tidak relevan. Sementara, bagi yang meyakini adanya free will, menganggap manusia memiliki kemampuan untuk menentukan pilihan tanpa dikendalikan oleh sesuatu yang eksternal dari dirinya—seperti takdir. Artinya, manusia sendirilah yang membentuk masa depan.

Beberapa filsuf coba urun gagasan untuk mengurai perdebatan pelik ini. Salah satu yang paling terkenal dan berpengaruh lebih dari seribu tahun adalah argumen yang dikemukakan filsuf Romawi, Boethius (480-525 M), tentang pengembara di lembah dan pengamat di atas gunung.

Boethius menganalogikan manusia sebagai pengembara yang melakukan perjalanan di lembah dan Tuhan sebagai pengamat di atas gunung. Pengembara hanya melihat bagian-bagian jalan yang dilaluinya, pandangannya bersifat parsial. Sementara, Tuhan di atas gunung melihat keseluruhan jalan, semua bagian ada untuk-Nya. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih belokan mana pun ingin yang dilaluinya, tapi itu semua tidak lepas dari jangkauan Tuhan.

Namun, argumen Boethius ini mengantarkan pada sebuah masalah ketika dibenturkan dengan sifat maha tahu Tuhan. Dengan sifat maha tahu-Nya, pengetahuan Tuhan tidak mungkin salah, jika Tuhan tahu belokan mana yang akan dipilih oleh pengembara, maka itu pasti terjadi. Dengan demikian, bukankah perjalanan pengembara sudah ditentukan? Kebebasan memilh belokan hanya sekadar ilusi belaka.

Filsuf generasi berikutnya juga turut memberikan kontribusi pemikiran dalam perdebatan ini. Thomas Aquinas, filsuf dari tradisi skolastik abad ke-13, menyatakan bahwa kebebasan terwujud ketika orang memilih cara untuk mencapai kebaikan hakiki. Kehendak bebas harus dilaksanakan melalui pilihan-pilihan yang selaras dengan kebajikan dan rencana ilahi.

Argumen Aquinas mirip dengan beberapa filsuf pencerahan seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan Immanuel Kant. Mereka semua mengatakan bahwa bahkan jika semua yang kita lakukan diputuskan oleh kekuatan atau keadaan eksternal, kita masih bisa bebas jika apa yang terjadi dalam diri kita sejalan dengan itu—bertindak berdasarkan gagasan dan alasan kita sendiri.

Masalah dari argumen ini adalah konsep kehendak bebas yang mereka kemukakan memiliki limitasi. Kehendak bebas hanya bebas sejauh memenuhi syarat dan kondisi tertentu, baik itu rencana ilahi atau moralitas dalam diri, dan bukankah itu berarti tidak bebas?

- Advertisement -

Irisan dengan Fisika Modern

Perdebatan tentang apakah masa depan telah ditentukan atau dibentuk melalui kehendak bebas menemukan irisannya dengan perkembangan fisika modern. Bermula dari tesis doktoral yang ditulis fisikawan Amerika, Hugh Everett, pada tahun 1957 yang berjudul The Many-Worlds Interpretation of Quantum Mechanics, pemahaman umum orang tentang bagaimana dunia bekerja terguncang.

Dalam tesisnya, Everett coba memecahkan masalah intervensi pengamat pada keruntuhan fungsi gelombang dalam eksperimen celah ganda. Singkatnya, menurut Everett, masalah tersebut bisa diatasi jika kita mempostulatkan adanya percabangan dunia yang berjalan secara pararel.

Teori Everett menjelaskan bahwa dunia-dunia ini bercabang satu sama lain, nanodetik demi nanodetik, tanpa satu sama lain saling bersinggungan dan terkomunikasikan. Di tiap dunia, keputusan berlaku secara berbeda. Dalam dunia pararel, kita menjalani berbagai kemungkinan dari pilihan-pilihan yang jumlahnya tak terhingga di dunia yang berbeda. Teori ini mengatasi limitasi pilihan yang mencegah aktualisasi kebebasan saat kita mengandaikan hanya ada satu dunia. Kehendak bebas berlaku karena orang menjalani berbagai kemungkinan dari pilihan-pilihan yang jumlahnya tak hingga di banyak dunia, tidak ada satu takdir yang telah ditetapkan.

Jika mengasumsikan bahwa dunia pararel benar, maka kita tidak perlu khawatir gagal mewujudkan resolusi tahun baru di dunia ini karena di dunia lain mungkin kita mencapainya, dan di dunia lainnya lagi bahkan mungkin kita melampauinya. Namun, di sinilah masalahnya. Teori ini menemui kesulitan ketika dihadapkan pada persoalan identitas diri yang sifatnya lintas dunia.

Identitas diri seseorang tidak dapat dipisahkan dari aspek pengalaman seseorang di dunianya. Pengalaman-pengalaman yang kita alami dari hasil pilihan membentuk apa yang kita sebut “diri”. Dengan kata lain, diri adalah penubuhan dari pengalaman-pengalaman di dunia yang kita hidupi. Jika pengalaman-pengalaman tersebut membentuk definisi “diri” kita di dunia ini, lalu apa yang menjamin diri kita di dunia lainnya yang mengalami pengalaman berbeda adalah diri yang sama? Inilah pertanyaan yang belum mendapat jawaban meyakinkan sehingga perdebatan tampaknya masih akan terus berlanjut.

Sampai saat ini, saya sendiri masih belum berminat membuat resolusi tahun baru sebelum mendapatkan penjelasan yang meyakinkan dari para filsuf dan ilmuwan, atau semua ini bisa lebih mudah jika ada jawaban tentang apakah Tuhan bisa berubah pikiran. Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda membuat resolusi tahun baru?

Sigit Adi
Sigit Adi
Researcher at Minerva E-Co
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.