Perjalanan bangsa Indonesia selama tahun 2019 menyisakan beragam suka dan duka. Dalam rentang waktu tersebut, banyak pengalaman yang dapat menjadi pelajaran. Mulai dari politik, hukum, sosial, budaya dan masih banyak lagi yang bisa menjadi bahan kontemplasi.
Kiranya tahun baru 2020 merupakan tonggak baru yang dapat mempersatukan kita ditengah gelombang perpecahan yang semakin mematahkan semangat persaudaraan. Isu demikian makin nyaring dengan diselubungi identitas yang semakin meruncing, memperkeruh dan mengeliminasi kebangsaan kita di bumi pertiwi.
Selama tahun 2019, beragam isu identitas bermunculan di tengah masyarakat. Setiap orang mendaku kebenaran atas identitasnya, sementara diluar dari mereka munafik, terkutuk dan kafir. Gelombang perpecahan mulai merasuki masyarakat dengan label agama. Masyarakat mulai dikambing hitamkan dengan beragam identitas yang menggerakan mereka agar lebih cepat dan mudah memusuhi kelompok lain.
Strategi devide et impera seperti yang dilakukan oleh pihak kolonial mulai bangkit kembali. Masyarakat mulai diombang-ambing tidak menentu hanya karena identitas. Kebangsaan mulai luntur dan tenggelam dalam hiruk-pikuk manusia yang mengatasnamakan dirinya paling suci, benar dan pembawa damai.
Berita bohong (hoax) dan ujaran kebencian (hate speech) terhadap kelompok lain mulai menyebar dengan cepat. Kebenaran soalah milik satu individu dan kelompok semata. Kebenaran yang dianggap tunggal ini diumbar-umbar ditengah keberagaman. Orang mulai mencari kelemahan yang lain supaya lebih memojokkan dan lebih memantapkan kebenaran tunggal mereka.
Pelajaran politik (political lesson) 2019 merupakan pelajaran penting yang dapat kita amati sejauh ini, dimana polarisasi kelompok semakin menguat. Benturan kelompok menjadi lebih kental dan kuat hingga menyebabkan konflik yang menggerus kemanusiaan dan peradaban. Pancasila dan nasionalisme semakin didengungkan dimana-mana, seolah kami paling nasionalis dan pancasilais. Koreksi terhadap diri sendiri malah jauh dari kesadaran sebagai manusia yang mengakui kesalahan.
Di negara-negara lain dengan perekonomian yang mapan, identitas bukan menjadi masalah yang menghambat kemajuan bangsa. Malah identitas yang beragam dijadikan sebagai modal sosial (capital social) yang dapat memperkuat eksistensi bangsa di masa mendatang. Mereka melihat identitas bukan sebagai masalah tetapi mengakomodir corak identitas yang beragam untuk dijadikan landasan dan pijakan sebagai nilai-nilai hidup (life of value) yang dapat menjadi pegangan (handle).
Ini merupakan usaha untuk mendorong setiap identitas lebih bersinergi lewat kretifitas yang dipacu melalui peningkatan penididkan dan kecerdasan emosional. Mereka berpandangan, satu negara dengan identitas tunggal justeru tidak akan berkembang karena setiap individu sulit berinteraksi dengan nilai-nilai diluar dari nilai mereka.
Sebetulnya, dengan contoh semacam ini kita mesti kembali melihat kedalam diri seraya mengaktualisasikan diri dengan memahami setiap perbedaan sebagai sebuah entitas kebangsaan yang diperoleh lewat cara kita membawakan diri ditengah keberagaman.
Mendobrak Kebekuan
Sepanjang tahun 2019, kondisi bangsa selalu diperhadapkan dengan hiruk-pikuk kebencian. Pangkal persoalan bermuara dari sikap ekslusif yang seringkali menjadi penghambat bagi kita untuk menerima segala perbedaan.
Cara kita memandang perbedaan seringkali mengalami kontradiksi dengan cara kita mempertahankan Pancasila. Artinya, Pancasila sebagai dasar dari hidup bersama mengalami kebekuan karena kurangnya pemahaman bersama untuk mengenal lebih jauh dan mendalam nilai Pancasila. Kondisi kebekuan yang sedang kita alami mempengaruhi cara kita memperlakukan perbedaan.
Kita terlalu lemah dan mudah dipelintir dengan narasi-narasi yang dibangun dari kelompok lain untuk mengadu domba kesatuan dan keberagaman. Semua orang mulai menarik diri dan membentuk kubu guna menerangkan kebenaran dari kubu sendiri yang harus di ikuti oleh kubu lain. Kebenaran menjadi milik kita seutuhnya dan orang harus mendalami kebenaran yang sedang kita ucapkan.
Ini merupakan patologi sosial yang menghinggapi pemikiran dan tindakan kita ditengah bangsa yang beragam. Kita tidak mampu mendobrak kebekuan masyarakat yang seperti ini, malah ikut mendukung dengan membendung kelompok lain agar masuk dalam jerat yang sudah kita siapkan. Di sana kita terlibat dalam arus untuk menundukan kelompok lain.
Meminajm ungkapan Thomas Hobbes, bellum contra omnes, akan semakin nyata karena kegagalan dan kealpaan kita untuk bersama-sama terbuka terhadap kondisi sosial. Melalui sikap inklusif seharusnya garis demarkasi harus kita patahkan demi membuka cakrawala berpikir yang luas dan mampu menghadirkan keseragaman ditengah keberagaman. Bukan malah kita ikut-ikutan memperkuat adanya garis demarkasi dengan terus-terusan meruncingkan ketajaman permusuhan diantara kelompok masyarakat.
Tahun baru 2020 harus menjadi awal yang menuntun segenap perilaku kita sebagai bangsa yang hidup dengan beragam corak budaya yang berbeda. Kita boleh bangga saat ini sedang memasuki revolusi industri 4.0. Tetapi kalau di dalam diri kita diantara sesama bangsa masih menggam erat sikap ekslusif dan permusuhan.
Semua tidak berguna jika kita terus-terusan saling memusuhi, menggauli kelompok lain dan melakukan fitnah hanya karena perbedaan. Kemajuan Indonesia di masa mendatang, selain dipersiapkan lewat ekonomi, pendidikan, budaya, di sisi lain harus dipersipakan melalui kerja bersama dengan sikap terbuka dan optimis merekat persaudaraan. Langkah untuk mencapai keunggulan harus didahului lewat cara kita menaja langkah melalui sikap menghargai perbedaan.
Sifat-sifat untuk mendiskreditkan kelompok lain dan menganggap kebenaran adalah milik kita, seharusnya mulai dipatahkan. Saya percaya, 2020 kita akan memasuki area yang semakin terbuka karena perbedaan bukan masalah tetapi modal penting bagi kemajuan. Selamat tahun baru, salam persaudaraan.