Ketika tulisan ini dibuat, sudah terhitung 4 hari sebelum Majalah TIME edisi sampul BangtanBoys (BTS) akan dijual secara resmi di seluruh dunia. Jumlah eksemplarnya tentu tak main-main: TIME sebagai majalah kelas dunia, juga menimbang massa penggemar BTS yang banyak, tentu membuat pihak majalah harus menyimpan stok untuk diluncurkan secara resmi dan menyeimbangkan kuota pre-order.
Namun, terlepas dari kedua hal itu, yang tak kalah menarik tentulah judulnya yang membuat banyak dari kita berpikir : BTS, boyband kenamaan Korea Selatan yang baru saja membawakan pidato di PBB berikut Korea Selatan dengan industri hiburan juga Operasi Plastik (baca : operasi estetis)nya, dan ‘Next Generation Leaders’?
BTS dan Gemerlap Bintang Korea Selatan
Penulis ingat saat pertama kali BTS merilis lagu perdananya beberapa tahun silam : “Just One Day”. Tak jauh berbeda dengan konsep klip video boyband/girlband yang lain, BTS memilih tema romance dengan nuansa merah muda sebagai latar dominan video, dan lagu berisi pujian-pujian dari seorang lelaki kepada perempuan yang pertama kali ditemui dan harapan untuk terus bertemu secara lebih intens: intinya klise.
Beberapa tahun kemudian, BTS lebih variatif mengemas pesan kepada penggemarnya, termasuk “Spring Day” lagu yang masih sering penulis putar hingga saat ini. Konon—sebagaimana juga ditafsirkan oleh penggemarnya—lagu-lagu selanjutnya adalah tentang mengejar mimpi, bekerja keras untuk masa depan (juga tampilan budaya, bagaimana orang-orang Korea Selatan bekerja), dan, tentang pentingnya mencintai diri sendiri.
Untuk tafsiran paling akhir ini, BTS sempat menampilkannya ketika dipilih untuk membawakan pidato di PBB. Mereka meng-highlight “Speak Yourself” sebagai pesan utama pidato mereka. Pesan BTS kepada seluruh anak muda di dunia kurang lebih : untuk berani berbicara kepada diri kita sendiri, maju dengan keyakinan yang dimiliki, dan tak harus peduli tentang apa yang dunia katakan.
Menariknya memang, dalam pidato tersebut, BTS sempat membahas kilas balik sejarah orangtua-orangtua mereka saat perang masih berkecamuk dan tidak ada yang bisa diharapkan saat itu. Seolah-olah, dengan kerja cerdas dan kolaboratif masyarakat Korsel bertahun-tahun hingga sekarang dari masa lalu yang pekat dan menakutkan, mereka mampu menunjukkan kepada dunia—menjadi yang paling berpengaruh bagi anak muda—terutama pada industri hiburannya.
Ketika BTS tampil mendunia, siapa yang tidak mengetahui bagaimana industri hiburan berikut manajemen dan agensi lokalnya ikut terdampak? Dibalik simbol kerja keras, wajah-wajah tampan dan sifat-sifat estetis itu, Korsel menyimpan banyak hal yang juga perlu diceritakan kepada dunia.
Industri hiburan yang penuh persaingan, memang menjadi jalan terjal dan berduri yang harus ditempuh—mereka yang mengabdikan dirinya disana. Bagaimana dengan embel-embel operasi plastik, angka bunuh diri akibat tekanan sistem pendidikan, dan bahasa Korea yang konon sulit dipelajari (ketika rakyat Korsel juga dituntut menguasai bahasa Inggris) ini?
Yang Terdampak dan Pesan yang Harus Diamalkan
Betapapun, BTS adalah nilai-nilai luar yang secara tidak langsung terimpor akibat kecanggihan sistem komunikasi hari ini, juga dunia yang makin mengglobal. BTS sebagai hiburan pelepas penat saat lagu-lagunya diperdengarkan, tidak serta merta mengubah selera serta pandangan sosial dan budaya masyarakat Indonesia, termasuk identitas anak-anak muda penggemarnya. Ingatkah ketika acara pembukaan Asian Games di Jakarta, INASGOC mengundang dua artis korea dan timbul kontra dari mayoritas masyarakat? Belum lagi mengamati postingan di facebook atau komentar dan cuit di Twitter atas kejadian saat itu : terlalu menakutkan.
Hiburan sejatinya tidak boleh pernah jatuh menjadi fanatisme yang membuang-buang waktu dan justru harus dinikmati. Ia tetaplah selingan ketika otak lelah atas rutinitas harian dan membutuhkan aktualisasi seni sebagai alternatif. BTS, dalam citra yang terbangun, juga Korea Selatan dibelakangnya, jugalah merupakan sebuah kritik : dibalik kemegahan jas dan wajah tampan itu, ada berderet-deret manusia yang bekerja seperti boneka, yang hidupnya diarahkan oleh sistem modal.
Anak-anak muda penggemar Kpop di Indonesia juga perlu mencermati banyak hal terutama untuk perempuan yang menjadi mayoritas didalamnya. Mari kita bayangkan 10 tahun kedepan, ketika hari ini fangirling drama, penampilan, dan kostum para idol lebih dominan menghiasi perbincangan kita (sebagian yang sifatnya estetis itu bukankah tetap merupakan sesuatu yang superfisial—dangkal?).
Dan tak ada masa depan yang tak disemai sekarang, kata Goenawan Mohamad. Suatu kali pada sore hari, sambil menunggu kabar paling ter-update dari sang idola, bolehlah kita menengok sejarah Korsel ketika perang masih berkecamuk dan kondisi politiknya hari ini. Atau, boleh juga melihat bagaimana sastra korea mulai bangkit hari ini dan keindahan linguistik yang menyertainya. Karena perlu diingat—seperti kata Al-Attas: mencari peranan sebuah peradaban bukan dari sifat-sifat estetik, ciri-ciri yang mudah dipandang oleh mata jasmani—“tetapi pada bahasa dan tulisan yang sebenarnya memperlihatkan cara daya budi dan akal merangkum pemikiran”.
BTS dalam sampul majalah TIME harusnya membuat kita banyak belajar dan semakin semangat merancang—serta menjalani—kehidupan yang lebih baik kedepan. Kalau tidak, pesan dan makna yang mereka tampilkan dalam setiap gerak, warna, dan nada terancam tidak akan pernah berarti nyata dan akan habis oleh masa. “Spring Day” tidak akan datang dan kita masih akan statis dalam kebekuan musim yang tidak pernah terganti sembari mengawang—dimanakah pemimpin-pemimpin, para pemecah kebekuan itu?