Pemerintah Indonesia memberikan kado pahit bagi rakyat Indonesia di tengah pandemi corona. Melalui Perpres no. 64 tahun 2020 tentang Jaminan Sosial, pemerintah menaikan iuran BPJS Kesehatan bagi peserta mandiri segmen Pekerja Bukan penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) kelas 1, 2, dan 3. Harga baru iuran BPJS mandiri segmen PBPU dan BP cukup tinggi. Kelas 1 naik menjadi Rp150.000, kelas 2 naik menjadi Rp100.000, dan kelas 3 naik menjadi Rp35.000. Namun, iuran kelas 3 baru akan naik pada 2021.
Kenaikan iuran BPJS peserta PBPU dan BP di tengah pandemi corona dapat memperburuk kehidupan peserta BPJS segmen tersebut. Sebelum kenaikan BPJS, masyarakat Indonesia telah mengalami berkurangnya pendapatan yang signifikan karena dampak ekonomi pandemi corona. Mulai dari pengurangan pendapatan rumah tangga karena pengurangan gaji, bahkan kehilangan seluruh sumber pendapatan terutama bagi pemilik usaha kecil, pedagang kaki lima, pekerja informal, dan pekerja formal yang di-PHK.
Berdasarkan kriteria BPJS pada dokumen “Panduan Praktis tentang Kepersertaan dan Pelayanan Kesehatan yang Diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan Berdasarkan Regulasi Yang Sudah Terbit”, segmen PBPU merupakan pekerja yang bekerja di luar hubungan kerja dan pekerja mandiri.
Sementara itu, segmen BP merupakan investor, pemberi kerja, penerima pensiun, perintis kemerdekaan, dan bukan pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai huruf e yang mampu membayar iuran. Berdasarkan definisi itu, maka petani, peternak, dan masyarakat yang hidup dari sektor informal seperti pedagang kaki lima, asongan, pengemudi angkot, ojek daring maupun pangkalan, dan kuli bangunan yang tidak dianggap ‘membutuhkan’ masuk dalam kategori tersebut, sehingga tidak dapat mengakses BPJS PBI (Penerima Bantuan Iuran) yang seluruh iurannya ditanggung oleh pemerintah.
Walaupun saat ini hampir seluruh masyarakat tengah terpukul oleh krisis ekonomi sebagai dampak dari usaha ‘memerangi’ penyebaran virus corona, tetapi petani, peternak, dan sektor informal akan lebih terpukul dengan adanya kenaikan BPJS. Berdasarkan kelompok masyarakat yang masuk dalam definisi PBPU dan BP, investor tetap dapat membayar iuran karena memiliki kekayaan yang melimpah.
Veteran, perintis kemerdekaan, anak dari veteran dan perintis kemerdekaan, serta pensiunan PNS dengan masa kerja minimal 14 tahun tidak ‘terlalu’ pusing karena iuran dibayarkan oleh pemerintah. Namun, petani, peternak, dan sektor informal wajib membayar iuran dengan pendapatan masing-masing yang telah menyusut karena krisis ekonomi yang disebabkan oleh pandemi corona. Oleh karena itu, mereka akan semakin terpukul ketika iuran BPJS Kesehatan naik.
Sektor informal telah terpukul dengan adanya pandemi corona dan upaya pencegahannya yang dikenal dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Pengemudi ojek daring kehilangan lebih dari 50% pendapatan karena adanya pelarangan berboncengan naik motor, sehingga sumber pendapatan yang bisa didapatkan oleh pengemudi ojek daring hanya berasal dari order layanan pengantaran barang dan makanan.
Pengemudi ojek pangkalan bahkan dapat terancam kehilangan 100% pendapatan karena basis pendapatan mereka hanyalah jasa antar jemput penumpang. Pedagang kaki lima dan asongan juga kehilangan pendapatan secara signifikan karena adanya pembatasan keramaian dan keengganan masyarakat untuk berinteraksi langsung karena adanya pandemi corona. Sementara itu, kuli bangunan berpotensi ikut terdampak karena berkurangnya ‘panggilan’ membangun rumah dan infrastruktur lain di tengah pandemi corona yang membuat ekonomi melemah.
Menaikan iuran BPJS akan membahayakan sekitar 74,1 juta (BPS, 2019 dalam Katadata, 2019) masyarakat Indonesia yang hidup dari sektor informal. Angka tersebut akan terus bertambah seiring dengan gelombang PHK yang terjadi selama pandemi corona dan upaya antisipasinya.
Sejak Bulan April 2020, sudah ada sekitar 1,4 juta pekerja formal yang dirumahkan dan di-PHK sebagai imbas dari pandemi Corona (Katadata, 2020). Angka tersebut berpotensi terus bertambah dan berlipat ganda di tengah lesunya aktivitas perekonomian. Pekerja formal yang mengalami PHK atau dirumahkan dan bertambahnya angkatan kerja yang kesulitan mendapatkan pekerjaan karena berkurangnya lapangan kerja akan meningkatkan angka pengangguran di Indonesia. Dampaknya adalah mereka akan mencari sumber penghasilan dari sektor informal.
‘Kado’ pemerintah semakin pahit karena pemerintah memberlakukan denda bagi peserta yang keanggotaannya berhenti sementara, tetapi sempat menerima layanan rawat inap dan dalam 45 hari aktif kembali. Denda yang dikenakan sebesar 5% jika peserta telah menunggak selama 12 bulan dengan denda maksimal Rp30.000.000 (CNN Indonesia, 2020).
Di satu sisi, penerapan denda bertujuan agar masyarakat disiplin dalam membayar iuran, sehingga masyarakat tidak hanya menikmati hak tanpa melaksanakan kewajiban yang dapat merugikan peserta lain. Namun, denda dapat membahayakan sektor informal, karena sektor informal tidak selalu mendapatkan pemasukan setiap bulan yang disertai dengan besaran pemasukan yang tidak menentu, sehingga sektor informal belum tentu dapat membayar iuran rutin setiap bulan.
Di tengah krisis ekonomi, upaya mendapatkan penghasilan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari akan lebih sulit bagi sektor informal dibandingkan sebelum pandemi corona melanda dunia. Hal ini diperparah dengan ketidakpastian waktu berakhirnya pandemi corona, bahkan wacana yang berkembang akhir-akhir ini adalah ‘normal baru’ atau manusia terpaksa hidup ‘berdampingan’ dengan virus corona yang membahayakan kesehatan karena sampai saat ini belum ditemukan vaksin anti-corona. Dengan kata lain, dibutuhkan perubahan drastis aktivitas dan interaksi sosial-ekonomi manusia dalam menghadapi situasi ‘normal baru’.
Perubahan aktivitas dan interaksi sosial-ekonomi manusia berpotensi menyebabkan beberapa bidang usaha di sektor formal dan informal tidak dapat bangkit lagi dan berpotensi akan ditinggalkan.
Dampaknya adalah beberapa pekerja sektor formal dan informal di bidang yang tidak dapat bangkit berpotensi kehilangan sumber pendapatan lebih lama bahkan selamanya, sehingga orang-orang tersebut berpotensi jatuh dalam jurang kemiskinan yang dalam. Lantas, berharap sektor informal mampu membayar iuran BPJS Kesehatan secara rutin di situasi ‘normal baru’ merupakan hal mustahil, bahkan sektor informal berpotensi menjadi ‘langganan’ denda karena tidak mampu membayar iuran secara rutin.
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan merupakan kebijakan yang dapat menghancurkan hidup jutaan masyarakat Indonesia. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan menyebabkan kesehatan masyarakat semakin rentan, sehingga menurunkan kualitas kesehatan masyarakat.
Dari sisi ekonomi, daya beli masyarakat akan menurun karena masyarakat akan terus berusaha untuk membayar iuran BPJS Kesehatan walaupun iuran BPJS naik, karena kesehatan merupakan kebutuhan fundamental. Lagipula, masyarakat tidak memiliki pilihan lain karena ketiadaan layanan perlindungan kesehatan lain yang terjangkau masyarakat. Lantas, kenaikan BPJS Kesehatan berpotensi mendorong jutaan rakyat Indonesia jatuh pada kemiskinan struktural yang akan terwarisi hingga anak cucu mereka.