Jumat, Maret 29, 2024

Bouazizi, Revolusi dan Puisi

Musyfiqur Rahman
Musyfiqur Rahman
Mahasiswa Pascasarjana Kosentrasi Kajian Timur Tengah, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan alumnus Pondok Pesantren Annuqayah, Sumenep. Redaktur sastraarab.com

Pada 14 Januari 2019 lalu, ribuan rakyat Tunisia berkumpul di pusat ibu kota Tunis, tepatnya di Jl. Habib Bourguiba untuk merayakan peringatan ke-8 pasca revolusi yang berhasil menumbangkan rezim diktator pemimpin di negara itu, presiden Zine El Abidin Ben Ali pada 14 Januari 2011 yang berkuasa kurang lebih selama 23 tahun.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, rakyat Tunisia yang ikut dalam perayaan bersejarah tersebut masih membawa harapan besar agar masa depan Tunisia bisa menjadi lebih baik lagi. Dan mereka masih yakin dan optimis bahwa berkat kobaran revolusi yang mampu “membangunkan” kesadaran rakyat, arah perubahan dan peta politik Tunisia akan jauh lebih terarah.

Tidak ada yang mengira bahwa dentuman besar sebuah gerakan yang menjadi awal berhembusnya Arab Spring akan datang dari Tunisia, negara yang dalam kalkuslasi politik dan sosoal relatif lebih tenang dan terkendali ketimbang Mesir, Libya, Yaman dan beberapa negawa kawasan.

Meskipun kesejahteraan rakyat dan kebebasan berpendapat masih menjadi “barang” mahal. Justru di balik itu semua, kebusukan penguasa dalam menjalani roda pemerintahan sudah berada di dalam jalur yang sangat memprihatinkan.

Bertahun-tahun lamanya rakyat Tunisia mencoba tenang dalam bingar birokrasi yang penuh dengan intrik, konspirasi dan korupsi. Pengangguran, kemiskinan dan tekanan aparat bersenjata turut memperdalam luka dan kepedihan yang tengah mereka alami.

Lalu sampai kapan tekanan itu mampu mereka pendam? Atau sampai kapan cengkraman penguasa masih bisa bertahan? Jawabannya adalah hingga Mohamed Bouazizi melawan dengan sebuah tragedi sebagai simbol frustasi dan perlawanan.

Boazizi dan Lahirnya Revolusi

Tarek el-Tayeb Mohamed Bouazizi, seorang pemuda Tunisia yang sebelumnya mungkin tidak pernah mengira bahwa aksi tragisnya akan menjadi titik awal perubahan besar bagi masa depan bangsanya, dan turut menghembuskan angin segar bagi negara-negara Arab yang lain untuk ikut bangkit dari keterpurukan dan membangun kesadaran kolektif.

Aksi membakar diri yang Bouazizi lakukan pada 10 Desember 2010 di depan kantor provinsi Sidi Bouzid adalah bentuk protes keras terhadap tindakan aparat kepolisian setempat karena merampas gerobak sayurnya saat tengah berjualan.

Gaya protes seperti di atas terbilang hal baru dalam tatanan masyarakat Arab. Jelas sekali pengaruhnya akan sangat kuat mengakar dalam pikiran banyak orang. Bouazizi sejatinya hanyalah ikon tunggal yang mewakili penderitaan sandara-saudara sebangsanya.

Supremasi yang dihadirkan menjadi tak tertandingi untuk merobohkan benteng-benteng kekuasaan absolut Ben Ali, meskipun ia sudah berusaha keras untuk mencoba mencari simpati rakyatnya dengan berbagai cara, seperti menjenguk langsung ke rumah sakit dan memantau perkembangan kondisi Bouazizi. Namun sayang, takdir akhirnya mengambil nyawa Bouazizi untuk mengubah garis sejarah Timur Tengah.

Merasa terwakili oleh sosok Bouazizi, akhirnya masyarakat Tunisia menumpahkan penderitaan dan kekesalan mereka yang telah terakumulasi menjadi bola salju besar untuk menghantam kekejaman tirani. Sehingga gelombang massa terus bermunculan secara massif dalam satu narasi yang tak lain hanya menghendaki perubahan; revolusi!

Tak ada revolusi tanpa proses evolusi! Demikianlah gambaran dari banyak rangkaian aksi massa yang bermunculan pasca meninggalnya Bouazizi pada tanggal 4 Januari 2011. Proses evolusi ini sudah lama berlangsung di alam bawah sadar masyarakat Arab sebagai gejolak batin yang mengalami berbagai tekanan. Gejolak tersebut hanya menunggu momentum saja. Dan momentum itu datang tanpa pernah diduga, bahkan berlangsung secara alami.

Bouazizi dalam Puisi

Sebagai ikon perlawanan dari kelas paling rendah, Bouazizi akhirnya diabadikan dalam bait-bait puisi para penyair Arab modern. Mereka seolah ingin terus “menghidupkan” Bouazizi dalam bingkai kenangan, sembari menemani kesadaran bangsa Arab bahwa semangat perjuangan untuk menciptakan perubahan tidak boleh dihentikan.

Bahwa Bouazizi telah berjuang seorang diri sambil memikul beban bangsanya dengan mengorbankan nyawa adalah garis takdir yang kini hanya bisa diratapi, tetapi pengalaman traumatik dari tragedi masa lalu yang menimpa bangsa Tunisia sudah seharusnya dijadikan refleksi untuk menggenggam masa depan lebih baik.

Membaca Bouazizi dalam puisi tentu merupakan napak tilas perenungan yang pastinya akan sangat panjang. Ia diam-diam telah menyimpan mimpi indah perubahan. Dan saat ini, proses menggapai mimpi itu tengah diperjuangkan bersama oleh bangsanya, tersulut oleh bara apinya. Gambaran itu bisa kita lihat dalam puisi sastrawan Palestina, Sulaiman Khalil Dagsy, yang berjudul Mimpi-Mimpi Bouazizi.

Tangkai kehidupan melemparkan ruhnya ke medan-medan baru

Anginnya membawa kilau amarah menyalakan percikan api

Memberi isyarat dan kabar gembira

Pada kupu-kupu Tunis yang merah

Bangkit seperti burung Phoenix dengan ruh Bouazizi yang agung

Membawanya menembus cakrawala dalam arti hidup yang sesungguhnya

Maka sempurnalah tangkai-tangkai dalam mimpi Yusuf yang jujur

Dan masuklah (ke Tunisia) saat ini juga dengan penuh kedamaian

Seperti halnya Nabi Yusuf yang meramal masa depan melalui mimpi-mimpinya, Bouazizi juga telah meramal masa depan bangsanya dengan “mimpi” agungnya berupa titisan revolusi. Sulaiman menggambarkan kehidupan sejati Bouazizi sedang berlangsung dalam batas-batas kesadaran masyarakat Arab. Ia menembus cakrawala dan selalu membawa kabar gembira.

Selain puisi ini, Sajak Tunis yang ditulis oleh penyair Palestina yang lain, Tamim Al-Barghouti menyiratkan ratapan mendalam tentang sosok Bouazizi:

Kemuliaan bagi ibu Mohamed (Bouazizi) dan putranya

Kemuliaan bagi bumi Tunis dan langitnya

Kemulian bagi setiap saudara yang menangisinya

Dengan sebaik-baik tangisan orang-orang mulia terhadap saudaranya

Tamim mencoba meratapi kepergian sang martir dengan menghibur orang-orang tercinta yang ditinggal pergi oleh Bouazizi. Seorang ibu, tentu bagaimana pun akan merasakan kepedihan luar biasa ketika ditinggal pergi buah hati untuk selamanya. Terlebih, kepergian Bouazizi dengan cara tidak biasa. Tangisan banyak orang atas kepergiannya dipastikan tidak akan pernah mereda. Memang bukan tangisan histeris. Tetapi tangisan itu memang masih ada dan masih terus menggema, di dalam batin orang-orang yang telah menikmati arus balik perubahan melalui jalan revolusi.

Penyair Khalid Shabr Salim, dari Irak melukiskan sosok Bouazizi dalam puisnya yang berjudul Kebangkitan Bouazizi dalam bait berikut:

Ia bangkit dari tumpukan debu

Dengan wajah tanpa bekas luka bakar

Justru wajahnya berbinar kibaran panji negeri

Diolesi semerbak hati ibunya yang letih

Oleh tirani dan masa

Kebangkitan dalam konteks puisi ini tentu bisa dipahami sebagai harapan besar dan cita-cita luhur untuk membuktikan bahwa nyawa berharga yang telah melayang demi mengutuk keras para tiran sudah membuahkan hasil. Memang tidak ada apapun di dunia ini yang sebanding dengan satu nyawa manusia. Revolusi pada hakikatnya tidak menghendaki nyawa manusia. Tapi memang, nyawa manusia justru menjadi suatu pertaruhan bagi terciptanya sebuah kesadaran kolektif dalam narasi tunggal dengan mengusung akar-akar gagasan paling fundamental.

Musyfiqur Rahman
Musyfiqur Rahman
Mahasiswa Pascasarjana Kosentrasi Kajian Timur Tengah, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan alumnus Pondok Pesantren Annuqayah, Sumenep. Redaktur sastraarab.com
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.