Kamis, April 25, 2024

Bom Surabaya dan Upaya Pemerintah Melawan Terorisme

jejen aqin
jejen aqin
Mahasiswa Pasca UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Penulis Esai, sekarang aktif mengajar di Pondok Pesantren Ali Maksum, Krapyak Yogyakarta

Kejadian teror yang menimpa warga Surabaya khususnya bagi umat kristen di Gereja Kristen Indonesia, Gereja Santa Maria, dan Gereja Pantekosta membuat seluruh masyarakat berduka dan mengutuk keras praktek terorisme yang selama ini menjadi musuh berat pemerintah.

Sebagaimana laporan Tempo.co (13/05/18) bom bunuh diri di tiga gereja yang ada di Surabaya sudah memakan korban 49 jiwa, ada 9 orang yang mati dan 40 yang luka-luka. Menurut laporan Wakapolrestabes Surabaya, Ajun (Komisaris Besar Benny Pramono) diduga bom tersebut diledakkan oleh satu keluarga yang melibatkan istri dan anaknya.

Pasca bom di tiga gereja kemudian bom susulan terus terjadi yaitu di Rumah Susun Wonocolo, Sidoarjo (13/05/18) pada pukul 20.30 Wib, dan di Markas Kepolisian Resor Kota Besar (Mapolrestabes) Surabaya, senin (14/05/18) pada pukul 10.05 Wib. Setidaknya kejadian bom susulan memberikan isarat bahwa penanganan terhadap terorisme harus benar-benar totalitas.

Kejadian teror ini seperti memutar kembali kejadian di Mako Brimob tempo hari (10/05/18), ada dua orang wanita yang masih kecil diduga akan melakukan aksi penusukan terhadap anggota Brimob (Brigade Mobil) sebagaimana laporan Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal M. Iqbal. Itu artinya, pelaku teror tidak ada hubungannya dengan usia, siapapun bisa melakukan aksi bom bunuh diri jika telah terperangkap oleh gerakan ISIS.

Pelaku teror ini menurut Jenderal Tito Karnavian adalah seorang Pimpinan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Surabaya, yang salah satu pimpinannya terjerat kasus pidana teroris yaitu Aman Abdurrahman kini mendekam di LP Nusakambangan. Menurut polisi di balik serangan teror di Surabaya diduga kuat sebagai pembalasan setelah ISIS terdesak di tingkat internasional.

Kesadaran Melawan Terorisme 

Penulis berkesimpulan bahwa terorisme selalu tidak bisa dilawan dengan cara-cara wacana apalagi melalui aksi di media sosial tampa ada penangan khusus dari pemerintah yang lebih serius. Kejian teror akan terus berlanjut jika kejadian-kejadian seperti terorisme selalu disangkut pautkan dengan adanya kepentingan politik tertentu.

Sepertinya, penulis mendunga dua kejadian teror yang memakan korban baik di Mako Brimob dan tiga Gereja di Surabaya adalah salah satu rentetan dari belbagai persoalan keagamaan dan terorisme yang selama ini masih belum ada penanganan khusus dari pemerintah.

Pasca penolakan gugatan HTI kemarin oleh PTUN Jakarta sampai pada kejadian teror dengan adanya bom bunuh diri menandakan bahwa kesiapan negara dalam melawan kemelut terorisme agama masih belum siap. Secara wacana di media sosial barangkali menurut penulis pemerintah masih siap, akan tetapi kenyatannya, apakah dengan adanya wacana memberantas terorisme hal itu menjadi teroris takut?

Justru sebaliknya, selama ini pemerintah dipermainkan, dengan gelombang isu besar terorisme yang semakin hari semakin berani melawan dengan cara-cara yang lebih terorganisir, seakan ada gerakan yang lebih besar di balik teror yang menimpa Indonesia di bulan Mei ini.

Selama ini upaya preventif yang dilakukan oleh pemerintah adalah sebagaimana yang dilaporkan GoodNew From Indonesia (01/03/2018) saat diadakannya pertemuan  antara eks narapidana dan korban kasus terorisme pada tanggal 26-28 Februari 2018 di Hotel Borobudur, Jakarta menghasilkan dua kesimpulan. Pertama, melakukan penanganan secara hadr power (pendekatan keras), kedua, pendekatan lunak (soft power), semua itu tidak lain sebagai bentuk rekonsiliasi yang gagal dilakukan selama ini khususnya bagi Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT).

Bagaimapun sumber terorisme adalah hal yang paling pokok untuk ditelusuri, karena semakin pemerintah melakukan kegiatan yang sifatnya formalitas semakin banyak meluangkan waktu dengan sia-sia. Karena kejahatan terorisme bukan kejahatan yang bersifat induvidual, akan tetapi ini membutuhkan kejeniusan dari sistem kepemerintahan itu sendiri.

Kegiatan rekonsiliasi antar korban dan pelaku terorisme selama ini adalah upaya pemerintah untuk mendamaikan antara dua belah pihak. Akan tetapi pertanyaanya, bukankah doktrin terorisme lebih kuat dari pada menangani persoalan yang sudah terjadi untuk menyadarkan para teroris? Maka jawabannya, sudah sejauh apakah pemerintah melakukan aksi penanganan terorisme di Indonesia selama ini? Mungkinkah selama ini hanya sebatas wacana untuk memberantas terorisme di Indonesia?

Jika persoalan terorisme selama ini hanya menjadi kajian yang ada di seminar-seminar baik di kampus-kampus, atau di berbagai lembaga swasta dan pemerintah sementara kejadian teror terus berlajut semakin massif dan marak. Maka dipastikan bahwa selama ini perbuatan kita (pemerintah) bukan malah meredakan aksi teror akan tetapi malah menyulut kemarahan teroris untuk memporak-porandakan negeri ini.

Untuk mencapai kesadaran kuat melawan terorisme tidak lain adalah saling membenahi antara kekuatan politik dan kelompok solidaritas yang anti-terorisme, bukan malah saling menyalahkan lembaga pemerintah tertentu dan saling menjatuhkan.

Walhasil, untuk memulai kesadaran dalam memerangi terorisme adalah  memperbaiki sitem baik undang-undang masalah terorisme dan kinerja antar lembaga pemerintah dan tidak saling menyalahkan. Wallahualam.

jejen aqin
jejen aqin
Mahasiswa Pasca UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Penulis Esai, sekarang aktif mengajar di Pondok Pesantren Ali Maksum, Krapyak Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.