Minggu, Oktober 6, 2024

Bom Bunuh Diri, Agama, Ekonomi, atau Demokrasi?

Fahmi Karim
Fahmi Karim
Mitra Bakti di Dewan Pengurus Daerah Persatuan Tunanetra Indonesia Provinsi Sulawesi Utara

Banyak elite coba merespon secara politis fenomena bom bunuh diri di gereja Katedral Makasar, Minggu 28 Maret 2021. Bahwa, bom bunuh diri tidak diajarkan dalam agama, agama apa pun. Bom bunuh diri hanyalah motif lain di luar agama. Agama diturunkan untuk mengajarkan kebaikan umat manusia.

Saya coba merespon respon dari elite ini, bahkan kebanyakan orang atau organisasi yang ikut memberi pendapat dan kutukan; pendapat bahwa agama bukanlah dalang, kutukan bahwa perlakuan itu apapun motifnya tidak bisa dibenarkan.

Saya tidak mempermasalahkan kutukan untuk pelaku bom bunuh diri. Saya bersepakat. Dalam tulisan ini lebih mempermasalahkan pendapat orang-orang tentang bom bunuh diri.

Secara singkat, saya akan membagi tulisan dalam tiga poin, kesemuanya terkait dengan fenomena bom bunuh diri dan respon masyarakat pada bom bunuh diri.

Benarkah Agama tidak Berperan dalam Fenomena Bom Bunuh Diri?

Kita bisa saja mengatakan bahwa agama tidak mengajarkan kekerasan, meski pada fakta sejarah kekerasan itu ada. Agama juga tidak mengajari kita untuk bunuh diri, menghabisi tubuh sendiri, meski faktanya agama memberikan fokus yang lebih pada hidup setelah mati. Kehidupan dunia hanyalah suatu kesementaraan.

Jika ditemukan kekerasan atas nama agama, itu bukanlah agama. Begitu pun bom bunuh diri. Peristiwa itu hanyalah tindakan yang salah dari penafsiran yang salah terhadap agama. Agama tidak salah, yang salah orang yang menafsir agama. Artinya kesalahan di sini lebih ke cara berpikir. Bukan pada agama.

Namun di sini menjadi sulit untuk dikonfirmasi oleh masyarakat umum, apalagi awam. Bagaimana cara menafsir dengan benar? Atau mana tafsir yang benar? Apalagi di dunia sekarang yang lebih ingin benar sendiri.

Saya coba menghindari perdebatan demikian. Apalagi berkaitan dengan metode menafsir, tentang bias konfirmasi.

Lepas dari perdebatan tafsir atas agama, bagaimana pun bentuknya tafsir pada agama mensyaratkan agama itu sendiri. Mau salah menafsir atau pun benar, poinnya berangkat dari agama. Agama memberikan kelonggaran untuk menafsir. Agama mempunyai ruang untuk tafsir bisa beda.

Implikasinya, agama bisa juga dikatakan dalang dari bom bunuh diri. Jika agama sudah jelas dengan sendirinya, apalagi persoalan kekerasan, tidak mungkin menyebabkan orang melakukan bom bunuh diri, yang melibatkan banyak orang, di depan rumah ibadah; sasarannya jelas.

Bisa kita katakan, penafsiran hanyalah fakta kedua dari fakta pertama bahwa agama menjadi fondasi dari tafsiran, meski beda tafsiran.

Jika kita memberikan pendapat bahwa agama bukanlah dalang dari kekerasan yang dibuat oleh beberapa kolompok orang, bagaimana jika kelompok itu pernah berbuat hal yang benar sesuai dengan tafsir agama yang kita jalani? Lantas sekaligus kelompok itu benar dan salah?

Artinya kita terlebih dahulu menyingkirkan kemungkinan salah tafsir dari agama tanpa melihat tafsir apa yang digunakan oleh seseorang atau kolompok dalam menafsir agama.

Bagaimana dengan Demokrasi?

Jika benar dari agama, demokrasilah yang patut kita tinjau. Dalam arti ini, cara kita memahami apa itu demokrasi. Demokrasi memberikan ruang bagi kita untuk berekspresi dari sudut mana saja, dalam bentuk pikiran.

Demokrasi adalah suatu “metode” dari cara kita berpolitik. Maksudnya, sekalipun kita bodoh dalam mengambil keputusan, demokrasi tetap menjamin kebodohan kita karena sistem demokrasi berbasis pada hak individu. Jika sistem politik berdasarkan “tujuan”, untuk kebaikan seluruh warga negara, maka kebodohan itu bisa diintervensi karena merugikan kepentingan publik jika kebodohan itu dilibatkan dalam pengambilan keputusan, terutama masalah publik.

Kesalahan dalam menafsir awalnya dibiarkan oleh sistem demokrasi. Bahkan dijamin. Tapi apakah negara melalui instrumennya mesti menginterupsi model salah tafsir agama ini? Di sini kita akan berdebat mana yang terbaik bagi publik.

Pemahaman masyarakat akan demokrasi hanya sebatas pikiran yang perlu diakomodir dan dihargai. Meski kita berdebat bahwa pikiran hanyalah sekadar pikiran, apa jaminan bahwa pikiran tidak menggerakkan tubuh kita? Bahwa pikiran yang membuat kita melangkahkan kaki dan menggerakan tangan?

Kita belum cukup pintar untuk membiarkan masalah-masalah publik ke publik. Persilangan kepentingan, persilangan pemahaman, kurangnya literasi (yang menjadi syarat urusan publik diserahkan ke publik), menjadi kesulitan dalam mengontrol seseorang atau kelompok dalam menyerobot ruang publik.

Poinnya: sistem demokrasi Indonesia yang dipahami hari-hari menjadi pemantik awal seseorang mengimani salah tafsir. Sistem yang hanya berbasis pada hak individu.

Atau Masalah Ekonomi?

Selain agama, hal apa yang bisa menyebabkan kita memilih untuk mati?

Paham estetika memang mungkin. Karena hidup sedemikian kacau, absurd, membuat cemas, tidak kunjung membuat bahagia, sebenarnya hidup hanyalah suatu kutukan. Kutukan akan hasrat kita untuk terus memperoleh bahagia sementara bahagia tidak mungkin kita peroleh. Bunuh diri adalah jalan untuk membunuh hasrat kita akan dunia.

Tapi apa benar ini terjadi pada pelaku bom bunuh diri, misalnya di tempat-tempat ibadah? Sulit untuk dikonfirmasi.

Selain paham estetika, hal yang bisa membuat kita meninggalkan hidup adalah dorongan ekonomi. Siapa yang tahu orang yang bunuh diri dia yang jatuh miskin, hutang banyak, kemudian disodori uang untuk melakukan bom bunuh diri untuk skema yang lebih besar?

Keterdesakan ekonomi bisa membuat orang memilih untuk mengakhiri hidupnya. Lepas dari melakukan bom bunuh diri karena dibayar, atau memilih untuk melakukan bom bunuh diri karena sudah risih dan sulit menjalani dunia yang tidak ramah orang miskin, lalu ditambah bumbu-bumbu kehidupan setelah mati, bunuh diri adalah mungkin.

Artinya, bom bunuh diri bisa lepas dari tafsir agama. Kecuali dibaca dari persoalan ekonomi masyarakat.

Fahmi Karim
Fahmi Karim
Mitra Bakti di Dewan Pengurus Daerah Persatuan Tunanetra Indonesia Provinsi Sulawesi Utara
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.