Islam agama yang sempurna dan sangat memperhatikan seluruh aspek kehidupan bahkan sampai hal terkecil sekalipun, salah satunya yaitu adab dan etika dalam membuang hajat baik besar maupun kecil. Dalam hal membuang hajat pun ada beberapa hal yang mungkin terlewatkan oleh sebagian orang baik itu yang berkaitan dengan etika atau yang lainnya seperti posisi ketika kita membuang hajat tersebut atau arah kemana kita menghadap saat kita membuang hajat.
Salah satu contoh dari nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah seperti yang diriwayatkan oleh Al-Mughirah bin Syu’bah bahwa nabi setiap kali hendak buang hajat beliau menjauh ( menghindari keramaian ). Dan inilah yang diajarkan Rasulullah kepada umatnya.
Istinja’ ( membuang hajat ) seperti yang dikutip dari kitab Al-Fiqhul Manhaji ‘Ala Madzhabil Imam Syafi’i adalah menghilangkan atau membersihkan najis dengan alat bersuci seperti air atau batu dari tempat keluarnya najis tersebut yang dilakukan di tempat tersembunyi dan lebih tinggi dari tanah. Hukum bersuci setelah membuang hajat adalah wajib seperti yang terdapat pada Hadits yang diriwayatkan oleh imam Al-Bukhori dan Muslim bahwa Rasullullah SAW mencontohkan ketika membuang hajat dan memerintahkan Anas bin Malik untuk membawa ember berisi air untuk bersuci setelahnya.
Dinukil dari kitab Al-Fiqhul Manhaji bahwa membersihkan diri setelah membuang hajat lebih diutamakan untuk memakai batu dan sejenisnya yang memiliki sifat kasar seperti dahan yang kering terlebih dahulu sebelum menggunakan air untuk bersuci karena batu dan sejenisnya itu mengangkat najis yang jelas tersebut sedangkan air itu membersihkan sisa najis yang ada, tetapi apabila hal tersebut menyulitkan seseorang untuk melakukannya maka air lebih diutamakan karena cukup untuk mengangkat najis dan membersihkan sisanya. Kemudian diantara adab dan etika ketika seseorang membuang hajat salah satunya yaitu memperhatikan kemana ia menghadap saat membuang hajat tersebut.
Ulama bersepakat bahwa membuang hajat menghadap kiblat hukumnya haram jika dilakukan tanpa adanya penutup atau dilakukan ditempat yang terbuka, beda halnya jika dilakukan ditempat tertutup seperti kamar mandi atau tempat yang memang sengaja dibangun untuk membuang hajat seperti yang telah dijelaskan pada hadits yaitu;
عن أبي أيوب الأنصاري رضي الله عنه عن النبي ﷺ قال : «إِذَا أَتَيْتُمُ الغَائِطَ فَلَا تَسْتَقْبِلُوا القِبْلَةَ وَلَا تَسْتَدْبِرُوها ببول أو غائط، وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا رواه البخاري ومسلم
Dari Abu Ayyub Al-Anshari RA, dari nabi SAW beliau bersabda: jika kalian mendatangi masuk ke dalam WC, maka janganlah kalian menghadap ke arah kiblat dan jangan pula membelakanginya, tetapi menghadaplah ke timurnya atau ke baratnya.
Dapat dipahami dari hadits diatas bahwa membuang hajat menghadap kiblat atau membelakanginya itu dilarang dalam islam, akan tetapi hal itu hanya dikhususkan jika dilakukan disebuah padang pasir atau tempat yang tidak ada penutupnya dan ada beberapa syarat untuk menjadikan tempat itu benar dibangun untuk membuang hajat dan diperbolehkan untuk menghadap atau membelakangi kiblat yaitu sebuah bangunan yang sengaja dibangun untuk membuang hajat, memiliki penutup yang cukup baik dan tidak terlalu luas. Di sisi lain nabi Muhammad SAW juga pernah melakukan membuang hajat menghadap Syam dan membelakangi kiblat, dalam hadits disebutkan dari Ibnu Umar RA bahwa;
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ ارْتَقَيْتُ فَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ حَفْصَةَ لِبَعْضِ حَاجَتِي فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْضِي حَاجَتَهُ مُسْتَدْبِرَ الْقِبْلَةِ مُسْتَقْبِلَ الشَّأْمِ
dari ‘Abdullah bin ‘Umar berkata, “Aku pernah naik di rumah Hafshah karena suatu urusanku. Maka aku melihat Rasulullah ﷺ buang hajat membelakangi kiblat menghadap Syam”
Dari kedua hadits diatas dapat diketahui bahwa Rasulullah melarang membuang hajat menghadap atau membelakangi kiblat dan disisi lain seorang sahabat pernah melihat beliau membuang hajat dengan menghadap Syam dan membelakangi kiblat.
Dapat disimpulkan bahwa larangan membuang hajat menghadap atau membelakangi kiblat hanya jika dilakukan ditempat terbuka tanpa adanya penutup atau tempat yang memang tidak dibangun untuk membuang hajat, dan boleh menghadap atau membelakangi kiblat jika dilakukan di tempat tertutup dan memang sengaja dibangun untuk membuang hajat.