Dua nasabah sebuah asuransi ternama mengadukan pihak perusahaan asuransi ke kepolisian atas dugaan penipuan dalam proses klaim biaya rumah sakit. Para nasabah mengatakan dalam proses klaim, pihak asuransi meminta mereka melengkapi berkas catatan medis yang sebetulnya tidak tercantum dalam polis. Andai pun tercantum, para nasabah mustahil mendapatkan catatan medis lengkap dari rumah sakit sebab regulasi tidak memungkinkannya.
Peraturan Menteri Kesehatan No 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis melarang rumah sakit memberikan catatan medis kepada sembarang pihak, bahkan pasien itu sendiri. Selama ini pasien hanya berhak menerima ringkasan catatan medis.
Pertanyaannya kemudian, mengapa asuransi mensyaratkan hal yang musykil pada nasabahnya?
Hemat saya, ada dua kemungkinan jawaban. Pertama, seperti dugaan para pelapor, bahwa perusahaan asuransi sejak awal tidak punya itikad untuk membayar klaim biaya sakit.Kedua, perusahaan asuransi ingin mendapatkan data—yang tergolong rahasia—untuk kepentingan bisnis mereka di masa depan.Tentu saja muara dari kedua kemungkinan itu adalah profit. Apalagi?
Kemungkinan jawaban kedua menarik sebab, menurut saya, punya kaitan cukup erat dengan dengan fenomena big data.
Big data adalah fenomena abad 21. Hampir seluruh sektor bisnis menjadikan big data sebagai inti. Di era digital kini, big data memang memegang peran penting. Dengan sehimpun besar data, sebuah perusahaan bisa memperhitungkan secara nyaris akurat risiko bisnis hingga tren apa yang akan terjadi di masa depan—bahkan menciptakan tren.
Bolehjadi big data merupakan barang baru di Indonesia, tapi jika Anda pernah membaca Freakonomics besutan Steven D. Levitt dan Stephen J. Dubner, Anda akan tahu bahwa pemanfaatan big data sudah berlangsung lebih awal.
Dalam buku itu, Levitt dan Dubner menganalisis keterkaitan antara yang terjadi di masa lampau dengan yang terjadi hari ini. Mereka menghubungkan variabel satu dengan variabel lain yang mungkin dianggap ‘tidak saling berpengaruh/mempengaruhi’. Analisis mereka, salah satunya, tentang efek kebijakan pelarangan abors idi Rumania pada dekade ‘60an dan ‘70an.
Dari hasil analisis tersebut disimpulkan, “dibandingkan dengan anak-anak Rumania yang lahir satu tahun lebih awal, kelompok anak yang lahi rsetelah pelarangan aborsi lebih buruk dalam berbagai uji: mendapatkan nilai lebih rendah di sekolah, kurang berhasil di pasar tenaga kerja, dan mereka juga cenderung akan menjadi penjahat.” (Levitt, Dubner, 2009: 118). Ada banyak contoh lain yang dibahas dalam buku tersebut. Freakonomics coba menunjukkan betapa data-mining, yang merupakan elemen dari bigdata, begitu penting.
Dalam layanan kesehatan, big data tentu sangat bermanfaat. Catatan medis pasien sangat mungkin digunakan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan.
Tetapi, apa manfaat catatan medis bagi perusahaan asuransi? Dalih yang mungkin sering kita dengar adalah mencegah nasabah membohongi perusahaan asuransi. “Bilangnya nggak punya riwayat penyakit, nggak tahunya mengidap jantung kronis sejak lama.” Begitu kira-kira kekhawatiran perusahaan asuransi.
Namun saya menduga, di balik itu ada kepentingan yang lebih laten, misalnya, untuk membaca kecenderungan penyakit/wabah yang diderita masyarakat tertentu dari tahun ke tahun. Hasil analisis itu kemudian digunakan untuk memilah mana calon nasabah yang ‘layak’ dan ‘tidak layak’. Tentu saja parameter kelayakan ini dibasiskan pada profit. Semakin besar risiko hidup seseorang maka semakin ia tidak layak mendapatkan asuransi. Begitu pun sebaliknya.
Saya mengibaratkan perusahaan asuransi ini seperti perusahaan cenayang. Sebelum memastikan Anda bisa ikut dalam program, seseorang yang dipekerjakan sebagai aktuari akan menghitung risiko kematian Anda terlebih dulu melalui sehimpun besar data, mulai dari di mana Anda tinggal, berapa penghasilan Anda, hingga apa hobi Anda. Bagi mereka, tak ada data yang sepele.
Tidak mengejutkan jika perusahaan asuransi begitu lihai mengolah data hingga dapat memprediksi masa depan, karena sejak awal 1900an di AS, perusahaan asuransi lah yang menjadi perintis data-mining dan pemanfaatan big data.
The Medical Information Berau Inc. (MIB Inc.) menjadi instrumen data-mining bagi perusahaan asuransi di AS. Perusahaan ini dimiliki oleh sekira 500 perusahaan asuransi yang beroperasi di Amerika Utara. MIB mengelola100 juta data rekam medis yang terus bertambah setiap minggu.
Mereka menyimpan berkas rekam medis setiap konsumen asuransi jiwa dan kesehatan. Tidak cuma itu, MIB juga menyimpan rekam jejak individu konsumen, yang meliputi catatan mengemudi, aktivitas kriminal, penggunaan narkoba, keterlibatan dalam olahraga yang menantang/berbahaya, dan riwayat genetik pribadi atau keluarga. Luar biasa bukan?
Data-data itulah yang kemudian diolah hingga mendapat kesimpulan seseorang layak dijamin atau tidak, atau seberapa besar angka jaminan yang bisa ditawarkan kepada calon nasabah. Sekali lagi, tujuan utamanya bukan untuk melindungi Anda dari musibah atau kematian, tetapi untuk mengumpulkan profit sebesar-besarnya. Ini seperti bisnis yang bermain-main dengan kematian seseorang.
Kembali ke kasus yang terjadi di dalam negeri. Adanya kasus dugaan penipuan perusahaan asuransi boleh jadi menjadi peringatan buat kita. Bukan semata soal “jangan sembarangan memilih asuransi”, tapi lebih jauh dari itu, ini soal eksploitasi dalam bentuk lain.
Mayoritas masyarakat kita masih abai dengan hal-hal yang berkaitan dengan data pribadi. Setiap hari kita tanpa sadar dengan sukarela memberi data pribadi pada pihak lain tanpa ada jaminan data tersebut akan terlindungi. Memberikan nomor telepon pribadi saat membeli sesuatu adalah contoh paling sederhananya.
Beruntung Indonesia tidak seperti di AS. Pemerintah masih cukup peduli untuk melindungi catatan medis pasien lewat peraturan menteri. Dengan begitu, catatan medis pasien, yang mungkin terlihat seperti emas bagi perusahaan asuransi, masih aman dari eksploitasi.
Namun mestinya kita tidak boleh berpuas diri. Jamak kita ketahui bahwa pemerintah sangat adaptif terhadap kepentingan bisnis, sehingga bukan tidak mungkin di masa depan permen tersebut dihapus dengan alasan “agar tidak menghambat investasi.”
RUU Perlindungan Data Pribadi yang konon masuk dalam Prolegnas 2017 hingga kini belum diketahui nasibnya. Meski mungkin kita sulit memercayai produk undang-undang yang dihasilkan oleh dewan perwakilan periode ini, tapi setidaknya regulasi tersebut bisa meminimalisir peluang eksploitasi data pribadi oleh para pemburu profit.