Dalam rangka meningkatkan angka vaksinasi Covid di masyarakat, baru-baru ini Presiden Joko Widodo memerintahkan Badan Intelijen Negara (BIN) melakukan kunjungan rumah ke rumah (door to door) untuk mencari warga yang belum melakukan suntik vaksin. Program itu dilakukan di 14 provinsi episentrum covid-19. Jokowi mengharapkan keterlibatan BIN dalam melakukan Vaksinasi door to door dapat mempercepat vaksinasi massal.
Menurut Analisis konflik dan konsultan keamanan Alto Labetubun Keterlibatan Badan Intelijen Negara (BIN) dalam penanganan Covid-19 sudah sesuai dengan Undang-Undang. BIN mendapatkan wewenang dan tanggung jawab dalam menangani Covid-19 untuk menjamin keselamatan dan eksistensi bangsa dan negara serta kepentingan keamanan nasional.
Sebagai lembaga intelijen, BIN pada hakikatnya adalah lembaga yang punya kemampuan dalam melaksanakan pelacakan atau tracing. Harapannya dengan melibatkan BIN dapat mempermudah proses identifikasi persebaran populasi kelompok masyarakat yang belum melakukan suntik vaksin.
Disatu sisi keterlibatan institusi keamanan seperti BIN dalam penanganan Covid banyak mendapatkan kritik dari berbagai LSM. Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti menganggap keterlibatan institusi keamanan seperti Badan Intelijen Negara (BIN) dalam penanganan pandemi Covid-19 tidak membantu harapan menurunkan penyebaran virus. Menurutnya keterlibatan para aktor keamanan justru mempersempit ruang kebebasan masyarakat sipil.
Hal senada juga disampaikan oleh Amsari, selaku pakar hukum dari Universitas Andalas. Menurutnya pelibatan Badan Intelijen Negara (BIN) dalam penanganan pandemi virus corona bisa berpotensi menimbulkan penyimpangan. Menurut Feri, BIN bukan dibentuk untuk menangani wabah penyakit. Selain itu, BIN seharusnya bekerja senyap tanpa terlihat, sehingga tidak bisa menjadi lembaga yang mengeksekusi kepentingan atau tugas-tugas khusus seperti birokrat atau penegak hukum lain.
Salahkah melibatkan secara masif intitusi intelijen selama pandemi?
Mendefinisikan pandemi sebagai ancaman keamanan nasional sendiri merupakan hal yang tepat. Pandemi Covid 19 sendiri telah bertransformasi menjadi masalah multidimensional yang tidak hanya menyerang kesehatan manusia namun juga keamanan nasional. Banyak berbagai jenis kejahatan baru yang muncul selama pandemi dan jarang mendapatkan perhatian sebelumnya. Hal ini sendiri diakui oleh FBI dalam situs resminya yang menyatakan berbagai kejahatan baru seperti tawaran perawatan dan vaksin palsu, peluang investasi palsu di perusahaan medis, dan munculnya sebagai dokter palsu.
Meningkatnya keterlibatan dinas intelijen rahasia di Amerika selama pandemi untuk terus aktif selama pandemi adalah munculnya berbagai kejahatan berteknologi tinggi. Dalam website FBI juga menjelaskan munculnya Scammers yang menargetkan situs web dan aplikasi seluler untuk melacak penyebaran COVID-19 dan menggunakannya untuk menanamkan malware lalu mencuri data keuangan dan pribadi. Penipu bahkan menyamar sebagai otoritas kesehatan nasional dan global.
BIN dan progres reformasi intelijen saat ini
Apabila menelisik ancaman keamanan nasional yang disampaikan oleh FBI dalam situs resminya, dapat disimpulkan terdapat relevansi untuk melibatkan lembaga intelijen. Akan tetapi keputusan untuk melibatkan BIN untuk terjun langsung melakukan vaksinasi kepada masyarakat rasanya kurang cocok bila dikatakan sebagai usaha menjaga keamanan strategis. Peran untuk melakukan vaksinasi secara langsung ke masyarakat akan lebih tepat jika dilakukan oleh orang yang memang ahli di bidang kesehatan misalnya Kemenkes.
Lembaga intelijen sendiri justru dianggap terlibat mengambil bagian dari agenda “politisasi vaksin.” Beberapa waktu lalu BIN bersama mantan Kemenkes Terawan memaksa agar vaksin nusantara segera mendapatkan pengakuan dari BPOM. Dengan label “karya anak bangsa” banyak pihak (termasuk BIN) memaksa BPOM untuk melakukan uji lebih lanjut. BPOM sendiri menilai Vaksin Nusantara sendiri belum memenuhi uji klinik yang baik (good clinical practical), proof of concept, good laboratory practice, dan cara pembuatan obat yang baik (good manufacturing practice).
Pelibatan BIN dalam melakukan vaksinasi kepada masyarakat atau menciptakan vaksin sama sekali tidak mencerminkan agenda reformasi intelijen yang selama ini belum menunjukan progresivitas. Selama ini reformasi intelijen belum mendapatkan porsi perhatian yang cukup dari kalangan eksekutif, legislatif dan masyarakat sipil.
Hal senada juga disampaikan oleh Tim Riset Keamanan Nasional di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Kamnas P2P LIPI). Menurut mereka perlu pembenahan serius terhadap pengawasan intelijen Indonesia. Model pengawasan intelijen pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 belum efektif mendorong intelijen yang profesional dan demokratis. Berbagai kasus dugaan politisasi intelijen, penyalahgunaan intelijen, hingga inefektivitas intelijen masih mendapatkan respons pengawasan yang minim yang selama ini menjadi penghambat berjalannya agenda reformasi intelijen.
Selama ini kritik dari elemen masyarakat sipil terhadap institusi keamanan seperti BIN terus bermunculan akibat ketidakpastian pertanggungjawaban negara atas berbagai pelanggaran HAM yang terjadi selama orde baru misalnya berbagai kasus penghilangan aktivis. Pengabaian ini pula yang menghambat tercapainya reformasi intelijen yang lebih bersih dan mencerminkan nilai HAM. Oleh karena itu, untuk saat ini ada baiknya BIN berfokus pada pencapaian reformasi intelijen dan tentunya menyelesaikan permasalahan keamanan strategis yang terjadi selama pandemi ini.