Pemberangusan, pembakaran, pelarangan, penyensoran, dan penghancuran buku atau yang dikenal dengan istilah bibliosida telah terjadi sejak zaman Sumeria kuno pada 4100-3300 SM sebagaimana temuan para arkeolog pada sebuah kuil di kota Uruk.
Fernando Báez dalam bukunya: “Penghancuran Buku dari Masa ke Masa” membagi peristiwa-peristiwa bibliosida ke dalam tiga gelombang besar berdasarkan zaman. Pertama, yaitu pemberangusan buku pada zaman dunia kuno. Kedua, dari era byzantium hingga abad ke-19. Ketiga, pemberangusan buku dari abad ke-20 hingga sekarang.
Salah satu peristiwa bibliosida terbesar di era dunia kuno adalah musnahnya 40.000 buku dari perpustakaan Alexandria pada 9 November 48 SM saat terjadi perang saudara atau kekacauan politik di Mesir.
Pun pada era byzantium hingga abad ke-19 juga terjadi serangkaian peristiwa bibliosida, seperti penghancuran ribuan naskah di Vietnam selama masa invasi Cina yang dimulai pada 1407 atau Pierre d’Esgain yang dituduh menentang Raja Henry III sehingga ia ditangkap pada Desember 1584 dan tulisan-tulisan satirnya disita hingga dilenyapkan.
Peristiwa-peristiwa semacam itu terus berlanjut hingga era modern saat ini. Seperti yang santer diberitakan belakangan ini, di Indonesia, buku-buku “kiri” kembali menjadi polemik bahkan sampai berujung pada pemberangusan buku-buku tersebut. Salah satu jaringan toko buku terbesar di Indonesia bahkan sampai terpaksa menarik buku-buku kiri dari peredaran.
Dari serangkaian peristiwa bibliosida tersebut terdapat satu ciri yang sama, yaitu: ketakutan. Ketakutan akan adanya pergolakan yang mengancam status quo. Penulis, secara pribadi berpendapat bahwa penghancuran atau segala jenis bibliosida adalah suatu tindakan penghinaan intelektual, baik terhadap penulis buku maupun terhadap pembaca.
Bagaimana mungkin, buku yang merupakan buah pemikiran dari penulisnya diberangus begitu saja atau seorang pembaca yang terkesan dianggap bodoh sehingga menelan mentah-mentah isi buku yang dibacanya. Sekali lagi, ini adalah penghinaan intelektual.
Lebih lanjut, hal ini menjadi semakin menarik jika dikaitkan dengan sistem pendidikan, khususnya di Indonesia. Sistem Pendidikan di Indonesia saat ini mengalami ketimpangan dari segi penyerapan maupun penyampaian ilmu karena cenderung beraliran konservatif atau liberal ketimbang pendidikan kritis.
Pendidikan, secara tidak sadar terpisah dengan aspek-aspek kehidupan lainnya yang pada akhirnya menghilangkan daya kritis individu yang berujung pada langgengnya status quo segelintir orang atau kelompok.
Pendidikan hari ini juga dapat dilihat lebih cenderung dijadikan sebagai alat penyuplai tenaga-tenaga terampil yang dibutuhkan pasar/industri. Untuk itulah sebenarnya diperlukan metode pendidikan yang lebih progresif atau yang dikenal dengan pendidikan kritis. Menurut pendidikan kritis, pendidikan bertugas untuk menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil.
Terkait dengan hal tersebut, penulis menilai bahwa buku-buku “kiri” atau pemikiran-pemikiran kiri mempunyai peran yang penting sebagai penyeimbang agar tugas dan tujuan pendidikan seperti yang tersebut diatas dapat tercapai dan juga agar pendidikan tidak terkesan dogmatis. Mengapa seperti itu?
Jawabannya sederhana, karena buku-buku atau pengajaran-pengajaran yang diberikan di sekolah selama ini lebih banyak beradasarkan pemikiran-pemikiran atau sumber-sumber yang cenderung mengarah pada kapitalisme atau liberalisme. Sebagai contoh, saat di sekolah menengah tentu kita masih ingat tentang mata pelajaran ekonomi yang didalamnya memuat prinsip ekonomi yang berbunyi: “Usaha sekecil-kecilnya, untung sebesar-besarnya.”
Penulis menilai, prinsip (kapitalis) semacam itu tidak begitu relevan dengan sistem sosial masyarakat karena dapat berujung pada pengekploitasian sumber daya alam maupun manusia secara berlebihan. Akan tetapi, di sisi lain, ruang gerak kita sebagai individu juga sangat dibatasi sehingga sulit untuk mencari referensi-referensi lain, selain referensi-referensi yang dianggap aman dan diberikan oleh pemerintah.
Demikianlah sebuah ironi di negeri ini, di satu sisi individu dituntut untuk mengedepankan logika dalam berperilaku namun disisi lain seolah-olah dicegah untuk berdialektika. Di cegah untuk berbeda dan mengalami pertentangan-pertentangan baik dalam bentuk pikiran maupun perbuatan. Dengan kondisi yang seperti itu, tak heran jika banyak terjadi pembiaran terhadap ketidakadilan yang ada. Dan alasan kenapa semua ini dibuat, (sekali lagi) tidak lain dan tidak bukan adalah untuk langgengnya status quo sebagian orang atau kelompok.
Terakhir, penulis ingin menyampaikan bahwa pemberangusan buku-buku atau pun sumber-sumber referensi alternatif bukanlah suatu hal bijak yang dapat diterima. Meski dengan alasan menjaga ketentraman dan keamanan di masyarakat. Pada dasarnya, masyarakat akan terus berkembang mencari bentuk sesuai dengan zamannya.
Konflik-konflik akan tetap terjadi sebesar apapun usaha negara untuk mencegahnya. Lagipula, konflik jika dilihat dari aspek sosiologis justru merupakan unsur yang penting dalam interaksi yang oleh karenanya tidak dapat dikatakan bahwa konflik selalu tidak baik, merusak, atau memecah belah.
Justru konflik dapat menyumbang banyak terhadap kelestarian kelompok dan mempererat hubungan antar anggotanya. Pada akhirnya, persoalan pemberangusan buku-buku maupun perbedaan pemikiran menjadi hanya soal sejauh mana keterbukaaan pemikiran dari para pemegang otoritas dan kebijakan terhadap adanya perbedaan-perbedaan.
Daftar Pustaka:
Báez, Fernando. 2013. Penghancuran Buku dari Masa ke Masa. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
Martono, Nanang. 2014. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.
Veeger, K. J. 1985. Realitas Sosial. Jakarta: Gramedia.