Suatu sore saya terlibat perbincangan menarik dengan rekan sejawat di dunia interior dan arsitektur, Komang Putri, biasa dipanggil dengan Mangput saja, di sudut sebuah coffe mungil sekitaran Canggu.
“Proposal desain saya ditolak, karena harganya terlalu tinggi untuk standar desainer lokal.”
Ungkapan senada yang pernah saya terima, baik dari calon klien bule ataupun sesama orang Indonesia, sejatinya menjadi pertanyaan besar, karena saya berkecimpung di dunia kreatif, di mana hasil karya, relatif dapat dinilai secara obyektif, dan secara visual nyata terwujud.
Ada pengalaman lain yang tak kalah menyebalkan, pernah sekali waktu saya terlibat persiapan pembukaan sebuah Gallery Patung di Bali. Karya yang dijual juga tidak main-main, paling murah di kisaran 75juta dengan ukuran kecil, sedangkan karya Masterpiece bisa mencapai mencapai harga 9M, fantastis!
Selama persiapan, gallery sudah dibuka untuk umum, soft opening istilahnya. Persepsi awal mereka, pematungnya pasti orang bule (luar negeri) karena idenya luar biasa, saat saya beri penjelasan bahwa sang seniman, pematung orang Indonesia berasal dari Solo, sebuah kota kecil di Jawa Tengah.
“Oooo, Noo Wayyy!!” teriakan terkejut yang selalu sama, dan dengan kekaleman yang juga selalu sama, saya jawab, “Ooo, Yes Waayy!!.”
Itu baru ekspresi standar, ada komentar yang lebih kurang ajar, saat saya menjawab pertanyaan mereka tentang asal sang seniman.
“How come an Indonesian sculptor has a crazy imagination like this, and also has ability to make it happen?” “It should be bule, or at least an Malaysian.” Sambung salah seorang arsitek dari Malaysia dengan nada tidak percaya.
Fakta bahwa ungkapan bernada merendahkan tersebut keluar dari dua pihak yang berbeda, yaitu pendatang dan penduduk lokal memantik berbagai petanyaan di kepala. Betapa dijaman Mark Zuckerberg, ternyata bias inferioritas bangsa penjajah pun terjajah masih mengendap kental.
Bali memang kuat memegang budaya, walaupun telah menjadi melting pot sejak awal abad 20 saat ditaklukan secara penuh oleh Belanda, tetapi diluar kekuatannya memegang budaya itu, rupanya persinggungan secara langsung dan terus menerus membawa kenyataan pahit, seolah-olah kita masih menjadi bagian dari negara yang kemerdekaannya baru di atas kertas, secara mental masyarakatnya masih mencari dan mengabdi keterjajahan itu sendiri, dengan mengagungkan dan memuja sesuatu yang bukan Indonesia.
Saya pikir sikap tersebut tidak hanya berlaku di Bali saja, secara umum kita ini masih terkagum-kagum dengan segala sesuatu yang berbau luar negeri, hayo ngaku. Di Indonesia, luar negeri medapatkan maknanya yang khusus dan unik, seolah menjadi panutan dan teladan, di sini boleh dibilang luar negeri tidak pernah mendapatkan kodrat denotatifnya, yakni negeri manapun selain Indonesia.
Apabila seseorang menyebut sekolah luar negeri, lulusan luar negeri, produk luar negeri, liburan ke luar negeri, pasti negeri yang dimaksud bukanlah Papua Nugini, Brunei atau Timbuktu misalnya. Kenapa? Karena hal ini tidak mungkin, mustahil, tidak masuk akal. Luar negeri adalah suatu konotasi lebih maju, lebih unggul, lebih mewah, lebih modern, dan ujung-ujungnya lebih bergengsi.
Kondisi yang terjadi sekarang bagai sebuah ironi, di satu sisi pemerintah menggencarkan bantuan dana pengembangan produk UMKM misalnya, memacu pertumbuhan ekspor, mensupport eksibisi-eksibisi baik dalam ataupun luar negeri, jargon-jargon kita membanggakan produk dalam negeri sering terdengar, tetapi disisi lain kerap pula menyebut produk domestik dengan embel-embel “kualitas ekspor,” supaya dibeli bangsa sendiri, embel-embel tersebut sebenarnya secara tidak sadar adalah tindakan kurang percaya diri terhadap produk yang dihasilkan, kita terlalu mengagungkan dan memuja segala sesuatu yang berbau luar negeri.
Konstruksi luar negeri dalam peradaban indonesia sungguh-sungguh mengandung bias. Itulah bias inferioritas suatu bangsa terjajah. Dampak tersebut tidak hanya pada produk, paling gampang terlihat dengan orientasi “kemajuan” dalam pertumbuhan kota-kota besar di indonesia. Sebagai contoh, perhatikan wajah ibu kota dan kota kedua terbesar, Surabaya. Gedung-gedung, ruang publik tetap saja mengacu pada citra luar negeri.
Pencakar langit dibangun menjulang di pusat bisnis, berlomba-lomba membangun skycrapers, skin building pun berbahan menyilaukan mata, yang sesungguhnya tidak sesuai dengan iklim Indonesia yang hanya dua, jelas memperparah efek rumah kaca. Bentuk dan material diadopsi secara literary, tapi para penghamba luar negeri akan berkata, “Busyet, sudah seperti di luar negeri nih.” Citra kemajuan seolah tidak bisa lain dari gedung-gedung jangkung.
Penghambaan luar negeri itu tidak hanya terjadi di kelas atas, pada menengah pun hal tersebut terjadi, lihatlah brosur traveling yang banyak beredar, baca tagline “Tak Perlu Ke Paris, Indonesia Punya 5 Menara Eiffel KW” di Semarang, Palembang, Purwokerto, Merapi Park, dan Malang, begitu penting dan bergengsinyakah bagi masyarakat kita untuk berkunjung ke Menara Eiffel, Paris, sehingga dibuat tiruannya. Sejatinya itu adalah citra luar negeri yang mengenaskan.
Ini masalah serius, Indonesia tidak kekurangan arsitek, disainer, seniman ulung yang bisa diajak pemerintah setempat untuk menciptakan ikon-ikon lokal yang menarik, mengambil inspirasi dan semangat luar negeri boleh, tapi membuat Eiffel KW, hal yang “iyuh” banget.
Saya bukan antipati terhadap hal-hal berbau luar negeri, juga bukan manusia kuper, kudet, cupu, apalagi kita hidup di dunia tiada batas seperti saat ini, mengambil inspirasi, beorientasi keluar negeri boleh-boleh saja, masalahnya dengan kualitas apa yang dipuja-puja itu? Apabila sekedar peniruan secara literary bangunan misalnya, mengapa tidak memilih menjiplak Amsterdam sekaligus kanal-kanalnya untuk mengantisipasi permasalahan bentukan kota sekaligus mengatasi banjir Jakarta, misalnya, dan revitalisasi gedung-gedung tua peninggalan arsitektur kolonial yang indah dan lebih sesuai dengan iklim Indonesia.
Luar negeri bukan di sekedar cas cis cus, ewes ewes berbahasa Inggris, Prancis, Jerman, Jepang, Mandarin, bukan juga sekedar melek dan mengkoleksi produk-produk ikonik, cafe-cafe, atau meniru gaya hidupnya, itu mah cuma luar negeri sebatas dengkul. Betapa bersemangat dan bangganya kita menjadi seperti luar negeri yang semu.
Kenapa tidak meniru luar negeri pada sisi kualitasnya, Jepang untuk etos kerja misalnya, Finlandia yang masyarakatnya berdamai dengan dirinya sendiri, santai dan bebas, membuat negara dengan penduduk paling bahagia. Kita meniru nilai-nilai kesetaraan, sistem pendidikan, penghargaan atas waktu, penghargaan atas profesi, kedisiplinan, keteraturan, kebersihan, duh banyak banget. Hingga pada akhirnya menghilangkan bias inferioritas yang entah kenapa kok kita setia menempel padanya.
Jika ada yang berkata lokal, so lokal pipel, dengan bangga kita bisa menjawab, iya saya lokal trus napah?