Dalam banyak hal perbincangan mengenai desa, selalu terhidang kondisi keterbelakangan dan keterpurukkan. Kilau modernisasi yang dianggap buah dari pembangunan tak pernah surutkan desa dalam warna-warna murung.
Meski berbagai formula pembangunan telah dijalankan namun hasilnya masih banyak mengundang kecewa. Maka saat asa baru terbit menjadikan desa sebagai poros baru pembangunan nasional, gempita harapanpun hadir.
Dan ketika desa menjadi titik tumpu pembangunan, tentulah muncul pertanyaan kearah mana pembangunan desa meski digerakkan? Apakah hanya memindahkan lambang-lambang kemoderenan ataukah meletakkan filosofi dan kerangka dasar pembangunan dalam altar luhur tata nilai serta tata kelola desa yang yang telah ada selama ini.
Rezim pemerintahan Jokowi, meletakkan mahkota pembangunan nasional pada perdesaan. UU Desa dan Kementrian Desa, seolah menjadi ramuan andalan dan ikrar suci bagi kemakmuran rakyat yang selama ini berada di ruang tunggu kesejahteraan.
Namun seolah khilaf kebijakan dan kealpaan rezim selalu terulang, hingga sketsa kemakmuran di pedesaan masih menjadi ilusi pembangunan.
Dua hal yang selalu dijadikan alas setiap rezim dimana menjadikan pembangunan nasional berkutup pada perdesaan, pertama , sebagian besar penduduk Indonesia berdiam diri di wilayah desa, meskipun proporsinya dari tahun ke tahun makin merosot. Saat ini diperkirakan 60% penduduk masih tinggal di desa. Kedua ,kesejahteraan penduduk di desa jauh tertinggal dibandingkan penduduk kota. Sebagian besar penduduk desa bekerja di sektor pertanian atau sektor informal dengan pendapatan yang rendah. Saat ini sekitar 63% dari total penduduk miskin berdiam diri di desa.
Jejak Pembangunan Desa
Selama ini terdapat banyak pendekatan pembangunan perdesaan dari zaman ke zaman, dari rezim ke rezim. Bila kita lacak, setelah era reformasi, pemerintah Habibie melaksankan program IDT (inpres desa tertinggal) untuk membangun desa. Fokus program ini dtujukan pada katagori desa-desa miskin. Program ini sendiri tampaknya belajar dari konsep Pembangunan Pedesaan Berhaluan Kemiskian. Sayangnya, begitu pemerintah Habibie lengser program inipun seolah menguap.
Di era Megawati, program pedesaan yang menonjol dan tetap ada sampai sekarang adalah PPK (Program Pengembangan Kecamatan). Departemen Dalam Negeri mengklaim program ini sangat berhasil sehingga mengeluarkan edaran agar setiap daerah menerapkan model PPK ini sebagai acuan pemberdayaan desa.
Ternyata program yang diagung-agung keberhasilnnya tersebut lebih fokus pada pembangunan fisik, sementara program ekonomi dan pembangunan sosialnya hampir tidak tersedia. Jika indikatornya adalah pembangunan fisik tentulah program ini berhasil, tetapi PPK ini sendiri hanya menyentuh kelas elit dipedesaan saja.
Rezim SBY (Susilo Bambang Yudoyono) tetap melanjutkan program PPK yang kemudian diobah namanya menjadi PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri yang konsepnya tetap menggunakan konsep PPK dengan sumber pembiyaan dari pemerintah daerah.
Selain program PPK, rezim SBY juga memperkenalkan program Beras Miskin (Raskin), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Asuransi kesehatan keluarga miskin (Askeskin), dan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) serta Prona Pertanahan, Desa sehat. dan program lain yang ada di departemen seperti Program Desa Rawan Pangan, Program Desa Pinggir Hutan, dan seterusnya dimana semua departemen mengatasnamakan kemiskinan dengan target program pedesaan.
Sementara itu, disetiap provinsi dan kabupaten memiliki program pemberdayaan sendiri-sendiri yang tida saling berkaitan dengan sararan desa. Program ini pun sulit dikatakan sukses, justru aroma tak sedap dalam pemanfaatan dana-dana program yang merebak, hingga bermuara pada kasus-kasus pidana pimpinan dan pengurus desa.
Berbagai jurus telah dijalankan berbagai ramuan telah dihidangkan, namun yang luput dalam konteks pembangunan perdesaan adalah tersedianya lingkungan yang layak sebagai bantalan pembangunan.
Lingkungan yang layak itu antara lain adalah terwujudnya kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang kondusif bagi individu untuk memeroleh pilihan-pilihan dalam mengerjakan kegiatan yang bersinggungan dengan kelangsungan hidup (Ahmad Erani,2015).
Secara ekonomi, desa dikepung dengan komersialisasi ekonomi yang melumpuhkan kegiatan ekonomi tradisional di perdesaan. Sementara itu, secara sosial, jaringan kekerabatan dan kultur saling membantu telah dikikis dengan sistem ekonomi pasar yang mendasarkan relasi antar indvidu dengan basis kalkulasi material. Pertemuan infrastruktur politik, ekonomi, dan sosial yang tidak menguntungkan itulah yang menenggelamkan individu-individu (rumah tangga) tunadaya (powerless) ke dalam kubang kemiskinan.
Semangat UU Desa No. 6/2014 adalah mensejahterakan masyarakat desa, bukan lagi pembangunan di desa yang dikendalikan ketat secara administratif dari atas. Jika pemerintahan Jokowi hanya bekerja dengan spirit memajukan desa tanpa berbenah mereformasi administrasi/politik untuk memberdayakan desa. Maka langkah yang elok serta program-program menakjubkan tetap hanya akan menjadikan komersialisasi desa terulang.
Ini artinya departemen, provinsi dan kabupaten hanya beramai-ramai membuang uang di desa tanpa satu capaian yang kuat dan jelas.