Menurut (Eshet-Alkalai, 2004) ruang maya atau cyberspace bukan hanya desa global atau global village melainkan hutan belantara yang lebat dengan segala informasi. Informasi tersebut bisa jadi salah, bisa juga benar. Ruang maya tidak punya aturan yang mengendalikan perilaku manusia di dalamnya, sehingga konsekuensi dari masuk ke ruang maya bagi seseorang adalah entah dia tersesat atau justru dapat menemukan jalan.
Jika kita masih analogikan ruang maya sebagai hutan yang lebat, ada kemungkinan kita akan bertemu dengan hewan-hewan buas serta tanaman beracun dan dapat membahayakan diri kita sendiri. Hewan-hewan buas atau tanaman beracun tersebut dapat berupa hoaks, informasi yang keliru, disinformasi, sampai ke teori konspirasi. Analogi lain soal apa yang ada di ruang maya bisa menggunakan arus air dan kita sedang berhadapan dengan arus itu.
Saat ini, arus informasi di ruang maya semakin deras dan dapat dikatakan tidak terbendung lagi. Semua orang dapat memproduksi konten dan saling menerima konten. Tentu ini menjadi hal baik, jika yang diproduksi adalah konten yang membawa manfaat. Menjadi hal buruk jika konten yang diproduksi justru mendatangkan dampak yang buruk.
Beberapa tahun terakhir, efek kehidupan ruang maya tidak hanya terasa di dalam layar, tetapi juga terasa dalam kehidupan sehari-hari dalam lingkup yang nyata. Misalnya, memutuskan hubungan silaturahmi yang terjalin sejak lama hanya karena ribut di grup WhatsApp, biasanya karena perbedaan pilihan politik. Contoh teraktual terjadi saat pandemi Covid-19, hoaks dan teori konspirasi beredar di ruang maya yang mengakibatkan sikap yang mendiskreditkan tenaga medis dan enggan untuk memakai masker jika keluar rumah. Lebih parah lagi, di negara yang sudah memiliki sinyal 5G, menara pemancar sinyal 5G dihancurkan karena diyakini bahwa 5G dapat menularkan virus corona.
Pandemi Covid-19 juga mengakibatkan adanya pembatasan sosial yang mengakibatkan orang semakin sering di rumah. Salah satu dampaknya kehidupan nyata menjadi semakin berkurang dan kehidupan di ruang maya semakin meningkat. Contohnya, silaturahmi Idulfitri yang biasanya dilakukan dengan saling berkunjung digantikan dengan silaturahmi daring melalui platform komunikasi daring.
Kemudian, kegiatan akademik, mulai dari belajar mengajar sampai wisuda, dilaksanakan di ruang maya. Dampak lain adalah informasi yang beredar semakin kencang dan bagaikan virus. Badan kesehatan dunia (WHO) bahkan mengatakan bahwa selain terjadi pandemi, dunia juga mengalami infodemi atau persebaran informasi yang begitu cepat dan masif bagaikan virus.
Infodemi yang tersebar bisa jadi benar dan bisa jadi keliru. Dengan situasi yang serba tidak pasti, seseorang membutuhkan sesuatu yang dijadikan pegangan agar tidak terombang-ambing dalam ketidakpastian. Infodemi yang menghadirkan informasi begitu cepat, tetapi seringkali tidak tepat, dapat menjadi pegangan itu (Ardi, 2020).
Lebih lanjut, infodemi yang ada justru dapat mengakibatkan kemunduran dalam penanganan pandemi. Misalnya, infodemi berupa misinformasi yang keluar dari pejabat publik dengan mengatakan bahwa situasi saat ini terkendali dan menjadi viral di ruang maya. Hal tersebut bukannya membuat masyarakat tidak panik, tetapi membuat masyarakat mengentengkan dampak dari penyebaran virus dan dapat membuat angka kasus semakin tinggi. Ini baru satu contoh saja.
Dengan dampak infodemi yang dapat berpengaruh pada keberlangsungan penuntasan pandemi, diperlukan adanya solusi yang dapat kita pikirkan bersama. Jika untuk menuntaskan pandemi, kita memproduksi vaksin Covid-19, untuk melawan infodemi juga kiranya kita perlu memproduksi vaksin informasi. Dengan kata lain, kita mempersiapkan diri sebelum masuk ke dunia ruang maya yang bagaikan hutan lebat itu. Vaksin informasi dapat diproduksi oleh berbagai pihak, seperti dari pemerintah, media, sampai ke masyarakat.
Jenis vaksin informasi yang pertama adalah dengan metode cek fakta. Metode ini merupakan penyeimbang dari jurnalisme berdasarkan klik yang berasaskan kecepatan daripada ketepatan (Ardi, 2020). Dengan adanya cek fakta, kita dihadirkan informasi yang berimbang agar tidak tersesat atau tidak terbawa arus dan terpapar infodemi. Namun, metode ini memiliki kekurangan karena dianggap memiliki backfire effect.
Orang yang cenderung kolot dan tidak mau mengubah pandangannya akan semakin teguh dengan keyakinannya apabila diberi informasi hasil cek fakta. Ditambah, dengan algoritma ruang gema di media sosial, orang hanya memilih konten berdasarkan keinginan pribadi dan metode cek fakta akan diabaikan oleh orang-orang yang biasa mengonsumsi teori konspirasi, hoaks, atau partisan politik karena sudah berpegang teguh atas informasi yang diyakini benar (Gesualdo dkk., 2018).
Jenis vaksin lain adalah kombinasi antara cek fakta dan literasi media adalah salah satu cara yang lebih efektif (Hameleers, 2020). Selain diberikan fakta yang mengoreksi informasi yang keliru, masyarakat juga diberikan informasi ciri dari informasi yang keliru dan bagaimana cara membedakan informasi akurat dan informasi keliru, serta dijelaskan mengenai bagaimana informasi keliru memberi dampak di masyarakat. Tentu, media memiliki peran besar dalam memproduksi jenis vaksin infodemi yang satu ini. Jurnalisme bukan tidak bertumpu pada kecepatan dan jumlah klik, tetapi pada ketepatan informasi dan dapat membangun masyarakat yang kritis.
Selain itu, vaksin lain dapat diproduksi pemerintah dalam menghadapi infodemi dan mempersiapkan masyarakat untuk menghadapi arus informasi yang lebih deras lagi di masa depan. Untuk solusi jangka pendek, pemerintah dapat bekerja sama dengan ilmuwan dan ahli komunikasi untuk memproduksi komunikasi berdasarkan sains dan berhenti memproduksi informasi yang saling berlawanan.
Informasi yang diproduksi dari istana sebaiknya berdasarkan penelitian dengan prosedur yang baik dan tidak melanggar etika penelitian, lalu disebarluaskan dengan bahasa yang mudah dimengerti masyarakat awam atau tidak ndakik-ndakik. Pemerintah perlu menghadirkan panggung bagi orang-orang seperti Pandu Riono atau Ahmad Utomo. Kemudian, solusi jangka panjang, pemerintah melalui kementerian pendidikan menyusun kurikulum pendidikan yang berisikan cara berpikir kritis. Selain itu, kurikulum yang memuat keterampilan literasi digital perlu diterapkan (Ardi, 2020). Keterampilan literasi digital tentu diperlukan agar tidak tersesat di ruang maya yang seperti hutan belantara itu.
Terakhir, masyarakat sebagai individu juga perlu untuk menyuntikkan vaksin informasi dengan cara memilih dan memilah informasi yang beredar. Seperti judul buku yang ditulis oleh Nadirsyah Hosen, Saring Sebelum Sharing. Perlu sifat bijak, kritis, dan skeptis, serta mengabaikan informasi bombastis yang datang bukan dari ahlinya dalam menyikapi informasi yang beredar dalam ruang maya, terutama pada saat krisis seperti saat ini agar tidak terpapar virus informasi yang dapat membuat fisik dan psikis kita terganggu.
Diperlukan upaya yang sinergis dan kolaboratif dalam memerangi pandemi dan juga infodemi. Dalam memerangi pandemi Semoga saja kita diberikan kesehatan fisik dan jiwa dalam menghadapi pandemi dan infodemi.