Jumat, April 19, 2024

Bernatal yang Berempati

Fotarisman Zaluchu
Fotarisman Zaluchu
PhD dari AISSR, University of Amsterdam, pendiri Perkamen (Perhimpunan Suka Menulis)

Hari-hari ini semarak perayaan Natal mulai terdengar. Di berbagai kota, acara perayaan Natal menyemarak. Hingar bingarnya dapat kita rasakan dari postingan yang dibagikan oleh para pengguna media sosial.

Tertarik pada hal itu, saya “mengintip” pendanaan yang digunakan oleh mahasiswa saat merayakan Natal. Ternyata ongkos merayakan Natal tidak murah. Mencapai Rp. 30-an juta dengan jumlah mahasiswa kurang dari 300 orang.

Perayaannya pun dilaksanakan di sebuah hotel di Medan. Itu biaya yang tidak “sederhana” menurut saya, meski yang melaksanakannya adalah mahasiswa. Maka konon lagi jika perayaannya dilakukan oleh institusi atau perusahaan tertentu, dengan mengundang bintang tamu penyanyi terkenal dan dilaksanakan di lokasi yang mahal, maka biayanya dapat dipastikan akan berlipat.

Merayakan Natal memang sah-sah saja dilakukan penuh dengan kemeriahan. Namanya momen sekali setahun. Tetapi apakah perayaan yang meriah tepat saat ini dalam konteks Indonesia?

Saat ini seharusnya sebagai umat Kristen, kita harus merayakan Natal dengan cara yang lebih tepat, yaitu penuh dengan rasa empati.

Mengapa?

Pertama, banyak saudara-saudara sebangsa dan setanah air kita sedang berada dalam bencana. Mereka terbuang dari rumahnya, oleh karena gempa, longsor, tsunami, banjir dan bencana kemanusiaan lainnya. Jangankan masa depan, untuk makan dan minum sehari-hari pun mereka masih mengandalkan bantuan.

Saya mendengar dari rekan aktifis kemanusiaan bahwa di Palu dan sekitarnya para pengungsi masih membutuhkan bantuan yang begitu besar. Belum lagi di NTB, lalu korban bencana banjir di berbagai wilayah di Indonesia. Mereka adalah saudara sebangsa kita yang membutuhkan uluran tangan kita.

Natal adalah mengingat Sang Kristus yang hadir bagi kaum papa dan yang sedang menderita. Maka merayakan Natal seharusnya berempati pada mereka yang sedang berduka. Sebagai umat Kristiani, kita harus melihat Sang Kristus hadir bukan hanya dalam rumah kita yang kebetulan sedang tidak dilanda bencana. Tidak. Kita harus melihat bahwa Sang Kristus hadir ke dalam rumah besar bernama Indonesia. Maka merayakan hari kelahiran Sang Kristus berarti membawa rahmatnya dalam rumah besar Indonesia itu.

Pemahaman inklusiv seperti itulah yang seharusnya membuat kita merayakan Natal dengan cara yang lebih sederhana dan mungkin dengan duka. Kita menangis bersama mereka yang berduka, kita bersedih karena mereka yang masih berlinang air mata. Maka kita memilih untuk merayakan Natal dengan sederhana.

Bayangkan dengan uang Rp. 30 juta setiap kali Natal lalu kali-kan saja dalam sebulan berapa ratus kali perayaan Natal, bukankah itu angka yang sangat fantastis? Saya justru ingin mendorong, mahasiswa misalnya, melakukan ibadah Natal sederhana, tidak harus di hotel, lalu mengumpulkan uang bersama-sama untuk kemudian dikirimkan kepada saudara-saudara kita yang membutuhkan.

Bukankah misalnya kita bisa bikin perayaan dengan mengupah jasa dari mereka yang miskin untuk memasak atau membuatkan kue untuk seluruh peserta? Bukankah kita misalnya menyelenggarakan Natal di lokasi perkampungan kumuh, lalu kemudian berbagi berkat pada mereka? Bukankah kalau seluruh biaya perayaan Natal itu ditotal, itu bisa membeli pakaian, tenda darurat, peralatan tulis dan lain sebagainya pada mereka yang dilanda bencana?

Kedua, kita harus merayakan Natal secara sederhana karena mengingat Indonesia. Negeri ini setidaknya dalam empat tahun terakhir, sedang memutar balik cara membangun. Dulu kita menghambur-hamburkan uang kita untuk hal-hal yang tidak produktif. Sekarang, pemerintah sedang mengajarkan kita supaya kita semua tanpa kecuali, berperilaku hidup hemat dan benar-benar mengeluarkan uang hanya untuk hal produktif. Pemerintah meminta semua pihak untuk bergaya hidup sederhana dan tidak pamer kemewahan.

Merayakan Natal secara berlebihan jelas bukan hal yang kita inginkan. Sang Kristus lahir dalam kesederhanaan, bahkan dalam kepapa-an, di kandang domba, adalah patron yang harus diikuti dan dimaknai dengan baik oleh umat-Nya. Kesederhanaan seperti itu seharusnya diteruskan oleh umat-Nya.

Tidak dapat dipungkiri jika dalam perayaan Natal banyak terselip aura materialisme dan hedonisme dalam gaya berpakaian, penataan acara, metode beribadah, dan publikasinya. Kita harus mampu me-rem ibadah-ibadah yang justru semakin konsumtif seperti itu serta yang tak berguna selain daripada hanya sekedar hura-hura.

Tradisi merayakan Natal di Eropa misalnya, telah berubah menjadi karnaval, sebuah tradisi perayaan yang amat sedikit melibatkan ibadah di dalamnya. Kita di Indonesia adalah negara yang percaya pada Tuhan, seharusnya sedapat mungkin melaksanakan ibadah dimana kita merayakan perjumpaan dengan Sang Khalik. Natal adalah momen bernuansa Ilahi, bukan perayaan dehumanisasi.

Natal ala Indonesia adalah Natal yang berempati, mendoakan negeri ini untuk selamat melewati turbulensi ekonomi, melewati badai politik, melintasi proses demokrasi dan menjadi negara yang sejahtera, adil dan makmur. Natal adalah saat umat Kristen berlutut supaya Indonesia ditopang oleh tangan Tuhan.

Ketiga, merayakan Natal seharusnya adalah merayakan perdamaian. Negeri ini sedang berseteru. Di Timur sekelompok orang mencanangkan kemerdekaan. Di dalam tubuh negeri kita, konflik politik membelah antar kubu elit dan pengikutnya. Umat Kristen pun harusnya merayakan Natal dengan memberikan contoh bagaimana mendamaikan sekat-sekat itu.

Pesan Natal seharusnya menyejukkan. Ibadah Natal seharusnya mengisyaratkan hal-hal yang membawa perdamaian bagi negeri ini. Natal adalah sebuah refleksi mengenai sekat-sekat yang selama berabad-abad lamanya dibangun diantara kubu tradisi di Timur Tengah. Dalam konteks kekinian, perayaan Natal adalah sebuah upaya membangun kebersamaan. Perayaan Natal adalah memontum seluruh bangsa bergandengan tangan untuk lebih mementingkan negeri indah anugerah Tuhan ini, dibanding hanya sekedar perseteruan semata.

Inilah harapan kita pada kita yang merayakan Natal. Manakala Sang Kristus dulu datang bukan dengan hingar bingar duniawi, seharusnya kita mewujud-nyatakannya dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bertanah air kita saat ini. Jika kita merayakan Natal dengan semangat berempati, maka niscaya kedatangan Sang Kristus yang lahirnya sedang dirayakan itu tidak menjadi sia-sia.

Fotarisman Zaluchu
Fotarisman Zaluchu
PhD dari AISSR, University of Amsterdam, pendiri Perkamen (Perhimpunan Suka Menulis)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.