Selasa, Desember 10, 2024

Berjamaah Melawan Korupsi

Mohammad Takdir
Mohammad Takdir
Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dosen Fakultas Ushuluddin, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep.
- Advertisement -

Fenomena korupsi di Indonesia, tampaknya sudah mencapai titik nadir. Kasus korupsi e-KTP yang diduga melibatkan sejumlah anggota DPR dan pejabat negara lainnya, merupakan kasus besar yang menyita banyak perhatian publik. Betapa tidak, sejumlah tokoh politik negeri ini diduga menerima aliran dana proyek e-KTP yang menelan banyak kerugian negara, sebesar Rp 2,3 triliyun.

Keterlibatan sejumlah anggota DPR yang menduduki jabatan strategis, tentu saja merupakan bentuk pengkhianatan terhadap rakyat dan sumpah jabatan untuk mengabdi kepada negara. Proyek e-KTP ternyata memang dirancang untuk dikorupsi, karena anggaran yang disetujui begitu sangat besar. Jumlah anggaran yang fantastis ini, membuat pejabat yang berwewenang mudah melakukan penyelewenang secara terselubung.

Korupsi adalah termasuk extra ordinary crime yang menunjukkan kerasukan terhadap harta dan jabatan duniawi sehingga banyak dari pejabat negeri ini yang berlomba-lomba untuk melakukan pratik korupsi secara berjamaah tanpa merasa malu sedikitpun. Tidak heran bila korupsi e-KTP termasuk salah satu grand corruption yang pernah ditangani KPK, karena uang yang dicuri mencapai triliyunan dan pelakunya melibatkan banyak pejabat negara.

Korupsi Kemanusiaan

Korupsi adalah suatu tindakan pencurian uang negara dan penyalahgunaan wewenang dengan memanfaatkan jabatan sebagai jalan untuk memuluskan langkah atau niat yang sudah direncanakan. Tindakan mengambil uang negara pada awalnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi, namun belakangan praktik koruptif sudah dilakukan secara terang-terangan, bahkan dilakukan secara berjamaah oleh oknum tertentu yang memiliki kewenangan dalam mengatur anggaran belanja negara. Menurut Andang Binawan (2006), praktik korupsi bukan hanya dipahami sebagai penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang publik untuk kepentingan privat, tapi juga bermakna korupsi kemanusiaan.

Arbi Sanit mengatakan bahwa tindak pidana korupsi di kalangan pejabat atau birokrat dapat muncul dalam berbagai bentuk. Ia dapat muncul dalam bentuk transactive (kesepakatan timbal balik), extortive (pemerasan atau paksaan dengan menggunakan kewenangan publik), defensive (menghindarkan dijadikan yang lebih besar), dan supportive (suatu korupsi yang mendukung tindakan yang lain). Berbagai modus kasus korupsi di negeri ini adalah suatu gambaran tentang semakin merajalelanya mafia kasus di lembaga pemerintahan, mulai dari level atas sampai level bawah.

Praktik korupsi yang dulu masih menjadi tabu, kini dilakukan secara terang-terangan. Kalau pada masa lalu masih dipraktikkan kalangan minoritas, kini dilakukan oleh mayoritas umum, tanpa mengenal latar belakang pendidikan, status sosial, budaya, bahkan agama sekalipun. Praktik korupsi yang dulu menjadi rahasia privat, kini menjadi rahasia umum (publik). Sebuah kemajuan negatif yang tidak boleh menjadi kebanggaan oleh segenap bangsa, karena situasi dan kondisi negeri ini memang telah melewati batas kewajaran.

Berjamaah Melawan Korupsi

Berjamaah melawan korupsi adalah suatu kewajiban bersama oleh segenap elemen bangsa untuk mengurangi praktik haram ini agar tidak sampai mengakar kuat ke generasi selanjutnya. Negeri ini memang diambang kegagalan dan kehancuran moral, karena tindak pidana korupsi yang terjadi sekarang justru bukan hanya melibatkan kalangan pejabat pemerintahan, namun juga merajelala ke kalangan agamawan.
Barangkali tidak mudah untuk mencari solusi strategis guna memberantas praktek korupsi yang kian hari semakin merajalela. Semua pihak harus bersatu dan membangun komitmen bersama untuk memerangi praktik korupsi, karena diyakini penyakit masyarakat tersebut sudah menjangkit ke semua lini kehidupan. Bila korupsi dilakukan secara berjamaah oleh oknum pejabat negara yang rakus, maka agenda pemberantasan pun harus dilakukan secara bersama-sama.

Korupsi yang dilakukan secara berjamaah oleh kalangan pejabat negara atau penegak hukum tidak biasa dibiarkan berlarut-larut tanpa ada efek jera. Sanksi hukuman berupa pemiskinan menjadi alternatif yang bisa menimbulkan efek jera bagi para pelaku korupsi di Indonesia, di samping hukuman mati. Sebab, meski hukuman mati masih menakutkan bagi koruptor, namun pelaksanaannya bisa mendapat hambatan karena berkaitan dengan persoalan hak asasi manusia (HAM).

Merebaknya tindak pidani korupsi yang melibatkan pejabat di berbagai lembaga pemerintahan, membuat gerakan pemiskinan bagi para koruptor pun kembali muncul ke permukaan. Bahkan gerakan tersebut makin menguat untuk diterapkan dan dijadikan sebagai hukuman yang sangat ampuh untuk membuat jera aksi atau tindakan tak bermoral itu. Gerakan pemiskinan koruptor bukan saja dapat membuat jera, tetapi juga sebagai penguat hukum untuk mempertegas tindakan kejahatan yang mereka lakukan.

Berjamaah melawan korupsi memang harus dilakukan dengan cara yang progresif dan radikal untuk memperoleh rasa keadilan bagi rakyat yang menjadi korban dari kerasukan pejabata negara. Pemiskinan koruptor harus dimulai dengan melakukan penyitaan terhadap harta kekayaan narapidana yang menjadi tersangka kasus korupsi uang negara. Penyitaan terhadap kekayaan dari hasil korupsi merupakan tindakan cepat yang dapat mendorong efektifitas wacana pemiskinan koruptor. Seluruh harta koruptor harus disita oleh negara selama menduduki jabatan tertentu.

- Advertisement -

Berjamaah melawan korupsi adalah suatu usaha untuk merapatkan barisan bahwa korupsi adalah tindakan kriminal yang luar biasa, seperti kasus terorisme dan narkoba. Pemiskinan koruptor menjadi alternatif yang bisa diundangkan untuk memperberat hukuman bagi perampok uang rakyat. Agar lebih efektif, konsep pemiskinan koruptor harus ditindaklanjuti dengan hukum kerja sosial. Gerakan pemiskinan jika dapat diterapkan, pada gilirannya akan memberi sock therapy. Seorang koruptor akan merasa tertekan dan terbebani dengan harta kekayaan yang disita oleh negara sehingga bisa membuat jera untuk tidak melakukan tindakan suap maupun korupsi lagi.

Sebagai gerakan bersama untuk melawan korupsi, pemiskinan harus segera direalisasikan agar tindakan suap tidak lagi dilakukan oleh pejabat di negeri ini. Kendati bukan hukuman mati, gerakan pemiskinan koruptor barangkali bisa membantu meminimalkan tindakan amoral itu sehingga wajah hukum dan potret keadilan di negeri ini dapat diselamatkan. Gerakan pemiskinan koruptor merupakan gerakan yang pantas untuk didukung oleh semua kalangan, karena cara ini dinilai akan bermanfaat bagi terciptanya penegakan hukum di negeri ini.

Mohammad Takdir
Mohammad Takdir
Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dosen Fakultas Ushuluddin, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.