Keberagaman merupakan salah satu Rahmat Tuhan yang memang sudah tertulis dan harus dijalani. Jika melihat fenomena dewasa ini ada banyak sekali kegelisahan yang dilatar belakangi konflik keragaman etnis, suku, ras, dan yang paling ramai mengenai bahasan agama.
Di Indonesia, setara Institute mencatat pada tahun 2021 secara kolektif kumpulan data menunjukan ada penurunan jumlah pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan. Pada tahun 2021 tercatat ada 171 peristiwa pelanggaran dan 318 tindakan kebebasan beragama. Selain itu, konten ujaran kebencian dari Kementrian Komunikasi dan informatika (Kominfo) menunjukan fakta yang memprihatinkan, konten mengenai suku agama ras dan antargolongan sebanyak 3.640 konten sejak tahun 2018.
Berdasarkan data dan realita diatas salah satu stereotipe yang dibangun dimasyarakat apabila membicarakan agama dan konflik khususnya konflik bersenjata akan selalu terbangun pola pikir jika itu melekat dengan islam. Hal itu tentu bertolak belakang dengan islam itu sendiri, islam dilihat dari asal katanya merupakan representasi tentang pesan kepatuhan dan kedamaian, Islam bahkan dalam Al-Qur’an direpresentasikan sebagai prophetic mission dari seluruh nabi dan Rasul. Dengan kata lain risalah para rasul merupakan misi suci agar terciptanya kedamaian dalam hidup.
Pada prinsipnya islam disebarkan dengan dakwah yang damai, bukan dengan pedang apalagi persenjataan. Secara logika rasional ketika menyimak kisah Rasulullah memulai masa diawal menyebarkan islam nabi bahkan sempat melakukannya secara sembunyi-sembunyi dimulai dari kerabat nabi terdekat, hingga akhirnya turun wahyu Qur’an Surat Al-Hijr ayat 94 yang menyeru Rasulullah untuk mulai berdakwah secara terbuka yang dalam al-qur’an memiliki arti “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.
”Tidak hanya itu sebagai bagian daripada seruan dakhwa rasul disampaikan juga melalui firman Allah SWT dalm Qur’an Surat Asy-Syu’ara ayat 214-215 dengan arti “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.
”Melihat jabaran ayat diatas memiliki relevansi dengan penjelasan Hasan al-Basri yakni jika salah satu rahmat yang diajarkan nabi dan harus diteladani oleh seluruh kaum muslim dalam menyampaikan kebenaran adalah akhlak rasululah yang begitu mulia. Sikap lemah lembut yang ditunjukan oleh nabi selaras dengan perintah untuk hidup cinta damai dalam al-qur’an dan justru bertentangan dengan situasi kaum oknum yang melabeli dirinnya berdakwah namun menggunakan senjata dalam memuaskan hasratnya keislamannya.
Melihat ironi berislam bersenjata tentu tidak dapat dilepaskan dengan ajaran modern tentang hukum humaniter yang menjadi wadah internasional dalam menangani konflik peperangan termasuk perang yang dilatarbelakangi oleh kepentingan agama. Tidak lain kehadirnnya dibutuhkan untuk dapat melindungi orang-orang yang paling merasa dirugikan atau bahkan kehilangan hak asasinya akibat terjadinya konflik bersenjata.
Berkenaan dengan hukum humaniter dan perkembangannya J.G Starke memiliki pendapat “the laws of war consist of the limits set by international law within which the force required to overpower the enemy may be used, and the principles thereunder governing the treatment of individuals in the course of war and armed conflict”.
Secara sederhana jika menyerapi pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan jika hukum humaniter pada prinsipnya merupakan upaya terakhir dalam memahami masalah yang dapat dilakukan dengan konflik bersenjata. Hal itu jelas perlu dikedepankan karena tidak ada alasan pembenar apapun untuk mengangkat senjata demi hasrat pribadi yang dibalut dengan kepentingan agama.
Pandangan interasional dan hukum modern tentang konflik bersenjata adalah mengedepankan jaminan perlindungan bagi penduduk sipil, bahkan ditegaskan dalam Konvensi Jenewa 1949 dalam Pasal 3 konvensi Jenewa 1949 yang pada pokoknya memuat aturan bagi pihak yang berperkara memiliki kewajiban penuh untuk melindungi orang-orang yang tidak ikut serta dalam perkara, maka dalam hal ini masyarakt sipil harus diperlakukan secara manusiawi dijunjung tinggi hak asisnya serta mendapatkan penghormatan dimata internasional.
Berlandasakan aturan tesebut menerangkan jika tidak ada alasan pembenar apapun jika melakukan tindak kekerasan bahkan menghilangkan nyawa seseorang atas dasar dan landasan agama yang menurut kelompok tertentu dianggap benar.Penjabaran mengenai dakwah islam terdahulu dan hukum humaniter modern menciptakan hakikat dakwah tidak hanya perihal ajakan kepada sesama manusia agar menerima apa yang diserukan, bukan pula soal kepintaran seseorang dalam melakukan orasi diatas mimbar atau menuangkan ide dalam tulisannya, lebih dari pada itu dakwah merupakan hubungan seseorang secara horizontal dengan sesama yang bersifat saling mempengaruhi.
Maka fenomena berislam bersenjata yang terjadi dewasa ini tidaklah bisa mendefinisikan jika cara-cara seperti itu adalah cara umat muslim dala menegakan tauhid.