Saya ingin mulai dengan sebuah cerita:
Suatu hari, Nan-in—master Zen—didatangi seorang profesor dari sebuah universitas tersohor di Jepang. Sang profesor ingin menemui Nan-in untuk belajar tentang Zen. Sebelumnya, sang profesor sudah membaca sekian banyak buku-buku dan ulasan mengenai Zen. Ia ingin menguji pengetahuannya.
Sesampainya di padepokan, sang profesor dipersilakan masuk. Nan-in kemudian menyiapkan sendiri teh untuk tamunya. Tak lama, harum teh hangat mulai menyebar, memenuhi ruangan. Nan-in menyiapkan cangkir untuk sang profesor, dan ia mulai menuangkan tehnya perlahan-lahan.
Tak lama, cangkir porselen sang profesor mulai penuh. Namun, Nan-in masih terus menuangkan teh, hingga luber dan teh tumpah membasahi lantai. Sang profesor mencoba menghentikan Nan-in, “Cangkirnya sudah penuh! Tak bisa diisi lagi!” Mendengar bentak sang profesor, Nan-in pun berhenti menuang.
Dengan tenang Nan-in berkata, “Demikianlah. Cangkir yang sudah penuh tidak mungkin diisi sesuatu yang baru. Jika Tuan ingin belajar tentang Zen, maka Tuan harus tinggalkan pengetahuan Tuan di luar. Kosongkanlah diri, barulah Tuan mampu menerima pemahaman yang baru.”
Tulisan ini muncul ketika—untuk kesekian kalinya—Ketuhanan Yang Maha Esa dibenturkan dengan beberapa agama. Melihat masih belum banyaknya suara dari umat Hindu mencoba menjelaskan sudut pandangnya, saya memutuskan untuk berbagi pengetahuan. Saat ini, jumlah pemeluk agama Hindu dan Buddha di Indonesia bisa dikatakan minoritas. Menurut hasil sensus penduduk tahun 2010, jumlah pemeluk agama Hindu dan Buddha tidak sampai 5 juta orang, atau 1,9% dari total penduduk Indonesia. Walaupun demikian, pengaruh agama Hindu dan Buddha masih sangat kuat dalam identitas keindonesiaan hingga sekarang karena faktor sejarah dan budayanya.
Kesalahpahaman terhadap ajaran-ajaran agama Hindu di Indonesia kerap terjadi pertama-tama karena jumlahnya yang sedikit, ditambah lagi miskinnya informasi, serta keengganan dari umat Hindu sendiri untuk mendebat dan meluruskan kesalahpahaman yang muncul. Kemudian, minimnya respon tersebut memperluas kesalahpahaman, dan akhirnya dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memang ingin memojokkan agama Hindu dengan berbagai alasan. Sumber informasi tentang agama Hindu utamanya diperoleh umat bergama lain dari pelajaran di sekolah—terutama sejarah, (dulu) PPKn, dan sosiologi—yang sangat jauh dari memadai.
Kesalahpahaman ini tidak jarang berujung pada konflik—dari ringan sampai berat—yang hampir selalu berakhir dengan “damai” (atau kadang-kadang diselesaikan lewat meja hijau), namun tanpa solusi permanen, atau pengayaan bagi masing-masing pihak. Upaya-upaya “pendamaian” yang demikian ini meneruskan siklus kebingungan dan kesalahpahaman yang kemudian memunculkan berbagai stereotype (yaitu ide atau penggambaran yang kaku, tidak utuh, dan terlalu menyederhanakan) yang bertumpuk-tumpuk.
Sebagai seorang Hindu yang hidup di luar Bali, saya seringkali harus berhadap-hadapan dengan kenyataan ini. Menghadapi stereotype yang demikian memerlukan pengetahuan yang luas baik tentang tradisi keagamaan saya sendiri, di samping juga tradisi keagamaan orang lain (untuk memahami sudut pandangnya), serta sejarah dan budaya. Hal ini membutuhkan upaya yang luar biasa, yang tidak dimiliki semua orang, baik itu akses terhadap berbagai informasi yang dibutuhkan, daya pikir, empati, belum lagi soal waktu dan kesempatan.
Yang membuat lebih sulit lagi: tidak semua orang mau (dan mampu) ‘mengosongkan cangkirnya’ supaya bisa diisi dengan sesuatu yang baru, apalagi jika ia sudah memiliki prasangka yang buruk. “Hindu menyembah berhala/batu/patung/pohon”, “Hindu punya banyak tuhan”, “umat Hindu hidup dalam sistem kasta”, dan banyak lagi prasangka lain yang sering dilemparkan tanpa disertai kesempatan untuk menjelaskan. Mereka juga lebih percaya pada orang-orang dari agamanya sendiri untuk menjelaskan keyakinan orang lain, daripada mendengarkan langsung dari praktisinya, atau membaca langsung dari sumber primer.
Demikianlah, kesalahpahaman akan terus terjadi. Sebanyak apapun sanggahan ditulis atau disuarakan, mereka akan selalu hidup dalam prasangka. Apalagi jika prasangka-prasangka itu adalah “batu-batu bata” yang dipakai untuk membangun keimanan dan identitasnya; maka hampir tidak mungkin pemahaman yang salah tersebut diubah tanpa perlu renovasi yang cukup besar, paling-paling hanya bisa dibungkus dengan kertas toleransi, atau diselesaikan lewat proses hukum. Permasalahannya masih tetap ada dan tidak terselesaikan, tapi life must goes on.
Membahas ketuhanan seringkali membuat saya tidak nyaman. Ketuhanan—dalam tradisi agama Hindu—tidak untuk dibahas, apalagi diperdebatkan, melainkan untuk dialami di kehidupan saat ini. Apa gunanya membahas tentang manisnya gula? Cicipi saja; kata-kata tidak terlalu berguna. Konsep ketuhanan sebagai “sesuatu yang bisa dialami” ini agak berbeda dengan konsep-konsep yang berkembang di Timur Tengah, tempat lahir agama-agama Samawi.
Bagi umat Hindu, Tuhan tidak terpisah dari ciptaanya. Ini disebut sebagai filosofi advaita (dari bahasa Sanskerta: awalan a- berarti tidak, dan dvaita berarti men-dua). Alam semesta—di dalam ajaran Hindu—terdiri dari dua bahan baku: Prakriti (semua materi kebendaan) dan Purusha (kesadaran). Keduanya berasal dari Brahman.“Brahman hadir dalam segala sesuatu, dan semuanya ini ada di dalam Brahman.”
Keterpisahan yang kita rasakan hanyalah ilusi (māyā). Segala praktik atau laku yang digariskan di dalam Veda (kitab-kitab yang disucikan oleh umat Hindu), adalah upaya pejalan-spiritual (sādhaka) untuk bisa lepas, bebas (moksha) dari ilusi tadi sehingga ia bisa “hidup” sesungguhnya. Praktik, laku, disiplin diri, atau jalan yang ditempuh tidak hanya satu; bahkan agama Hindu meyakini bahwa setiap orang harus menempuh jalannya masing-masing.
Karena perbedaan-perbedaan yang dimiliki, ada orang-orang yang progress-nya lebih lambat, dan ada pula orang-orang yang bergerak lebih cepat. Mereka yang telah bisa “melihat/menyaksikan” Kebenaran itu, di dalam tradisi Hindu disebut rishi, vipra, dan sebagainya. Merekalah yang menggubah teks-teks yang disucikan; di dalamnya mereka berbagi cara mencapai Kebenaran tersebut.
Teks-teks suci tadi seperti telunjuk yang mengarah kepada Kebenaran. Seindah apapun telunjuk tadi, ia hanya telunjuk. Setiap orang harus mengambil langkahnya masing-masing. Dengan tetap menaruh hormat pada kitab-kitab suci dan berbagai jalan spiritual yang ada, umat Hindu tidak menjadi fanatik. Shri Adi Shankara (788–820 M) merumuskannya dengan apik:
“Tidak banyak gunanya mempelajari kitab-kitab suci selama Kebenaran Tertinggi tak dipahami, demikian pula tidak banyak gunanya mempelajari kitab-kitab suci bila kita sudah mencapai-Nya.”
(Bersambung ke bagian dua…)