Jumat, Oktober 4, 2024

Beragama, Berbudaya dan Bernegara

Aming Soedrajat
Aming Soedrajat
Pegiat Media Sosial

Tidak usah diperdebatkan lagi, kalau Indonesia terlahir dengan keragaman dan perbedaannya. Bukan tanpa alasan Tuhan menciptakan Indonesia dengan perbedaan. Entah itu perbedaan agama, bahasa, suku, budaya maupun aliran kepercayaan lainnya. Itulah Indonesia yang kaya akan keragamannya.

Saya adalah seorang yang belajar menjadi seorang muslim yang baik, Al-Our’an kitab suci yang saya yakini mengajarkan tentang sebuah perbedaan tersebut.

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Qs. al-Hujurat: 13)

Perbedaan itu mengajarkan untuk saling mengenal satu dengan yang lainnya. Bukan untuk saling memusyrikan, mengkafirkan maupun saling merendahkan. Tetapi untuk saling mengenal dengan jembatan kasih-sayang terhadap semua makhluk tuhan.

Saat islam yang datang ke Indonesia yang dibawa oleh bangsa Arab dan sebagainya membawa corak baru dalam perjalanan sejarah bangsa ini.

Wali songo penyebar agama Islam di pulau Jawa dan Nusantara, dalam syiarnya tidak pernah memusyrik ataupun mengkafirkan masyarakat lokal. Pendekatan dan penyebarannyapun tidak seperti di Arab, di kita lebih santun dan ramah.

Para wali memiliki metode khusus penyebaran syiar islam, yakni melalui media Budaya lokal untuk penyebarannya, mereka paham betul, negeri ini tidak akan pernah bisa di seragamkan, karena begitu banyaknya perbedaan yang ada di Negeri ini.

Syiar-syiar islam melebur dengan budaya lokal hingga akhirnya mudah diserap oleh masyarakat, seni menjadi ujung tombak utama. Yang tidak sesuai dengan syariat islam di revisi, yang sesuai di pertahankan.

Maka, tersisalah begitu banyaknya kebudayaan peninggalan para wali yang masih dilestarikan oleh masyarakat setempat. Karena setiap kebudayaan mengandung nilai-nilai ketuhannan yang telah sesuai dengan ajaran islam.

Jaman milenial sekarang, kebudayaan peninggalan nenek-moyang dan leluhur kita saat menyebarkan ajaran islam dianggap seperti ketinggalan jaman, sampai ada yang bilang islam yang berkembang sekarang dianggap tidak islami dan tidak sesuai dengan ajaran islam, Padahal memiliki nilai yang adiluhung. Kalau Bang Roma bilang ‘Terlalu’

Pertanyaanya, hei, kamu siapa? Ya kamu yang telah berani memusyrikan dan mengkafirkan ajaran leluhur kami? Apakah kamu sudah lebih hebat, lebih mulia dan lebih suci dari para wali yang menyebarkan agama islam di tanah kami?

Islam yang dibawa oleh leluhur kami adalah islam Rahmatan Lil Alamin yang di dalamnya memberikan kesejukan, bukan yang memecah belah dan menyulut kebencian dan mengkafir-kafirkan kebudayaan kami.

Keilmuanmu, ketakwaanmu, dan akhlakmu apakah sudah lebih baik dari leluhur kami? Kami tidak suka pembenaran, kami lebih suka tentang sebuah kebenaran.

Kami akui, Islam memang lahir di Arab yang di bawa oleh Baginda Nabi Muhammad saw, bukan berarti kami harus menjadi Arab. Apalagi menganggap Arab dianggap lebih baik dari bangsa kami.

Kami tetaplah menjadi kami yang kaya raya dengan kebudayaanya. Islam kami tidak mengajarkan kekerasan terhadap sesama apalagi harus rendah diri. Islam kami adalah agama yang mengajarkan kami kesetaraan dan bangga dengan kebudayaan dan tanah air kami.

Bagi kami. Mencintai tanah air dan budaya lokal adalah jalan mencintai Rasulullah dan Tuhan kami, Allah Swt. Jangan hina Kebudayaan kami dan menganggap budaya Arab lebih baik dari budaya kami, karena kamipun tidak pernah menghina apalagi membenci masyarakat Arab. Karena bagi kami masyarakat Arab adalah saudara dalam iman dan kemanusiaan.

Penampilan dan budaya kami memang seperti ini, tapi keimanan dan ketakwaan kami jangan pernah diragukan. Penampilan bukanlah tolak ukur kalau kami tidak bertuhan. Karena penampilan bukanlah tolak-ukur untuk sebuah ketakwaan.

Kami bangsa Nusantara, belajar menjadi manusia sebelum belajar agama. Belajar menjadi manusia paripurna mengabdi pada nusa-bangsa, agama dan Tuhan.

Sebelum menutup tulisan ini, biarkanlah kami mengutip pendapat orang yang telah banyak mengajrkan kami tentang keindonesia, kemanusiaan yang santun dan penuh dengan kelembutan. Yang hidupnya telah berhasil menjadi manusia seutuhnya sebagai Insan Kamil. Bukan manusia yang berlaga menjadi tuhan.

‘Islam datang Bukan Untuk merubah Budaya leluhur kita jadi bangsa Arab. Bukan untuk aku jadi ana, sampeyan menjadi antum, sedulur menjadi akhi. Kita pertahankan milik kita, kita harus serap ajarannya, tapi bukan budaya arabnya’ KH. Abdulrahman Wahid.

Dan yang terakhir adalah pendapat dari Bapak pendiri bangsa kami, ‘kalau jadi Hindu jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam jangan jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini’ Ir. Soekarno.

Aming Soedrajat
Aming Soedrajat
Pegiat Media Sosial
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.