Pemerintah tengah menyiapkan aturan baru terkait bahan bakar minyak (BBM) dengan rencana menerapkan bensin campuran etanol 10 persen atau dikenal sebagai E10. Kebijakan ini diklaim sebagai bagian dari upaya menghadirkan energi yang lebih ramah lingkungan sekaligus mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor BBM.
Sebagaimana diberitakan Kompas.com (2025), penggunaan campuran etanol dalam bahan bakar bukanlah hal baru di dunia. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Brasil, dan Uni Eropa telah lama menerapkan bahan bakar jenis ini untuk menekan emisi karbon dan mengembangkan energi terbarukan. Indonesia tampaknya ingin mengikuti arah kebijakan global tersebut sebagai bentuk komitmen terhadap Paris Agreement dan target Net Zero Emission 2060.Namun, di balik semangat transisi energi hijau itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah kebijakan E10 benar-benar langkah progresif menuju kemandirian energi, atau justru sekadar proyek bisnis dengan bungkus ramah lingkungan?
Dasar Hukum dan Arah Kebijakan Energi
Secara normatif, kebijakan ini memiliki landasan hukum yang kuat. Pertama, Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel), yang menegaskan pentingnya mengembangkan bioetanol dari bahan baku domestik seperti tebu dan singkong.
Kedua, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 4 Tahun 2025 tentang Pengusahaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati, yang pada Pasal 13 mengatur bahwa pemanfaatan biofuel dilakukan melalui penggunaan langsung atau pencampuran dengan BBM.Dengan dua regulasi ini, pemerintah ingin menegaskan arah kebijakan energi nasional yang berpijak pada prinsip keberlanjutan dan kemandirian. Namun, pelaksanaannya kerap memunculkan tantangan di lapangan, baik dari sisi teknis, ekonomi, maupun sosial.
Etanol dan Janji Energi Bersih
Etanol sendiri merupakan alkohol yang berasal dari proses biologis bahan alami seperti tebu, singkong, atau jagung. Karena berasal dari sumber hayati, etanol sering disebut bioetanol. Dalam konteks lingkungan, bioetanol menawarkan keunggulan yang signifikan.
Menurut sejumlah penelitian, pembakaran etanol mampu menekan emisi karbon monoksida hingga 30 persen dan menurunkan partikulat hingga 50 persen dibandingkan bensin konvensional.Dengan potensi sebesar itu, wajar bila etanol dipandang sebagai solusi alternatif untuk mengatasi polusi udara di kota besar dan mengurangi ketergantungan pada minyak bumi. Namun, potensi tidak akan berarti jika tidak disertai perencanaan yang matang dan arah kebijakan yang konsisten.
Kondisi BBM Nasional: Belum Sepenuhnya Ramah Lingkungan
Realitanya, bahan bakar yang beredar di Indonesia masih jauh dari kategori ramah lingkungan. Menurut laporan The Jakarta Post (20 November 2024), sebagian besar bensin di Indonesia seperti Pertalite dan Pertamax masih memiliki kadar sulfur antara 150 hingga 400 bagian per juta (ppm). Padahal, standar emisi Euro 4 menetapkan batas maksimal 50 ppm.
Saat ini hanya Pertamax Turbo dan Pertamax Green yang telah memenuhi standar tersebut. Pertamax Green, yang diluncurkan pada 2023, bahkan sudah mengandung 5 persen bioetanol. Fakta ini menimbulkan pertanyaan: jika Indonesia sudah memiliki Pertamax Green yang memenuhi standar Euro 4 dan mengandung bioetanol, mengapa perlu menambah kebijakan baru berupa E10?Pertanyaan ini penting, sebab jangan sampai niat baik untuk menghadirkan energi bersih justru menjadi celah bagi proyek komersial yang tidak efisien dan membebani konsumen.
Strategi Bertahap Menuju BBM Hijau
Untuk mencegah kekacauan kebijakan, transisi menuju BBM ramah lingkungan perlu dilakukan secara bertahap dan terukur. Sebuah roadmap yang realistis harus disusun agar perubahan ini berjalan efektif, berkeadilan, dan tidak menimbulkan gejolak ekonomi.
• Fase 1: Uji Coba dan Edukasi Pasar (2023–2027)
Pada tahap awal, fokus utama adalah edukasi publik dan uji coba teknologi. Pertamax Green (E5/E7) dapat dijual terbatas di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Pertamax dan Pertalite tetap dipertahankan agar masyarakat tidak kaget dengan perubahan harga. Subsidi masih diarahkan pada Pertalite untuk menjaga daya beli masyarakat, sambil mempersiapkan pasokan bioetanol domestik secara bertahap. Transisi ini tidak hanya mengedukasi konsumen, tetapi juga menumbuhkan industri bioetanol nasional agar siap memasok kebutuhan jangka panjang.
• Fase 2: Transisi Nasional (2027–2035)
Setelah masyarakat terbiasa, pemerintah dapat mengganti Pertamax biasa dengan Pertamax Green secara nasional. Harga harus diatur agar setara dengan Pertamax lama guna menjaga stabilitas pasar. Infrastruktur SPBU juga perlu ditingkatkan agar kompatibel dengan bahan bakar E10/E20. Selain itu, pemerintah daerah bisa didorong berinvestasi dalam perkebunan tebu, singkong, atau sorgum sebagai bahan baku bioetanol. Pada tahap ini, publik harus diberi pemahaman yang kuat tentang pentingnya energi bersih dan dampak positifnya bagi lingkungan.
• Fase 3: Eliminasi BBM Fosil (2035–2060)
Fase akhir merupakan tahap menuju kemandirian energi bersih. Pertalite secara bertahap dihapus dan digantikan oleh Pertamax Green bersubsidi dengan kadar etanol 10–20 persen. Pemerintah harus memastikan kesiapan teknologi kendaraan melalui program retrofit, sehingga masyarakat tidak terbebani biaya tambahan akibat ketidaksesuaian mesin.Dengan skema ini, seluruh infrastruktur SPBU ditargetkan biofuel-ready dan pasokan bioetanol domestik mencukupi kebutuhan nasional, sehingga Indonesia benar-benar mandiri dalam penyediaan energi hijau.
Catatan Kritis: Energi Hijau Harus Berkeadilan
Meski tampak ideal di atas kertas, kebijakan energi hijau kerap menghadapi persoalan klasik, ketidaktepatan sasaran subsidi, lemahnya pengawasan, dan potensi konflik kepentingan bisnis. Pemerintah perlu memastikan bahwa subsidi energi benar-benar diarahkan kepada bahan bakar berstandar Euro 4 atau biofuel seperti Pertamax Green, bukan kepada Pertalite yang kualitasnya rendah dan menghasilkan emisi tinggi.
Lebih jauh, kesiapan kendaraan nasional juga harus diperhatikan. Tidak semua mesin kendaraan di Indonesia kompatibel dengan bahan bakar tinggi etanol. Tanpa mitigasi dan sosialisasi yang baik, kebijakan ini bisa menimbulkan resistensi di masyarakat.
Penutup
Kebijakan E10 seharusnya tidak berhenti sebagai proyek simbolik, melainkan menjadi pijakan nyata menuju kemandirian energi nasional. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap langkah diambil berdasarkan data ilmiah, analisis ekonomi yang matang, dan keberpihakan terhadap masyarakat kecil.
Energi hijau bukan hanya soal warna bahan bakar di SPBU, tetapi tentang transparansi kebijakan, keberlanjutan lingkungan, dan keadilan sosial. Jika dijalankan dengan serius, Indonesia tidak hanya akan menjadi konsumen energi bersih, tetapi juga produsen biofuel yang mandiri dan berdaya saing.
