Baiklah, terlebih dahulu kita dudukkan persoalan pembakaran bendera yang terjadi belakangan ini. Pertama, dalam rangka memperingati Hari Santri, perayaan awalnya berjalan lancar, sampai datanglah “penyusup” yang membawa dan mengibarkan bendera berlafaz tauhid di Garut Jawa Barat.
Bendera dikibarkan di tengah-tengah perayaan itu hingga memancing perhatian pengawal acara (Banser). Karena identik dengan ormas tertentu yang bertentangan, bendera itu kemudian disita dan dibakar secara terang-terangan – terpublikasi hingga menarik perhatian banyak warganet.
Kedua, kasus itu menarik banyak respon dari beberapa kalangan yang menganggap pembakaran tersebut satu bentuk penyimpangan atau penistaan agama. Lafaz tauhid adalah lafaz esensial dalam Islam, pembakaran bendera berlafaz tauhid adalah bentuk tidak menghormati lafaz tersebut dan harus ditindak secara hukum.
Ketiga, bendera tersebut, oleh pelaku pembakarnya, diasosiasikan oleh bendera ormas terlarang HTI. Cukuplah kita tahu dan sadar bahwa warganet tidak mudah menerima tindakan tersebut karena memang secara hukum ormas HTI itu terlarang, namun simbol (bendera yang digunakan) adalah bendera berlafaz tauhid, yang memiliki nilai dogmatis-historis yang menyimpan kesakralannya, terlepas dipakai oleh siapapun dan ormas apapun.
Kesakralan itu yang melahirkan rasa empati dari pihak yang menuntut untuk ditindaknya kasus tersebut, terlepas ia simpatisan HTI maupun masyarakat ormas lain dan masyarakat awam.
Keempat, pasukan ormas yang membakar ini akhirnya diproses dan mengakui bahwa tindakannya tersebut bukan atas dasar karena emblem ormas yang ia sandang (NU) namun murni idealismenya sendiri terhadap bendera tersebut (bendera HTI katanya).
Kelima, akhirnya kasus tersebut menjadi tindakan yang dianggap kurang etis atau tidak sopan – dianggap menyimpang dan menistakan agama Islam karena kesakralan simbol tauhid (bendera) diperlakukan secara tidak baik (dibakar) dan dipertontonkan terang-terangan (terutama di media sosial).
Secara singkat, telah jelaslah sketsa kasar garis besar kasus tersebut. Lantas apa yang ganjil di benak kita, ketika ternyata simbol atau lambang yang diasosiasikan sebagai lambang ormas terlarang itu ternyata tetap mendapatkan tempat dan kehormatannya di bumi Indonesia?
Satu yang menjadi persoalan, yakni sakralitas lambang (bendera tauhid) tersebut. Sebuah “tanda”, yakni bendera yang meliputi penanda (bendera tauhid) dan penanda (ormas HTI/yang dirujuk bendera tersebut) menjadi dua entitas yang saling terkait dan berkelindan.
Utamanya dalam kasus ini, “tanda” menjadi sumber dari persoalan nya. Apakah tanda itu dipakai baik secara ideologis maupun sebagai simbolis-partisipatif? Apakah si pembawa dan pengibar bendera itu membawanya secara ideologis yang berafiliasi dengan ormas tertentu (ISIS atau HTI) ataukah ia membawa secara simbolis-partisipatif, dalam artian, simbol itu dibawa dan dikibarkan dalam rangka ikut serta memeriahkan Hari Santri (Islam) Nasional (terlepas dari hubungan ormas HTI, ISIS atau semacamnya). Jawaban ini hanya bisa diberikan oleh si pengibarnya.
Persoalan berikutnya adalah, apakah benar ormas (NU) melarang pengibaran bendera tersebut, baik dalam perayaan Hari Santri (yang secara historis lebih berarti hari nasional ketimbang hari Islam) maupun dalam perayaan NU lain? Ketua PBNU KH. Said Aqil Siradj ngendika, “tak perlu dibakar, cukup disimpan saja”. Ya, bendera itu tak boleh dikibarkan. Tentu karena alasan penandaan tadi – bendera HTI. Lantas bagaimana dengan para simpatisan bendera tauhid tersebut (simpatisan bukan HTI, awam).
Ya. Nalar tekstual HTI mengambil peran dalam persoalan ini. Persoalan ini adalah persoalan simbolik yang mana dalam kasus ini, simbol itu diasosiasikan sebagai klaim simbol ormas HTI. NU sebagai ormas Islam kebangsaan – Islam Nusantara, karena alasan di atas tentu sensitif terhadap simbol tersebut.
Kemudian terlihat jelaslah bagaimana Islam kebangsaan dan Islam fundamentalis (sebagai gerakan Islam transnasional) menjadi dikotomis gara-gara simbol tersebut. Sakralitas simbol/tanda mamainkan peran yang signifikan dalam persoalan semacam ini. Islam memang, satu namun pemahaman Islam itu beragam.
Kita tidak bisa memandang bendera tauhid adalah sebagai cerminan dari totalitas Islam, terutama di Indonesia. Memang lafaz tauhid adalah esensial dalam agama Islam, namun subuah kain hitam atau putih yang bertuliskan lafaz tersebut tidak mengartikan bahwa itu adalah representasi totalitas agama Islam, baik secara individual maupun kelompok (ormas).
Secara historis, bendera tauhid memiliki kisah dan perjalannya sendiri, panjang dan sarat politis. namun harus ditekankan juga, bahwa seiring berjalannya waktu, kolompok radikal dan fundamentalis secara intensif juga menggunakannya sebagai topeng pergerakan mereka dalam rangka memurnikan ajaran Islam.
Tujuannya tidak lain adalah menghapus lokalitas agama Islam dan menggantinya dengan ajaran Islam transnasional ala meraka. Intensifnya, penggunaan simbol itu mebawa pada identifikasi yang sangat jelas bahwa ormas yang bersangkutan ingin mengganti ideologi yang berbeda dengan ideologi mereka. Dengan bendera itu, mereka berupaya menggantikan bendera-bendera lain menjadi bendera tauhid yang kemudian diasosiasikan menjadi bendera kekhilafahan.
Indonesia sebagai negara dengan azas Pancasila, tentunya tidak bisa sembarang mengibarkan bendera tersebut, karena alasan diatas. Orang bisa saja beralasan bahwa itu adalah bendera Islam, namun siapapun pasti paham pergerakan Islam transnasional dan visi misinya. Kita tidak bisa menyalahkan mengapa (dengan cerdiknya) ormas HTI memilih dan menjadikan bendera tersebut sebagai simbol/tanda mereka (yang jelas alasan sejarahlah yang mereka gunakan – karena dulu….).
Namun secara cerdas kita bisa menyikapi hal-hal serupa dengan kesadaran, bahwa masih subur berkembang dan tersebarnya organisasi terlarang di bumi Indonesia. Ancaman laten tersebut tentu harus kita waspadai demi keutuhan NKRI dan ideologi Pancasila. Sikap yang bijak dan santun tentu sangat diperlukan dalam merespon persoalan simbolik ini.
Bijak berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya, secara cerdas dan santun dalam situasi dan kondisi yang tepat. Ini bukan persoalan tentang “apakah si pengibar bendera HTI atau si pembakar seorang nasionalis sejati”. Mungkin jika pengibar bendera tauhid itu tidak datang, dan mungkin kalau tindakan pembakaran tersebut tidak diekspose, masalah simbol ini tak akan naik ke permukaan. Hikmahnya adalah, semuanya telah terjadi.