Senin, Desember 15, 2025

Bencana Sumatra dan Kenyataan Pahit Pembangunan

Bayu Prihandiko
Bayu Prihandiko
Mahasiswa DIV Pembangunan Ekonomi Kewilayahan Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada
- Advertisement -

Banjir dan longsor yang melanda Sumatra kembali memperlihatkan betapa rapuhnya hubungan manusia dengan lingkungan yang menopangnya. Kerusakan hutan, pembukaan lahan tanpa kendali, dan tata ruang yang tidak serasi membentuk risiko yang kini sulit dikendalikan. Laporan Reuters tahun 2025 menunjukkan bahwa masyarakat lokal mengaitkan besarnya banjir dengan deforestasi yang telah berlangsung lama. Di tingkat nasional, Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat bahwa 98 persen bencana Indonesia adalah bencana hidrometeorologi, sebuah tanda bahwa tekanan lingkungan telah menjadi faktor yang semakin dominan.

Pada saat yang sama, Indonesia melangkah dengan ambisi besar menuju Indonesia Emas tahun 2045. Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2025 sampai 2045 memuat agenda modernisasi ekonomi, percepatan urbanisasi, dan pembangunan infrastruktur dalam skala yang sangat besar. Negara membayangkan masa depan sebagai ruang yang lebih terkoneksi, lebih produktif, dan lebih kompetitif secara global.

Namun di antara dua gambaran besar ini terdapat kenyataan yang tidak dapat diabaikan. Indonesia ingin bergerak menuju masa depan yang maju, tetapi pijakan ekologisnya kian melemah. Pertanyaan pun muncul: dapatkah Indonesia mengejar visi 2045 ketika fondasi alamnya sendiri sedang runtuh? Pertanyaan ini bukan sekadar refleksi, tetapi ajakan untuk melihat arah pembangunan secara lebih jernih.

Lingkungan yang Melemah di Tengah Ambisi Besar

Deforestasi terus memperlemah daya dukung ekologis Sumatra. Global Forest Watch mencatat hilangnya 242.000 hektar hutan primer hanya dalam satu tahun terakhir. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menempatkan 108 daerah aliran sungai dalam status kritis. Ketika tutupan hutan hilang, tanah kehilangan kemampuan menyerap air, dan aliran permukaan meningkat. Risiko banjir pun membesar, dan peristiwa di Sumatra memperlihatkan bagaimana risiko tersebut berubah menjadi bencana.

Dalam pandangan sosiologi lingkungan, kondisi ini termasuk kategori risiko terstruktur, yaitu risiko yang tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi dibentuk perlahan oleh pola penggunaan ruang yang tidak berkelanjutan. Bencana yang terjadi bukan semata kejadian alam, melainkan akumulasi dari keputusan yang mengabaikan batas-batas ekologis.

Sementara itu, RPJPN tahun 2025 sampai 2045 menargetkan percepatan urbanisasi, pembangunan kawasan industri, dan perluasan konektivitas nasional. Kebijakan Perkotaan Nasional tahun 2045 memproyeksikan bahwa 70 persen penduduk Indonesia akan tinggal di kota. Namun Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas mencatat bahwa 68 persen kota masih memiliki sistem drainase yang tidak memadai. Kota-kota besar di Sumatra seperti Medan, Pekanbaru, dan Palembang bahkan masuk kategori risiko bencana sangat tinggi menurut Indeks Risiko Bencana dari BNPB.

Kontradiksi ini tampak jelas. Pembangunan kota bergerak maju, tetapi ketahanan wilayahnya tertinggal. Indonesia membangun kota, tetapi belum sepenuhnya membangun kemampuan kota tersebut untuk bertahan.

Tantangan Sumber Daya Manusia dan Kelembagaan

Visi Indonesia 2045 menempatkan sumber daya manusia unggul sebagai pilar pertama. Namun kesiapan sosial masih menghadapi tantangan besar. Survei Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan bahwa hanya 23 persen masyarakat Indonesia memiliki perilaku ramah lingkungan secara konsisten. Sebanyak 34 persen penduduk masih membuang sampah ke sungai. Kondisi ini bukan semata persoalan perilaku individual, tetapi gambaran dari keterbatasan fasilitas publik, rendahnya literasi lingkungan, dan lemahnya penegakan aturan.

Dalam sosiologi pembangunan, kondisi ini disebut ketidaksiapan kultural. Artinya, pembangunan fisik dapat dipercepat, tetapi perubahan perilaku membutuhkan proses yang lebih panjang. Tanpa perubahan tersebut, pembangunan berkelanjutan sulit diwujudkan, walaupun konsepnya tertulis dalam berbagai dokumen resmi.

Institusi pemerintah juga menghadapi tantangan serupa. BNPB mencatat bahwa hanya 12 provinsi yang memiliki rencana kontinjensi lengkap untuk menghadapi bencana besar. Padahal pembangunan menuju 2045 memerlukan pemerintah daerah yang mampu beradaptasi, merespons risiko, dan mengelola wilayah dengan baik. Ketika kapasitas antarwilayah tidak merata, risiko bencana dapat memperlebar ketimpangan pembangunan.

- Advertisement -

Pada titik ini, pertanyaan tentang kesiapan Indonesia bukanlah bentuk pesimisme, tetapi penilaian yang jujur terhadap kondisi sosial dan kelembagaan nasional.

Menguji Realisme Indonesia Emas 2045

Dokumen nasional seperti RPJPN dan Kebijakan Perkotaan Nasional telah menempatkan keberlanjutan lingkungan sebagai prinsip dasar pembangunan jangka panjang. Namun bencana di Sumatra menunjukkan bahwa penerapan prinsip tersebut belum berjalan sepenuhnya. Indonesia mampu membangun struktur fisik, tetapi ketahanan ekologis dan sosial tidak dapat diciptakan dengan kecepatan yang sama.

Visi Indonesia Emas 2045 menginginkan negara yang modern, tangguh, dan inklusif. Namun visi tersebut hanya dapat dicapai jika tiga fondasi utama diperkuat, yaitu tata ruang yang berkelanjutan, masyarakat yang peduli lingkungan, dan institusi yang adaptif. Tanpa ketiganya, pembangunan hanya akan menghasilkan kemajuan yang tampak kuat di permukaan, tetapi rapuh menghadapi ancaman.

Bencana Sumatra bukan sekadar peristiwa, tetapi peringatan. Ia menunjukkan bahwa pembangunan tidak dapat berjalan tanpa keseimbangan dengan alam. Ambisi besar memang diperlukan, tetapi ambisi harus dibangun di atas pijakan yang kokoh.

Indonesia Emas 2045 bukan hanya tentang membangun lebih banyak, tetapi tentang membangun dengan benar.

Referensi

Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2024). Data informasi bencana Indonesia. https://bnpb.go.id

Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2024). Indeks risiko bencana Indonesia 2024. https://bnpb.go.id

Bappenas. (2023). Kebijakan perkotaan nasional 2045. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. https://bappenas.go.id

Bappenas. (2024). Rencana pembangunan jangka panjang nasional 2025 sampai 2045. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. https://bappenas.go.id

Global Forest Watch. (2024). Primary forest loss in Indonesia. World Resources Institute. https://globalforestwatch.org

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2023). Environmental behavior index 2023. https://klhk.go.id

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2024). Status daerah aliran sungai kritis. https://klhk.go.id

Reuters. (2025, December 2). Mischievous hands: Indonesians blame deforestation for devastating floods. https://www.reuters.com

Bayu Prihandiko
Bayu Prihandiko
Mahasiswa DIV Pembangunan Ekonomi Kewilayahan Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.