Mungkin tidak ada kata lain untuk melukiskan berbagai tragedi bencana alam yang kita alami selain tiga kata ini, berita, cerita dan derita. Walaupun berbeda sedikit abjad huruf paling depan yang memulai ketiga kata ini (b, c dan d), ketiganya pada akhirnya melukiskan bagaimana bencana melahirkan tiga hal yang berurutan tersebut.
Palu, tanggal 28 September 2018. Jumat saat magrib menjelang, semua orang mulai menapaki malam dengan aktivitas ibadah, dan sebagianya mulai bercengkerama dengan keluarga. Tapi tiada yang menyangka, gempa datang berkali-kali dan disusul air laut menggulung apapun yang ada di depannya, tak peduli rumah megah, manusia miskin atau kaya, lelaki, perempuan atau anak-anak.
Beberapa menit kemudian, teluk Palu mayat-mayat bergelimpangan, dan sampai sore ini (29/9) jiwa manusia di minta kembali Sang Pencipta. Berbagai kisah bencana terus menghampiri bangsa kita, gempa besar bertubi-tubi terjadi di Lombok dan Sumbawa. Terlalu banyak jiwa, harta benda musnah, ya begitulah negeri kita memang terletak jalur gempa yang sangat rawan bencana.
Apa yang ‘sebenarnya’ sedang terjadi? Semua tiba-tiba berfikir. Bencana begitu beruntun, mulai gempa, tsunami, likuifaksi, erupsi gunung berapi yang dialami oleh negeri ini menimbulkan berbagai tanda tanya. Banyak orang berusaha menjelaskannya, berdasarkan posisinya, pengetahuannya, kepentingannya, dan tentu cara pandang-nya terhadap dunia.
Semua manusia, mulai dari tukang becak, petani, kiyai (atau paranormal), santri, ahli geologi, oceanologi berusaha mengungkap apa yang sebenarnya terjadi. Dan memang semua orang, berhak menjelaskan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Bukan hanya ahli geologi, kiyai, paranormal yang memiliki ‘kewenangan’, tetapi kitapun sah menjelaskan kejadian ini, dan kalau mungkin menangkalnya…
Ahhli geologi menjelaskan batu dalam bumi (patahan euro-asia) sedang bergerak aktif. Yang akhirnya menimbulkan benturan antar patahan, yang mengakibatkan gempa, serta air laut muncrat ke daratan secara tak terduga.
Akhirnya terjadi Tsunami. Ahli lingkungan berkata: ozon di lapisan atmosfir mulai menipis, dan terbentuk lapisan rumah kaca, akibat berlebihnya konsumsi bahan bakar karbon (kulkas, pabrik kendaraan bermotor), hutan yang digunduli, paru-paru bumi hancur dan berbagai penyebabnya.
Akhirnya meningkatlah pemanasan bumi, musim tidak bisa lagi di prediksi. Hujan deras tiba tiba terjadi, angin puting beliung menerjang tanpa kenal ampun, banjir, longsor, menerjang semuanya, badai tropis dan sejenisnya. Para ulama, sembari menyitir Alqur’an menjelaskan: “…bila sebuah negeri yang sebagian orangnya kufur terhadap nikmat Allah (dengan korupsi dan sejenisnya) maka nantikanlah bencana akan meimpa. Bukan hanya untuk orang yang berbuat dosa, tetapi, semua manusia sebuah negeri akan merasakannya…”
Dan, tentu di banyak kalangan orang kecil (macam kita), dari peloso-pelosok kampung, petani dan buruh kecil, kemudian menerka-nerka, bahkan sampai membuat penjelasan lain, yang barangkali akan mendapatkan tuduhan irrasional dan bermuatan klenik. Dari mulut ke mulut sekarang ini tersiar ‘kabar-burung’, bisa jadi hoax, bisa jadi juga sekedar ekpsresi ketika akal sehat terbentur kenyataan .Bahkan di berkali-kali obrolan di warung kopi jauh di tengah pedesaan negeri ini tersiar kabar: “mitos gempa dan tsunami, di laut selatan terkait dengan murkanya Ratu sang Penguasa Samudera Hindia”
Kini kita terkaget-kaget, dan melupakan bahwa jika kita melihat ke belakang hamparan kepulauan nusantara terbentuk dari bencana-bencana dahsyat. Letusan Supervolcano Toba dan Tambora, naiknya permukaan air laut yang menenggelamkan banyak peradaban. Meskipun para cerdik cendikia sendiri selalu mengingatkan agar hal ini tidak dikaitkan dengan ‘hal – hal yang irrasional’, keterkejutan dan trauma akan mengantar banyak orang ke dua serba muram dan berduka, dan mencoba mencari jalan keluar dari duka itu.
Tanpa harus berdebat ‘mana yang lebih benar’ berbagai versi ini, baik versi ‘rakyat kebanyakan’ yang menurut sebagian cerdik cendikia sebagai irrasional. Atau pandangan Badan yang mengurusi bencana sebagai gejala alam biasa. Namun setidaknya ada beberapa penjelasan
Mengapa ‘orang kebanyakan’ berusaha menjelaskan bencana ini dengan soal Nyi Rara Kidul, Batara Kala, atau mitos-mitos lain, di hubungkan dengan kekuasaan politik di negeri ini? Apakah karena orang jawa menyakini, alam semesta (kosmos) ini sebagai harmoni -antara alam nyata dan ‘alam ghaib’, jika di ganggu harmoni itu akan rusaklah dunia? Ataukah begini cara orang kebanyakan ‘mengkritik dan menertawakan perilaku kita semua” yang terus-menerus mengumbar angkara murka, menebarkan kebohongan dan provokasi.
Terlepas dari semua perdebatan ini, bencana adalah bencana. Dimana semua orang menderita, kehilangan harta benda dan jiwa raga. Dalam situasi seperti ini alangkah bijaknya jika kita melihat bencana sebagai saat tempat membantu penderitaan sesama, tanpa memandang atribut yang melekat dalam dirinya. Agama, suku, ras atau pun kelompok politiknya.
Dan yang pasti bencana tidak lain adalah kegagalan manusia dalam berdialog dengan harmoni semesta, dimana Tuhan telah menciptakan hukum-hukum alam, yang apabila manusia dengan keserakahan nya menerjang hukum-hukum itu, maka kehancuran alam dan seisinya teramat dekat. “Telah tampak kerusakan di langit dan di bumi akibat ulah tangan manusia…”