Kamis, April 25, 2024

Bencana Alam: Paradigma Ekologi dan Aktivisme

Maya
Maya
I'm the only beautiful girls in the world

Ekologi sebagai kajian ilmiah tentang hubungan antara makhluk hidup dengan makhluk tidak hidup telah memberikan perspektif baru tentang sistem keterkaitan. Namun, sebagian besar pemerhati lingkungan keliru memahami cara berpikir ini sebagai sesuatu yang sudah final dengan sendirinya. Oleh karena itu kesimpulan yang sering muncul hanyalah tentang hidup harmonis dengan alam demi keberlangsungan kehidupan di muka bumi.

Vandana Shiva adalah salah satu aktivis yang menyimpulkan secara tidak akurat tentang bagaimana kelangsungan hidup hanya dapat dicapai dengan hidup sesuai aturan biosfer; berbagi dan peduli (Bauman et.al., 2017: 39). Siwa tampaknya berasumsi bahwa sistem ini akan selalu berkelanjutan dan menolak setiap perubahan yang mungkin terjadi tanpa campur tangan manusia.

Pernyataan seperti itu memang tidak sepenuhnya salah, tetapi bisa dibantah begitu saja dengan pengandaian: bagaimana jika suatu saat benda antariksa dengan ukuran lebih dari setengah bumi perlahan-lahan mendekati Bumi, bisa hidup sesuai dengan aturan jaminan biosfer manusia bertahan? Sangat tidak mungkin.

Inilah poin saya yang tidak sejalan dengan pandangan konservatif dalam lingkungan hidup. Gerakan back to nature yang dikampanyekan melalui cara religi hanyalah romantisme kuno yang tidak menjamin apapun tentang kelangsungan hidup di muka bumi. Hal serupa pernah saya uraikan dalam tulisan saya menganai Ekofeminis. Jadi, dalam tulisan kali ini saya akan mempertanyakan kerangka berpikir yang digunakan oleh aktivis lingkungan dan ekofeminist; dapatkah advokasi tentang lingkungan dibenarkan melalui paradigma holistik dalam ekologi? Di manakah sebenarnya jangkar etis dari environmentisme, apakah itu manusia atau bumi?

Apakah mungkin untuk mendukung lingkungan hidup dalam ‘paradigma holistik’?

Mengadvokasi untuk menyadari sesuatu selalu mengandaikan kerangka kerja yang dapat mendukung perubahan. Artinya, kampanye lingkungan hidup tidak mungkin dibangun di atas fondasi akhir. Oleh karena itu, para ekofeminist kemudian memilih untuk berpijak pada pemikiran konstruktivisme sosial sehingga mereka dapat membantah pemikiran bahwa kita harus mengubah konstruksi untuk keluar dari krisis ekologi.

Cara berpikir seperti ini memang secara filosofis bermasalah. Jika Merchant dan ecofeminist sebagaimana dijelaskan oleh Bauman (2017: 42) berkeras bahwa alam adalah konstruksi sosial, dalam nature and nurture debat, berarti harus menolak seluruh konsepsi konstruksi fisik dan biologis. Sedangkan penolakan tersebut bertentangan dengan paradigma interkoneksi (holistik) yang diemban oleh ekologi itu sendiri.

Ekologi, sebagaimana dikatakan Bauman, adalah upaya observasi yang melihat segala sesuatu saling berhubungan. “Tidak ada organisme di bumi,” kata Bauman, “itu bukan bagian dari jaringan koneksi dan hubungan; … Tidak ada yang terpisah, tidak ada yang sendirian (Bauman et.al., 2017: 38). ” Dalam kerangka seperti itu, konstruksi sosial tidak pernah lepas dari konstruksi alam. Padahal, jika kita dapat menyatakan bahwa alam memainkan peran penting dalam bagaimana konsep agama direkonstruksi (Bauman et.al., 2017: 2), maka itu berarti ia juga harus berperan dalam konstruksi sosial.

Jadi, kita bisa mempertanyakan kembali apakah alam memang hanya merupakan konstruksi sosial? Dalam paradigma holistik, jawabannya jelas harus ‘tidak’. Sebuah konstruksi tidak pernah mungkin dilakukan di ruang kosong, ia mengandaikan kondisi lain yang mungkin merupakan alam itu sendiri.

Tawaran filosofis: bagaimana seharusnya kita memandang krisis ekologi?

Saya akan mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah dalam cara pandang lingkungan terhadap krisis ekologi. Di satu sisi, mereka melihat bahwa alam semesta, dalam istilah Capra, adalah ‘jaringan kehidupan’ yang mengandaikan keterkaitan satu sama lain. Di sisi lain, wacana ekologi selalu mengarah pada persoalan bagaimana manusia berperan besar dalam perubahan iklim. Artinya kita masih terjebak dalam kerangka antroposentris yang memandang manusia sebagai jangkar realitas; manusia adalah subjek aktif yang memiliki peran besar dalam kelangsungan hidup bumi.

Satu pertanyaan penting yang tampaknya hampir terlupa adalah apa penyebab aktivitas manusia dalam perannya dalam krisis ekologi? Apakah alam sama sekali tidak berperan dalam pola tindakan manusia dalam memperlakukan alam? Jika jawabannya ‘tidak’, maka konsep interkoneksi sudah salah sejak awal. Dengan cara berpikir seperti ini, manusia dianggap sebagai agen bebas yang terputus dari rantai kausalitas dunia material. Manusia selalu ditempatkan sebagai sebab, bukan akibat.

Menurut saya, jika sejalan dengan paradigma holistik, kita harus melihat bahwa segala sesuatu mulai dari pola-pola destruktif tindakan manusia, krisis ekologi, hingga pergerakan lingkungan, merupakan sebuah rantai kausalitas yang entah bagaimana terhubung satu sama lain. Kita tidak membutuhkan konsep konstruktivisme sosial untuk mengajak masyarakat peduli lingkungan.

Pada waktunya, alam akan memaksa manusia untuk beradaptasi dengan cara yang benar-benar baru   hal ini mulai dibuktikan dengan penemuan ilmiah yang dapat mengubah CO2 menjadi O2 dengan berbagai cara, salah satunya menggunakan Caltech Reactor. Bukankah teori evolusi mengajarkan bahwa alam memaksa kita untuk berubah dari waktu ke waktu, atau apakah kita hanya takut gagal melanjutkan ke tahap evolusi berikutnya?

Maya
Maya
I'm the only beautiful girls in the world
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.