Kondisi politik di Indonesia akhir-akhir ini sedang ramai dibicarakan oleh berbagai elite politik hingga masyarakat awam.
Suasana pelik mewarnai setiap berita di media massa yang setiap detik tidak melewatkan update berkaitan progress siapa cawapres pilihan bakal calon presiden pertahana Joko Widodo yang akhir-akhir ini mengambil perhatian masyarakat dan perhatian lawan tandingnya Prabowo Subianto dan koalisinya.
Tak heran dari semua elemen partai dari majelis suro, ketua partai hingga kader-kadernya saling berkontestasi menggalakan dukungan dari berbagai pihak untuk mendapatkan legitimasi masyarakat dan sebagai simbol dukungan kepada calon presiden tertentu dari politisi senior, mantan presiden, media hingga para ulama diklaim dukungannya dalam kontestasi menuju pemilihan presiden 2019.
Beberapa waktu yang lalu, salah satu portal berita online yaitu RILIS.ID mengunggah berita berjudul Golkar Klaim Ulama Dukung Jokowi dalam berita tersebut berisikan bahwa sekelompok ulama telah memberikan deklarasi dan dukungan kepada Jokowi untuk menjadi presiden di 2019 nanti yang disampaikan langsung oleh Wasekjen Partai Golkar, Sarmuji.
Hal ini merupakan respon dari pernyataan koalisi dari lawan tandingnya yang menyatakan bahwa berdasarkan Ijtima ulama dan tokoh nasional merekomendasikan Prabowo Subianto menjadi Capres 2019.
Hal yang menarik untuk didiskusikan adalah mengapa Ulama menjadi target yang strategis untuk dikalim dukungannya terhadap capres tertentu? Dan dari kelompok ulama mana yang diklaim telah mendukung salah satu bakal capres yang ada antara Jokowi atau Prabowo? Serta benarkah mereka Ulama? Hal ini akan saya diskusikan kemudian.
Menarik memang kehidupan politik domestik di Indonesia untuk dikaji, sejak Pilkada Gubernur DKI Jakarta beberapa bulan yang lalu, kondisi politik di Indonesia diwarnai isu SARA terutama agama yang akhirnya dapat membuat opini masyarakat terpolaritas dalam segmen segmen sensifitas agama.
Hal ini tidak dapat kita munafikkan karena kekuatan nilai agama yang ada ternyata mampu mengalahkan calon pemimpin tertentu dan memenangkan calon yang lain. Isu agama menjadi komoditas yang menarik untuk dijadikan isu politik.
Mungkin inilah yang dikatakan oleh Karl Marx seorang filsuf asal Jerman yang berpendapat agama adalah candu bagi masyarakat hal ini dikarenakan agama bisa menidurkan penderitaan yang diderita masyarakat, serta juga menjadi kekuatan masyarakat untuk memperjuangkan suatu kepentingan. Tak jarang, semangat yang ada dalam masyaraka beragama disalahgunakan untuk kepentingan kelompok tertentu.
Setiap kelompok dalam masyarakat tentu memiliki pemimpinnya masing masing. Kelompok masyarakat beragama biasanya diwakili oleh pemimpin yang kita biasa sebut sebagai ulama. Ulama merupakan istilah bahasa arab, jamaknya disebut alim, dan secara bahasa artinya orang yang berpengetahuan.
Kyai atau Ulama adalah tokoh masyarakat yang dianggap memiliki pengetahuan, pemikiran, tingkah laku, fatwa hingga anjurannya diyakini oleh masyarakat sebagai suatu kebaikan, kebenaran dan dapat diikuti masyarakat. Hingga tak jarang pilihan politik yang diklaim oleh ulama atau kyai tertentu dianggap dapat merepresentasikan pilihan masyarakat di suatu tempat walaupun terkadang tidak begitu adanya.
Oleh karena itu, tak heran hari ini ulama ataupun kyai menjadi sasaran empuk para politisi untuk dijadikan lat legitimasi mereka untuk mendapatkan kepercayaan dan dukungan.
Terdapat beberapa klasifikasi yang saya dapatkan dari cuplikan video Mata Najwa dengan Gusmus yang mendiskusikan tentang Ulama. Dimana Gus Mus menyebutkan dalam video tersebut mengklasifikasikan paling tidak terdapat paling tidak 5 kategori ulama atau kyai. Kategori yang akan saya jelaskan paling tidak sagat relevan dengan kondisi yang ada di Indonesia pada hari ini.
Kategori Pertama, Gus Mus mengatakan menurut Sosiolog Arief Budiman, ulama itu ada yang produk masyarakat, karena masyarakat melihat ilmunya, melihat lakunya, maka masyarakat menyebutnya sebagai ulama. Oleh karena itu masyarakat menaruh kepercayaan dan seharusnya kepercayaan itu dijawab dengan kebenaran.
Selanjutnya, ulama kategori kedua adalah produk pers (media massa). Gus Mus menjelaskan karena pers menyebut nyebut seseorang sebagai ulama, maka masyarakat terbentuk opini orang tersebut sebagai ustadz ataupun ulama. Maka masyarakat akan terbiasa dan menganggap ia sebagai ulama.
Kategori ketiga adalah ulama produk pemerintah, Gus Mus menjelaskan bahwa ulama kategori iini dibentuk oleh pemerintah melalui lembaga yang dibentuknya, seperti Majelis Ulama Indonesia, jadi orang yang masuk ke lembaga tersebut otomatis akan disebut sebagai ulama tanpa dilihat oleh masyarakat pengetahuan, ilmu dan kebenaran orang orang yang ada di lembaga tersebut.
Kategori keempat adalah pers yang dibentuk oleh politisi. Ulama kategori ini dibentuk oleh politisi dengan hanya legitimasi melalui koversi pers oleh sebuah partai atau kelompok tertentu yang misal mengatakan sebanyak 200 ulama telah mendukung partai kami dan lain lain, dimana tidak jelas siapa dan darimana ulama yang diklaim tersebut. Hal tersebut digunakan oleh kelompok politisi atau partai sebagai sarana praktis menarik simpati dan dukungan masyarakat terhadap pilihan politik yang ada.
Kemudian ulama kategori kelima adalah ulama produk sendiri, Gus Mus mengatakan bahwa ulama jenis ini hanya cukup menggunakan aksesoris seperti sorban, peci haji dan mempunyai keahlian acting dan hafalan beberapa ayat al-quran serta hadist saja. Kategori jenis ini dianggap sangat membahayakan umat apabila ulama tersebut mengatakan atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran agaa itu sendiri, misal fitnah, menganjurkan ujaran kebencian dan menghalalkan segala cara. Karena masyarakat menganggap dan mempercayai ia sebagai seorang ulama.
Sebagai kesimpulannya, Gus Mus mempunyai definisi sendiri tentang siapa itu ulama. Ulama menerutnya adalah seorang yang merefleksikan dirinya dengan perilaku nabi. Dimana di dalam Al Quran dijelaskan karakteristik nabi adalah tidak tahan melihat penderitaan masyarakatnya.
Oleh karena itu ulama seharusnya adalah seorang yang tidak tahan melihat penderitaan masyarakatnya dengan mengeliminasi kemungkinan memilih calon presiden yang justru akan lebih menyengsarakan masyarakatnya, dan tidak mudah dijadikan sebagai alat legitimasi politisi untuk menarik simpati rakyat tanpa tahu kebenaran dan kebaikan calon presiden yang didukungnya. Karena salah pilihan maka akan menjerumuskan masyarakat ke dalam kesengsaraan di masa depan.