Jumat, April 19, 2024

Benarkah Reuni 212 Itu adalah Reuni Akal Sehat?

Yones Hambur
Yones Hambur
Mantan Mahasiswa

Pada acara Indonesia Lawyers Club (ILC) yang ditayangkan oleh TvOne pada Selasa (4/12) malam, Rocky Gerung (RG) memberikan pernyataan yang cukup mengganggu akal sehat saya.

Ia menyebut bahwa acara “Reuni 212” yang dihadiri oleh sekelompok massa yang menyebut dan mengklaim diri sebagai kelompok yang ingin menjaga ‘keperkasaan’ umat Islam itu ialah sebuah “reuni akal sehat”.

Satu alasan yang diajukan oleh RG soal klaimnya itu, yakni karena aksi tersebut dilakukan secara tertib dan tidak mengganggu kepentingan banyak orang dan tidak merusak “istana negara”.

“212 itu lepas dari segala macam interpretasi, itu adalah reuni akal sehat. Kalau bukan karena akal sehat, itu ada saja orang iseng kasih komando, selesai itu istana di depan itu. Berantakan itu Jakarta,” demikian Rocky Gerung berdalih.

Apa yang disampaikan oleh RG ini tentu saja sulit untuk diterima secara akal sehat. Sebab, saya pribadi tidak menemukan karakter ‘akal sehat’ di dalam reuni itu.

Dalam konteks acara massal di Monas itu, kita bisa mengajukan pertanyaan begini, “betulkah sekelompok massa yang ada dalam acara itu hadir untuk memperjuangkan sesuatu yang sesuai dengan akal sehat?

Apa Itu Akal Sehat?

Untuk menilai apakah pernyataan RG bahwa kegiatan reuni yang dilakukan di Monas itu benar sebagai sebuah “reuni akal sehat”, yang perlu dilakukan pertama-tama ialah kita harus paham apa itu akal sehat?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “akal” itu sendiri memiliki arti sebagai “daya pikir”. Karena itu, “akal sehat” dapat dipahami sebagai suatu keadaan ketika “daya pikir” atau “kemampuan berpikir” itu dapat berfungsi dengan baik dan benar.

Reza Wattimena dalam sebuah tulisan berjudul “Gunakan Akal Sehat” yang dimuat di Rumah Filsafat mengatakan bahwa seseorang yang memiliki akal sehat dan memakainya, ia akan mampu berpikir dari berbagai sudut pandang.

“Menggunakan akal sehat berarti melihat dari berbagai sudut pandang. Akal sehat bukanlah cara berpikir yang bisa digunakan untuk mengabdi tujuan-tujuan yang tak masuk akal, seperti kerakusan, kebohongan dan pengumbaran kerakusan,” tulis Reza Wattimena.

Dengan demikian, akal sehat juga dapat diartikan seperti sebuah perangkat yang memampukan seseorang untuk berpikir secara kritis. Berpikir secara kritis merupakan suatu sikap intelektual, yakni berani mengambil jarak terhadap segala sesuatu dan mempertanyakan segala keyakinan yang ada.

Orang yang berpikir kritis, ia tidak akan mungkin terjebak dalam klaim-klaim kebenaran kelompoknya, entah itu golongannya, rasnya, ideologinya, maupun agama yang diyakininya. Ia akan berpikir melampaui berbagai hal tersebut.

Dalam konteks kehidupan bersama dengan pluralitas keyakinan atau pandangan hidup, kemampuan berpikir secara kritis ini menjadi sangat penting. Ketika membuat suatu keputusan atau mengambil suatu kebijakan, seseorang mesti mampu keluar dari dogma atau ajaran kelompoknya dan berani mengambil cara berpikir yang lebih luas dan inklusif.

Dengan demikian, hasil keputusan atau kebijakannya itu betul-betul mempertimbangkan keadilan dan kebaikan bersama, dalam arti tidak mendiskriminasi kelompok lain, yaitu kelompok yang berbeda dengan pandangannya.

Dalam diri seorang yang berpikir kritis, hasrat-hasrat untuk menguasai dan merusak kehidupan orang lain akan dengan mudah dilampaui. Artinya, mereka tidak akan “gampang” dikendalikan oleh hal-hal tersebut. Dalam bertindak, mereka selalu akan memikirkan dampaknya bagi kehidupan bersama.

Bagaimana dengan Reuni 212?

Saya sendiri tidak sepakat bahwa “Reuni 212” itu merupakan sebuah reuni akal sehat sebagaimana diklaim oleh RG. Tentu Anda mungkin akan bertanya, “kenapa demikian?”

Untuk menjawab ini, kita tinggal melihat sejarah adanya kelompok massa yang melakukan reuni tersebut. Seperti kita ketahui, massa yang hadir dalam acara tersebut ialah orang-orang yang pada 2017 lalu melakukan demo dan protes habis-habisan terhadap Gubernur DKI Jakarta waktu itu, yakni Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

Dalam pidatonya di Kepulauan Seribu, Ahok dianggap menghina agama Islam lewat komentarnya soal Surat Al Maidah ayat 51. Ahok menganggap banyak orang yang ‘dibohongi’ oleh surat tersebut dengan tidak boleh memilih pemimpin nonmuslim.

Padahal, kalau kita perhatikan secara cermat dan benar, perkataan Ahok yang menyinggung surat tersebut sama sekali tidak bermaksud untuk menodai Agama Islam. Ucapan Ahok itu dimaksudkan untuk mengkritik para politisi yang suka memakai agama untuk mencapai kekuasaan.

Kita juga tentu ingat bahwa aksi protes terhadap Ahok itu penuh dengan kepentingan politik. Mereka mati-matian menuntut Ahok dipenjara dengan memaksa keputusan pengadilan agar pada akhirnya Mantan Bupati Belitung itu tidak menduduki kursi kekuasaan 1 di DKI Jakarta.

Soal ini juga pernah diungkapkan oleh Pembina Presidium Alumni 212 Kapitra Ampera sebagaimana diberitakan BBC Indonesia. Anggota Tim Advokasi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI ini mengakui bahwa aksi ini sebenarnya murni politis.

“Ini 212 ini adalah kegiatan politik. Untuk apa? Untuk mengkonsolidasikan umat Islam sehingga menimbulkan kesadaran agar memilih pemimpin, baik kepala daerah, maupun di legislatif melalui pemilu maupun pilpres di eksekutif melalui pemilihan presiden untuk memilih umat Islam yang berkualitas memimpin republik ini, memimpin daerah dan memimpin DPR. Dan ini politik,” demikian kata Ampera.

“Dan ini politik umat Islam, dan umat Islam sekarang ingin berkuasa melalui jalur-jalur konstitusional, melalui pemilu, melalui pilkada dan melalui pilpres,” lanjut dia.

Pengakuan yang nyaris jujur dari seorang Ampera ini sebenarnya menyingkapkan karakter di balik aksi kelompok massa 212 tersebut. Mereka tidak mau bahwa orang-orang di luar agama Islam seperti Ahok, bisa menjadi pemimpin di negeri ini.

Alasannya apa? Selama ini mereka selalu berdalil bahwa hal itu sesuai dengan perintah agama mereka bahwa “haram hukumnya untuk memilih pemimpin kafir”, sebagaimana juga mereka tetapkan untuk Ahok.

Atas nama karena diperintah oleh agama, mereka dengan lantang bersuara dan melakukan kampanye dimana-mana, bahkan di rumah ibadah untuk mengharamkan seorang Ahok menjadi pemimpin.

Padahal, dalam konteks kehidupan bernegara di Indonesia ini, siapapun, asalkan ia adalah seorang warga negara, berhak untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin. Itu berarti, pemakaian dalil-dalil agama untuk urusan politik seperti yang dilakukan kelompok massa tersebut sudah tidak pada tempatnya.

Ruang agama itu jelas berbeda dengan ruang politik. Dalam ruang politik yang plural seperti Indonesia, logika politik yang dipakai ialah politik kewarganegaraan, bukan logika kelompok yang  sifatnya tertutup.

Sampai di sini kita bisa bertanya apakah kelompok massa yang reuni itu disebut orang yang menggunakan akal sehatnya? Apakah mereka orang yang berpikir kritis?

Kalau kita merujuk pada “apa itu akal sehat” dan “soal berpikir kritis” seperti yang sudah dijelaskan di atas, orang-orang ini sebenarnya bukanlah orang yang menggunakan akal sehatnya. Dengan begitu mereka juga sulit untuk berpikir secara kritis.

Saya cukup menyebut acara di Monas itu sebagai “Reuni Sentimen”, karena massa yang hadir di sana ialah orang yang berhasrat untuk mendapat kekuasaan dan ingin menguasai yang lain.*

Yones Hambur
Yones Hambur
Mantan Mahasiswa
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.