Benarkah menulis itu bakat? Pertanyaan itu kembali terulang di benak saya setelah lima tahun memasuki dunia literasi. Pertanyaan klise itu muncul lagi saat saya sedang mengerjakan artikel berita bola lansiran dari situs luar negeri untuk dialihbahasakan dan dikemas ke dalam bahasa Indonesia.
Ketika tulisan baru jadi empat paragraf (saya harus menulis minimal 7-8 paragraf untuk satu artikel), saya baca ulang, dan mendapati bahwa betapa kaku tulisan saya. “Gawat, sudah jadi ‘makanan’ sehari-hari pun saya masih kesusahan menulis dengan lancar!” batin saya.
Ini baru artikel berita bola, yang memang sehari-hari menjadi pekerjaan saya. Belum lagi tulisan-tulisan lain yang sesekali saya coba-coba tulis. Esai, misalnya. Tiap kali terpantik untuk menulis esai setelah membaca berita-berita yang sedang fenomenal, atau ketika tertarik menanggapi suatu permasalahan, tiap kali itu juga saya harus bersusah payah merangkai kata, kalimat demi kalimat, hingga paragraf demi paragraf sampai menjadi satu tulisan utuh.
Sering kali, apa yang tadinya sudah ada di kepala, tak mau keluar ketika mata sudah berhadapan dengan laptop. Otak saya tiba-tiba jadi sembelit dan tak bisa menuangkan ide-ide, gagasan-gagasan, serta teori-teori yang sempat melintas di kepala.
Setelah esai, masih ada lagi yang lebih sulit. Puncak kesulitan itu datang ketika hendak menulis sastra. Misalnya cerpen. Terus terang, sampai detik ini, belum pernah saya bisa menghasilkan satu cerpen utuh dalam satu tarikan napas. Seminimal-minimalnya sebulan, dan itupun, setelah saya endapkan beberapa lama, ternyata di sana-sana banyak kekacauan.
Kacau yang saya maksud di sini masih berupa perkara linguistik, belum termasuk urusan estetika sastra, seperti misalnya gaya bercerita. Untuk yang terakhir saya sebutkan ini, sering membuat saya baru bisa merampungkan satu cerpen rata-rata dalam setahun.
Ya, setahun! Itupun, seringkali, plot yang saya bangun mengawang-ngawang, mencelat ke sana kemari, dan, yang paling parah, gaya berceritanya kerap sangat dipaksakan. Akibatnya? Sampai hari ini, baru satu cerpen saya yang diloloskan redaktur koran nasional, yang mungkin kasihan sama saya.
Malu saya? Jelas! Tentu saja saya malu, terutama sama diri sendiri. Sudah lima tahun belajar menulis, tapi kok saya masih saja tertatih-tatih setiap kali menulis. Padahal saya sarjana lho! Dari sejak SD saya sudah belajar bahasa (walaupun, seingat saya, tidak pernah ada guru saya saya dulu mengajari saya menulis, dalam arti menulis artikel atau membuat karangan)! Selain itu, saya juga pernah bekerja sebagai wartawan selama tiga tahun, meskipun media tempat saya bekerja tidak pernah mengajarkan perihal bagaimana menulis kreatif.
Sejak awal, saya sering mempertanyakan, apakah menulis itu–seperti halnya melukis atau menyanyi–hanya bisa dilakukan (dengan mudah) oleh orang-orang yang memang diberi semacam bakat dari lahirnya?
Ini pertama kali saya pertanyaan waktu saya terkagum-kagum pada bagaimana Pramoedya Ananta Toer menyusun tetralogi Buru, bacaan sastra pertama saya lima tahun lalu. Saya membayangkan, bagaimana bisa Pram membuat sebagus itu? Apalagi kita tahu, beliau menulis itu di dalam penahanan di Pulau Buru.
Adakah seseorang yang mengajarinya? Lalu, karena novel itu ditulis di zaman tak enak (sebetulnya kita tak yakin, zaman sekarang sudah enak atau masih belum), kira-kira sehari berapa halaman dia tulis? Pukul berapa dia menulis? Pagikah, atau siangkah, atau malam, atau sepanjang hari? Lalu, apakah selama menulis itu, dia tidak diganggu oleh urusan lain?
Misalnya lagi terhadap Joanne Kathleen Rowling, penulis Harry Potter itu. Dia perempuan, ibu rumah tangga pula. Kok bisa dia menulis novel sebegitu tebal dan berjilid-jilid pula? Apa dia tidak harus mengurus suami dan anak-anaknya, menemui kerabatnya, atau sekadar bersosialisasi dengan teman-temannya? Apa dia tidak ada urusan lain selain menulis?
Belum lagi terhadap pengarang-pengarang yang menulis dalam keadaan yang lebih susah, yang daftarnya akan sangat panjang bila saya sebutkan satu per satu di sini. Ditambah lagi, tiap kali melihat profil dari orang-orang yang tulisannya lolos di media, yang hampir selalu menunjukkan bahwa orang-orangnya memang sudah bergiat lama dalam bidang kepenulisan, dan sudah menelurkan buku dan meraih penghargaan pula. Ini sering bikin saya ciut dan minder.
Pokoknya, banyak sekali yang saya pertanyakan dari sosok penulis yang tulisannya saya baca dan membuat saya kagum. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu masih sering melintas di kepala saya sampai sekarang.
Lagi-lagi, pertanyaan seperti itu mengaitkan saya kembali dengan pertanyaan semula tadi; apakah menulis itu memang ditakdirkan untuk menjadi ranahnya orang-orang yang memang diberi bakat oleh Pencipta, sehingga orang macam saya ini sebaiknya tahu diri, tak usah terlalu memaksakan diri untuk menyusun kata-kata, apalagi sok-sok-an nulis sastra, karena lagipula, menulis juga tidak akan menghasilkan banyak uang dan malah cuma menghabis-habiskan waktu saja?
Oh, Tuhan! Terus terang, saya merasa “godaan setan” seperti itu ada benarnya juga. Atau, jangan-jangan justru itu bukan setan yang berbisik, melainkan malaikat baik yang menyarankan saya untuk mengerjakan hal lain selain menulis, di mana saya bisa benar-benar mengerjakannya dengan mudah dan lancar, seperti misalnya jadi pegawai kantoran, atau jadi pedagang saja?
Tapi, di sinilah sebetulnya yang ingin saya curhatkan. Ya, bisikan itu sampai sejauh ini masih bisa saya tepis. Saya masih tetap yakin bahwa menulis itu sama seperti kebanyakan hal lain. Bersepeda misalnya. Semakin sering dilakukan, maka kita akan semakin mahir. Saya masih ingat dulu waktu saya belum bisa sama sekali naik sepeda, tapi sekarang, sambil lepas tangan di tengah jalan yang ramai pun saya mudah-mudahan tak gugup.
Itu setidak-tidaknya sudah terbukti dari beberapa penulis yang saya kenal. Seperti penulis muda, Miranda Seftiana. Dari obrolan singkat dengannya, saya mendapati bahwa dia ternyata sudah menulis secara serius (dan dipublikasikan) sejak usia 13 tahun. 13 tahun berarti kira-kira kelas dua SMP. Dan paling tidak, sebelum itu dia sudah mulai belajar menulis selama beberapa bulan atau tahun.
Lalu, suatu malam di Kota Medan saya mengobrol cukup lama dengan cerpenis Muhammad Damhuri atau yang lebih dikenal dengan Damhuri Muhammad. Dari beliau saya mendapat pelajaran, bahwa menulis itu tidak boleh menyerah. Harus pantang menyerah. Beliau, yang kini tulisannya sering nongol di Kompas, baik itu cerpen maupun opini, mengaku harus menanti 11 tahun sampai tulisannya lolos.
“Saya ngirim cerpen sejak tahun 1994 dan baru tembus tahun 2005. Membuat cerpen itu harus terluka dulu,” katanya waktu itu, tanpa memerinci berapa tulisan yang sudah ia kirimkan kurun waktu selama itu.
Intinya, menurut saya, tidak boleh ada kata menyerah dalam usaha literasi. Menulis, bagi saya, adalah sesuatu yang bisa diasah dengan ketekunan dan kegigihan. Ini terutama berlaku untuk kita-kita yang (anggaplah) tak berbakat seperti Pram, atau J.K. Rowling, atau pengarang-pengarang lainnya.