Ada sebuah kabar bahwa minat membaca orang Indonesia, ketiga terendah dibanding negara lain. Tentu kita prihatin, sambil dalam hati sepakat bahwa kita tidak sedang baik-baik saja. Kenyataannya adalah budaya instan sedang menjerat bangsa kita. Praktek plagiarisme, maraknya kabar singkat yang bersifat hoax, hingga sepinya perpustakaan dibandingkan kedai kopi pinggir jalan, tentu membutuhkan perhatian khusus.
Membaca adalah jendela mengenail dunia, begitu kata orang bijak kuno. Membaca adalah bagian dari menangkap informasi, lalu merekamnya dalam ingatan. Ada beberapa hal yang membuat kita harus membaca. Salah satu adalah membaca sejarah bangsa. Suatu bangsa yang mengerti sejarah bangsanya, maka sama saja dengan mengenal dirinya. Tapi jika suatu bangsa harus bertanya pada bangsa lain tentang sejarahnya, maka sama saja bangsa tersebut kehilangan cermin peradabannya.
Begitu pentingnya membaca, lalu terlalu sempit jika kemudian membaca hanya dimaknai sebagai membaca buku. Deretan kalimat, dan lembaran buku itu memang penting untuk dibaca. Dan kita semua terlalu malas untuk melakukan kegiatan itu. Padahal, nenek moyang bangsa Indonesia begitu gemar membaca.
Jika boleh ditingkatkan, kegiatan membaca paling rendah adalah membaca buku. Jika dinaikkan satu level, adalah usaha mengaitkan dengan kondisi atau pengalaman subyektif pembacanya. Pada titik ini, pembaca akan melakukan interpretasi dari apa yang dibacanya dengan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Misalnya, seorang yang membaca dongeng “Kancil Mencuri Timun”, ia akan menafsirkan bahwa kancil adalah hewan licik, petani adalah orang yang sering rugi, dan lain-lain.
Proses ketika menghidupkan rentetan kalimat yang mati, dengan proses imajinasi, hingga jadi sebuah kesimpulan adalah level membaca berikutnya. Banyak pembaca yang gugur sebelum sampai pada level ini. Padahal, kegiatan membaca akan melahirkan pengetahuan sebagaimana tesis antitesis melahirkan sebuah sintesa.
Jadi, malasnya budaya membaca buku sebagaimana masyarakat Indonesia dinyatakan memiliki tingkat paling rendah disebabkan beberapa hal. Pertama, gagalnya kita mencapai level pemahaman terhadap buku yang kita baca. Dampaknya, orang akan malas untuk meneruskan membaca. Kedua, budaya instan tidak hanya berlaku pada makanan.
Budaya instan dalam kegiatan literasi seperti membaca juga menjangkit kita. Dampaknya, sebagaimana mie instan, tidak baik bagi kesehatan akal dan nalar kita. Ketiga, kebiasaan membatasi diri terhadap wawasan dan pengetahuan juga sering terjadi. Maksudnya, jika seorang itu calon sarjana kedokteran misalnya, wawasan dan pengetahuan akan sejarah bangsa kemudian menjadi tidak penting lagi.
Lantas dapat kita katakan bahwa budaya membaca semakin sempit. Pertama, membaca hanya sekedar dimaknai sebagai sebuah kewajiban yang linear dengan studi dan profesi kita. Kedua, ada proses logika melompat dalam kegiatan membaca. Sederhananya seperti mengabaikan proses imajinasi teks dengan konteks, dan langsung melompat pada proses mengingat. Hal ini sebenarnya yang membuat kegiatan membaca menjadi menjemukan.
Untuk beberapa hal seperti itu, sebaiknya kita belajar dari nenek moyang kita. Dan bersyukurlah kita, sebagai bangsa yang begitu dekat dengan alam. Maksudnya, coba perhatikan dengan seksama para nenek moyang kita. Daun yang jatuh saja bisa menjadi pengetahuan. Bulan di atas awan kemudian menjadi petunjuk untuk melaut. Atau, sekedar angin berhembus kemudian menjadi sebuah pengetahuan. Lebih dari itu semua, ilmu dan pengetahuan kemudian menjadi sebuah petunjuk.
Dalam hal ini, kegiatan membaca tidak hanya dimaknai sebagai membaca buku. Esensi membaca adalah menghasilkan pengetahuan, Kemajuan zaman, kemudian melahirkan peradaban membaca dan menulis secara tekstual. Jika dirangkai, manusia Indonesia tempo dulu lebih baik kualitas menghasilkan ilmunya daripada orang sekarang. Hal ini baik dalam kualitas membaca maupun kualitas produk pengetahuannya.
Kualitas membaca orang dulu tidak sekedar sawang sinawang, atau yang dilihat dan yang melihat. Logikanya adalah ada teks dalam konteks. Sebagaimana misalnya, nasehat suku jawa yang masih kita temukan hingga sekarang. Hampir semuanya adalah produk pengetahuan yang dihasilakan dari proses membaca fenomena, hingga hubungan kausal, yang secara periodik berulang.
Maksudnya, sejarah itu akan terus berputar. Seperti misalnya sopo nandur bakal ngunduh (siapa menanam bakal memanen), dan masih banyak hal serupa yang kita temukan di setiap suku bangsa kita. Sampai jatuh pada nasehat seperti itu, tentu melalui proses membaca pengalaman hingga sampai mewariskan pengetahuan.
Hingga pada kesimpulan, hanya untuk sekedar membaca saja kita bermasalah. Lalu apa lagi yang bisa kita wariskan sebagaimana nenek moyang dahulu mewariskan pengetahuan berupa nasehat-nasehat.
Padahal, apa yang terjadi di masa depan adalah apa yang terjadi di masa lampau. Maksudnya, sungguh merugi jika anak cucu kita melakukan kesalahan sama, sebagaimana kesalahan itu pernah kita alami. Yang paling genting ridak hanya ketika kita malas membaca buku, dan tidak mendapatkan pengetahuannya.
Kalau begitu yang merugi hanya kita saja. Yang paling genting adalah ketika kita gagal membaca alam, dan sejarah. Sebagaimana kita percaya bahwa candi Borobudur dibangun 1001 Jin, padahal jika proses membaca sejarah kita baik, itu maksudnya dengan kekuatan gotong royong, kekuatan 10 orang sama dengan 1001 jin.