Jumat, April 26, 2024

Belajar Kebijaksanaan Dari Zaman Aksial

Nabhan Aiqani
Nabhan Aiqani
Alumnus Ilmu Hubungan Internasional Universitas Andalas

Kita kini hidup dalam masa genius ilmiah dan teknologi, tapi untuk pendidikan spiritual, kita jauh tertinggal dibanding orang-orang bijak zaman Aksial. Kepada merekalah kita mesti berguru (Karen Armstrong, 2006).

Dapat dikatakan, pemahaman tentang zaman aksial belumlah terlalu umum ditengah pemahaman masyarakat secara keseluruhan. Sehingga untuk mengawali, perlu pemaparan singkat mengenainya. Zaman aksial adalah zaman yang memiliki rentang antara tahun 900-200 SM. Pada zaman ini, sendi-sendi dan dasar keagamaan mulai dicari untuk kemudian disusun menjadi satu aliran keagamaan murni. Kata aksial sendiri, memiliki akar kata “axios” yang berarti nilai. Dapat juga diartikan zaman aksial adalah zaman dimana munculnya banyak nilai-nilai dan pemahaman keagamaan yang sifatnya mencari tujuan dari hidup ini, utamanya dalam hal hubungan secara trasenden (ilahiah). Ada begitu banyak tokoh adiduniawi yang muncul memenuhi rongga-rongga kehidupan rohaniah manusia di zamannya, bahkan hingga saat ini.

Harus diakui manusia-manusia bijak pada zaman aksial, memiliki pengetahuan akan dunia yang lebih mendalam dibanding manusia pada zaman ini. Mereka mempertanyakan persoalan fisik dan metafisik yang terjadi, sampai hal-hal terkecil tentang kehidupan manusia pun dipertanyakan.
Sedikit penganta rsingkat diatas dimaksudkan sebagai pengayaan khazanah pengetahuan bagi kita semua. Tulisan ini akan banyak membahas, bagaimana tokoh-tokoh zaman aksial mampu menjadi manusia yang tidak egoistis, memandang segala persoalan secara positif dan terbuka, menanamkan nilai-nilai kearifan dengan sedapat mungkin menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan tercela maupun amoral. Segala sesuatu dipikirkan dengan tenang dan bijaksana, tidak mengedepankan ego dan nafsu pribadi semata.

Nah, menjadi suatu hal yang terbalik bila kita refleksikan pada kondisi kontemporer. Satu hal yang patut kita unggulkan, karena secara penguasaan sains dan teknologi kita jauh lebih maju dari manusia zaman aksial, tapi secara pemahaman akan nilai-nilai dasar kehidupan kita tidak ada apa-apanya dibanding mereka. Kesederhanaan dan kebijaksanaan hidup menjadi perbincangan yang memenuhi ruang-ruang diskusi di kalangan masyarakat pada zaman aksial itu.

Tak bisa dibantah, jikalau ada banyak manusia genius di zaman ini, namun perilakunya sama sekali tidak mencerminkan sosoknya sebagai manusia yang berpengetahuan.Maraknya terjadi kasus-kasus asusila dan tindak kejahatan yang menimpa manusia sekarang ini menunjukkan keringnya pemahaman akan hal-hal yang bersifat rohaniah. Kita telah jauh meninggalkan prinsip kebajikan dan kepedulian terhadap sesama, ujung-ujungnya terjebak dalam lorong kehidupan tanpa makna.

Tak berlebihan bila cerita tentang Diogenes (seorang filosof miskin beraliran sinisme, yang kemana-mana hanya dengan sebuah tong besar) diungkap kembali. Ketika ia ditanyai oleh Kaisar Aleksander Agung, “apa yang kau inginkan, Diogenes? apapun akan aku berikan padamu” ujar Aleksander menawarkan. Dia menjawab dengan jawaban yang tak terduga, “ aku hanya meminta satu hal padamu, Alek, tolong anda berdiri menyingkir agar sinar matahari bisa mengenai tubuhku.” Begitu luhur budi seorang di zaman itu, karena memandang apa yang telah ia miliki sudah cukup dan mampu untuk memberikan kebahagian kecil dalam hidupnya.

Sangat Ironis, bila dibanding dengan “dagelan politik” perebutan kekuasaan yang tak kunjung akhir, sampai menggunakan cara-cara keji agar kepentingannya dapat tercapai, tidak peduli apakah itu bersesuaian atau tidak dengan etika dan moral. Aturan hukum hanya dipandang sebagai kata-kata indah, yang tidak akan mampu menjamahnya.

Kalau pun boleh berandai, mereka juga perlu hidup dan belajar lagi dari cerita china prasejarah, yang menampilkan sosok bijak Yao dan Shun. Yao merupakan seorang raja yang memimpin dengan arif dan bijaksana, menyandarkan kepemimpinannya pada prinsip-prinsip kebajikan. Menariknya di akhir kekuasaan, ia tidak mewariskan kekuasaan pada anaknya sendiri. Yang menurutnya, dia tidak akan mampu memimpin dengan mengedepankan budi luhur nan agung. Sosok Shun yang diluar dugaan muncul meneruskan suksesinya. Shun yang hanya seorang petani miskin biasa, ia bahkan tidak pernah menduga bisa menduduki jabatan ini. Jatuhnya pilihankepada Shun, dikarenakan Yao merupakan seorangpemimpin yang memiliki sifat adi luhung dan tidak terlalu mencintai dunia (zuhud).

Adalah hal yang langka di temui di zaman ini, dimana elit-elit kekuasaan akan menjatuhkan pilihan pada orang-orang yang benar-benar mampu dan memiliki empati medalam akan kepedulian untuk menyejahterakan rakyat. Setidak nya fakta itu bisa dilihat ketika massifnya dinasti politik (kekuasaan), disana-sini. Apabila kondisi demikian yang tercipta, tendensi kekuasaan akan mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Seirama dengan adagium hukum dari Lord Acton (1834-1902), Power tends to corrupt and Absolute power corrupts absolutely (kekuasaan cenderung disalah gunakan dan kekuasaan absolut pasti disalah gunakan).

Apa yang terjadi kini, harus disadari merupakan kelalaian kita dalam memahami pentingnya hakikat hidup. Prinsip-prinsip kebajikan bukan menjadi tren, hal hal yang baik dipandang lucu dan terabaikan. Mana mungkin di zaman ini ada pemimpin, layaknya Umar bin Khattab yang mau turun dari satu rumah ke rumah, berjalan malam hanya untuk memastikan kondisi masyarakatnya dalam keadaan baik dan berkecukupan. Hingga ia menyesali dirinya sendiri, karena ada satu keluarga yang tidak dapat memenuhi kebutuhan makan anaknya.

Demikan juga dengan dengan nilai-nilai ahimsa (tanpa kekerasan) yang dijalankan dalam budaya hindu. Pun dengan, para penyangkal dunia di zaman India kuno, yang rela meninggalkan kenikmatan dunia, hanya demi mencari hakikat kehidupan (athman).

Inilah yang alfa dalam kehidupan manusia yang serba ada saat ini. Manusia modern kini hidup bergelimangan kemewahan. Tidak ada yang peduli dengan kondisi sosial yang ada disekitarnya. Mata hati mereka telah dilenakan dan dibutakan.

Akhirnya, mau tidak mau kita harus belajar dan menyadari tindakan-tindakan amoral yang marak terjadidenganatautanpadisadari, justru akan mengarahkan kehidupan menuju kehampaan hidup. Hidup tanpa memiliki nilai, makna akan hidup telah dipandang sempit, terbatas pada kepentingan peribadi. Kata “Aku” harus bisa seminimal mungkin direduksi, karena sejatinya kata orang-orang zaman aksial, saat seseorang mampu mengendalikan egonya, disaat itulah dia menjadi manusia seutuhnya.

Nabhan Aiqani
Nabhan Aiqani
Alumnus Ilmu Hubungan Internasional Universitas Andalas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.