Mengikuti perkembangan penanganan COVID-19 oleh pemerintah yang sering kali bikin sakit kepala, saya jadi teringat Kota Macondo dalam One Hundred Years of Solitude ketika terjadi wabah tak bisa tidur.
Dalam karya penulis Kolombia Gabriel Garcia Marquez itu, Kota Macondo mengalami wabah yang menyebabkan orang-orang tak bisa tidur. Jose Arcadio Buendia, pemimpin komunitas itu adalah orang pertama yang diperingatkan mengenai adanya wabah tersebut.
Namun, Jose Arcadio Buendia justru enggan menanggapi peringatan itu. Malahan, Ia berkelakar dengan mengatakan bahwa tak apa-apa bila orang tak bisa tidur. Karena ada begitu banyak hal yang harus dikerjakan di siang hari.
Memang, yang memperingatkannya adalah Visitacion, penduduk asli Indian yang menjadi pembantu rumah tangga keluarga Buendia. Bukan dokter, apalagi ilmuwan yang fokus dalam kajian epidemi.
Tetapi di dunia kita, sekalipun ilmuwan dan organisasi kesehatan sudah mewanti-wanti bahaya Virus Corona, pejabat kita juga bersikap sama seperti Jose Arcadio Buendia. Kita masih bisa mencari di Google, daftar guyonan pejabat negara mengenai Virus Corona saat pertama kali merebak di China.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi misalnya, mengatakan orang kita kebal Virus Corona karena suka makan nasi kucing. Sementara Menko Perekonomian Airlangga Hartanto mengklaim virus itu tak mungkin masuk Indonesia karena “perizinan yang berbelit-belit”.
Kita tahu, penyangkalan di balik guyonan pejabat itu malah membawa petaka bagi masyarakat. Jose Arcadio Buendia harus membayar mahal penyangkalannya saat wabah itu mulai memberikan dampak serius bagi penduduk Macondo.
Orang yang sudah terinfeksi wabah tak bisa tidur ternyata bukan saja terjaga semalaman, tetapi juga mulai kehilangan daya ingatnya secara perlahan. Mereka lupa nama-nama benda seperti kursi, palu, dan nama-nama binatang.
Setelah itu, mereka juga mulai lupa kegunaan suatu benda. Ketakutan pun muncul saat mereka berpikir mungkin akan lupa terhadap teman dan keluarga mereka sendiri.
Kita pun merasakan, penyangkalan pejabat negara dalam kasus Virus Corona malah membuat cemas masyarakat. Alih-alih menyiapkan strategi pencegahan sedini mungkin, pemerintah kita seperti ketinggalan “start” dalam menangani Virus Corona.
Hasilnya bisa kita lihat. Petugas medis kualahan, masker langka dicari, komunikasi publik amburadul, hingga pejabat yang saling menyalahkan jadi tontonan tiap hari. Terlihat sekali bagaimana pemerintah gontai dan tidak siap dalam menghadapi Virus Corona.
Selagi cara penyebaran wabah tak bisa tidur belum diketahui secara pasti, Jose Arcadio Buendia me-lockdown Macondo agar tak menyebar keluar kota. Tetapi, itu tak cukup menyelesaikan masalah karena obat penyakit tersebut belum ditemukan.
Sama seperti Presiden Joko Widodo yang ingin “berdamai dengan Virus Corona”, narasi berdamai dengan wabah tak bisa tidur juga diterapkan di Macondo. Penduduk mulai menulisi nama-nama benda seperti “Ini Kursi”, “Ini Palu” dan sebagainya.
Mereka juga memberi keterangan pada benda-benda itu karena mulai lupa kegunaannya. “Ini Sapi. Sapi harus diperas setiap pagi untuk mendapatkan susu. Susu sapi untuk diminum”. Agak merepotkan memang, terutama saat semua benda dipenuhi oleh kertas keterangan.
New Normal seperti di Macondo memang menjadi solusi praktis agar aktivitas dan roda ekonomi tetap berjalan. Tetapi harus diingat bahwa New Normal tak menyelesaikan akar masalah.
Selagi kita belum menemukan antivirusnya, atau bagaimana menekan kasus infeksi hingga nol, selama itu pula kita hanya berkejaran dengan wabah yang masih menghantui.
New normal akhirnya menjadi exit strategy karena frustasi wabah sulit teratasi. Sedikit beruntung di Macondo, orang hanya tak bisa tidur dan lupa nama-nama benda. Tetapi apa yang kita sedang hadapi? Sebuah virus yang menewaskan ratusan ribu orang.