Sehari lalu terjadi perbincangan yang cukup seksi di grup WA kampung saya. Grup yang biasanya hanya berisi candaan-candaan biasa, hari itu terjadi perbincangan yang cukup dalam. Menyoal tentang tatanan pemerintahan di Kabupaten Pamekasan.
Mulanya perbincangan itu terjadi ketika saya men-share berita dari kompas tentang curhatan orang nomer satu Pamekasan, ia menyatakan dalam curhatannya bahwa ada kelompok demonstran yang mengancam dan meminta proyek.
Perbincangan menjadi hangat karena salah satu dari anggota grup salah seorang aktivis yang tidak sepakat dengan pernyataan orang nomer satu tersebut. Hingga mengalirlah perbincangan itu dengan begitu seksinya. Ya, meskipun pandangannya, bagi saya, yang dilontarkan masih menggunakan perasaan.
Baik, tulisan ini sebenarnya bukan untuk membahasa persoalan di atas. Jauh dari itu, saya ingin mengajak untuk merenungi konsep Tuhan dan negara menurut Mikhail Bakunin. Kira-kira peran tuhan dan negara bagi Bekunin itu apa? Dan gerakan massa terhadap negara itu seharusnya bagaimana?
Pada buku Tuhan dan Negara Bakunin berbicara soal negara. Melalui buku tersebut Bakunin hadir sebagai nabi untuk kalangan buruh dan kaum intelektual radikal Eropa dengan gerakan revolusionernya, yang kemudian disebut Anarkisme. Namanya melejit dan sama terkenalnya dengan Karl Marx, kedunya sama-sama berjuang memperebutkan kepemimpinan oraganisasi internasional pertama.
Menjadi pembeda dari Marx, Bakunin lebih memilih menenggelamkan dirinya pada lautan pergerakan bukan berenang sebagai teoritis pemberontakan seperti Marx. Sebagai pejuang revolusioner ia meninggalkan jabatannya sebagai seorang militer dan kebangsawanannya. Sejak tahun 1840 ia mewakafkan hidupnya untuk berperang melawan tirani seperti apa pun bentuknya.
Kesukaannya sebagai petualang di luar perpustakaan ia meluapkan kegembiraannya dengan ikut aksi 1848. Kemudian ia tumbuh sebagai tokoh Promethean yang tumbuh bersama pasang surut pemberontakan mulai dari Paris hingga brikade-brikade Prusia dan Jerman. Sederhananya, “yang tumbuh dalam musim badai dan didewasakan tornado jauh lebih baik daripada hidup dibawah sinar matari”.
Bakunin memandang negara dan agama mempunyai relasi yang sama, dimana agama dan negara mempunyai misi sama untuk menindas manusia. Terbukti dari pandangannya terhadap kisah Adam dan Hawa yang dilarang untuk mendekati pohon pengetahuan. Kata Bakunin pelarangan tersebut usaha Tuhan agar manusia selalu miskin dari segala kecerdasan dan pengetahuannya, serta selalu tunduk patuh dihadapan Tuhan. Darisanalah muncul langkah-langkah setan, pemberontak abadi, pemikir, dan emansipatoris pertama dunia.
Begitupun dengan negara, dari sejarah nenek moyang manusia itu para penguasa agama dan negara memanfaatkan kekuasaannya mengabadikan perbudakan bangsa-bangsa. Sehingga tak diragukan lagi penguasa agama dan negara lebih mudah menipu masyarakat.
Namun para penguasa agama dan pemerintah mengajarkan kutukan terhadap Adam dan Hawa tersebut merupakan penunjukan keadilan dan merupakan perbuatan agung Tuhan. Dari penanaman ini pemerintah dengan dalih “pengadaban manusia” sebenarnya sedang meracuni manusia secara sistematis dan membodohi yang penuh dengan kepentingan.
Bagi Bakunin untuk pembangunan manusia ada tiga prinsip fundamental yang lebih esensial. Pertama, sifat kebinatangan manusia; kedua, pemikiran; dan yang ketiga, pemberontakan. Dari ketiga perinsip tersebut berturut-turut menyentuh kondisi individu dan sosial, pengetahuan atau sain, serta kebebasan.
Sangat disayangkan oleh Bakunin dari tiga hal tersebut tak pernah disentuh oleh kaum borjuis, agamawan, politisi, ekonom, idealis dan yang lainnya. Bahkan sering melukai hati manusia dengan menganggap manusia yang cerdas, kreatif, inspiratif, aspiratif yang tak terbatas dianggap sebatas manusia yang tak lebih dari makhluk-makhluk lain di bumi.
Sehingga pembodohan secara sistemik terus digencarkan oleh pemerintah. Dengan bersekutu dengan kaum agamawan agar terus beriman kepada Tuhan sang pencipta, hakim, pengatur, juru selamat, dan pemberi rezeki bagi dunia yang keyakinan ini banya disebar pada kaum proletariat pedasaan dari pada proletariat kota. Gerakan ini sebagai dalih agar masyarakan jauh dari kegiatan intelektual dan bacaan, serta dari segala hal yang merangsang kuriositasnya untuk lebih berkembang dan maju.
Racun pikiran dalam segala bentuk terus ditanamkan oleh para agamawa dan pemrintah, sehingga terbangun tradisi-tradisi yang acap kali melemahkan akal sehat masyarakat. Dalam arti lain kehidupan mereka terbatasi bagaikan seorang tahanan tanpa cakrawala, tanpa hasil, bahkan tanpa masa depan.
Kata Bakuni ada tiga metode untuk memusnahkan kesenjangan sosial semacam ini. Yang dua bersifat fantasi (Gereja dan Bar) dan yang satu lagi bersifat riil (revolusi sosial). Melalui Gereja dan Bar manusia bisa menghilangkan sejanak permasalahan soasia denga pesta pora pikiran dan pesta pora pikiran.
Dan melaui revolusi sosial, kata Bakunin, merupakan langkah nyata dan lebih kuat untuk membunuh kepercayaan atas agama dan kebiasaan buruk. Dalam rangka mengganti kesenangan-kesenangan ilusionis dan brutal dari penyimpangan tubuh dan spiritual. Artinya, melalui revolusi sosial kekuatan untuk menutup geraja dan bar secara tuntas.
Sekaligus dengan cara ini masyarakat akan menyatu menjadi satu kesatuan yang utuh. Sampai pada akhirnya sudah tidak memiliki kepercayaan. Kecuali kepercayaan bersama bahwa sebagai hamba Tuhan, manusia hanya menjadi hamba gereja dan negara, sepanjang negara ditasbihkan oleh gereja. Sehingga terbentuklah idiom dari merka “Jika Tuhan ada, maka manusia adalah budak. Artinya, jika manusia ingin dan harus bebas, maka Tuhan tidak boleh ada.”
Pertanyaan seriusnya kemudian, dengan kembali pada kasus pada alinea pertama. Jika para revolusioner melakukan absurditas yang sama dengan pemerintah akan dipercayakan kepada siapa negara ini?