Berbicara mengenai becak, tentu tidak lepas dari beberapa negara yang ada di Asia, termasuk Indonesia. Awal mula munculnya becak sebagai salah satu alat transportasi berawal dari Jepang.
Dikutip dari situs becakjogja.com, kisaran waktu 1869 di Yokohama, seorang pria Amerika Serikat yang menjabat pembantu di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jepang berjalan-jalan menikmati pemandangan Kota Yokohama dan berniat mengajak istrinya yang lumpuh.
Dikarenakan istrinya lumpuh, pria tersebut kemudian bekerja keras merancang kendaran yang praktis untuk membawa istrinya itu berjalan-jalan menikmati Yokohama. Rancangan adalah sebuah kendaraan mirip kereta kecil tanpa atap dan ditarik oleh manusia.
Rancangan tersebut kemudian dikirimkan kepada sahabatnya bernama Frank Pollay dan dibantu oleh seorang tukang besi bernama Obadiah Wheeler untuk menjadi sebuah alat pengangkut. Semenjak itulah becak kuno muncul, kereta kecil yang ditarik dengan tenaga manusia. Orang-orang Jepang sering menyebut becak dengan istilah “Jinrikisha” dan penariknya disebut “Hiki”.
Lantas bagaimana perkembangan becak di Indonesia? Masih dilansir dari situs becakjogja.com bahwa becak di Indonesia diyakini muncul pada masa awal Perang Dunia II, model awalnya dibuat oleh seorang berkebangsaan Jepang di Makassar yang kemudian di bawa ke Batavia (Jakarta) dan Semarang.
Konon, kata becak sendiri berasal dari bahasa Hokkien, yaitu Be Chia, yang berarti kereta kuda. Becak banyak dimanfaatkan sebagai alat transportasi angkutan penumpang maupun sebagai alat angkutan jenazah jarak dekat. Becak juga memberikan kontribusi yang substansial sebagai salah satu alternatif angkutan perkotaan di kota yang tidak terlalu besar.
Dalam perkembangannya becak menjadi salah satu sarana transportasi utama penopang sendi perekonomian masyarakat pada berbagai wilayah di Indonesia, terutama di daerah sekitar pasar-pasar tradisional, perkantoran, pusat keramaian dan sekolah-sekolah. Namun seiring perjalanan waktu, operasional becak terutama di kota-kota besar mulai dilarang oleh pemerintah daerah setempat.
Berbagai macam alasan dikemukakan, mulai dari dianggap sebagai biang kesemrawutan dan kemacetan hingga dianggap sebagai alat transportasi yang terlalu mengeksploitasi tenaga manusia secara tidak wajar.
Salah satu daerah yang melarang keberadaan becak adalah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Larangan ini muncul pertama kali melalui Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta tentang Pola Dasar dan Rencana Induk Jakarta 1965-1985 yang. Dalam perda tersebut diantaranya pemerintah DKI Jakarta tidak mengakui becak sebagai kendaraan umum. Bahkan pada tahun 1970, Gubernur kala itu mengeluarkan instruksi yang melarang produksi dan pemasukan becak ke Jakarta.
Kebijakan itu dilanjutkan pada era kepemimpina Gubernur R Soeprapto, yang mengeluarkan kebijakan Jakarta bebas pada tahun 1985. Kebijakan ini konsisten diteruskan hingga pada era kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Meskipun selalu mendapatkan penolakan dari kalangan penarik becak, namun pemerintah DKI Jakarta tetap konsisten menerapkan kebijakan tersebut. Kebijakan yang sudah dilaksanakan selama kurang lebih 50 tahun tersebut saat ini secara mengejutkan akan diganti dengan kebijakan baru oleh Gubernur DKI Jakarta terpilih, Anies Baswedan.
Ya, gubernur baru DKI Jakarta dengan berani merubah kebijakan dengan kembali memperbolehkan becak beroperasi kembali di wilayah Jakarta. Menurut Anies, dengan dioperasikannya kembali tentu saja akan meningkatkan kesejahteraan para penarik becak, terutama yang ber-KTP DKI Jakarta.
Namun apakah akan semudah itu meningkatkan kesejahteraan para penarik becak dan eks penarik becak yang kembali beroperasi? Apakah nantinya kebijakan ini akan lebih banyak memberikan manfaat atau justru sebaliknya?
Secara sederhana kurang tepat apabila alasan utama memperbolehkan becak beroperasi kembali adalah untuk mensejahterakan kembali para penarik becak dan dalih guna menciptakan keadilan diantara warga Jakarta. Akan lebih tepat sasaran apabila para penarik becak diberikan lahan pendapatan baru dengan program-program peningkatan kesejahteraan yang bersifat stimulan dan kreatif.
Hal itu seharusnya dapat dilakukan mengingat wakil gubernur DKI Jakarta mempunyai program One Kecamatan One Center of Entrepreneurship (OK OCE) yang seharusnya dapat dimanfaat juga oleh para eks penarik becak untuk menggapai kehidupan yang lebih baik.
Kembali kepada persoalan becak, lihat saja bagaimana perkembangan transportasi yang terjadi saat ini terutama di kota-kota besar seperti Jakarta. Angkutan umum, bus kota, taksi konvensional, hingga taksi dan ojek online menyebar luas diseluruh antero Jakarta.
Bahkan bisa dibilang saat ini keberadaan angkutan umum dan taksi konvensional mulai terpinggirkan berkat kehadiran ojek dan taksi online yang menawarkan kemudahan, biaya terjangkau, dan kenyamanan yang lebih baik.
Bisa dikatakan, secara umum angkutan umum konvensional saat ini sudah mulai kalah pamor dibandingkan dengan angkutan umum berbasis online. Dengan peta persaingan yang semakin ketat seperti saat ini, apakah tepat apabila becak, yang notabene tidak mampu menawarkan kecepatan dan kenyamanan pelayanan transportasi mampu bersaing, diminati masyarakat, dan mensejahterakan pelakunya?
Perlu digaris bawahi bahwa kebijakan pengoperasian kembali becak terbatas hanya untuk jalan-jalan kampung dan sekitar area pasar tradisional serta tidak diperbolehkan beroperasi pada jalan-jalan protokol dan jalan utama lainnya.
Artinya, dengan semakin ketatnya persaingan transportasi saat ini ditambah dengan sangat terbatasnya area operasional becak, apakah tepat dan bermanfaat apabila kebijakan memperbolehkan kembali becak ini tetap dilaksanakan?
Menariknya adalah, belum lagi kebijakan ini diresmikan oleh Gubernur, sudah timbul masalah baru yakni mobilisasi becak yang berasal dari luar DKI Jakarta yang sudah mulai marak terjadi.
Bisa dibayangkan apabila mobilisasi ini terus terjadi tanpa kontrol dan kebijakan operasional becak tetap disahkan tentu saja justru akan sangat berpotensi menimbulkan masalah baru bagi pemerintah dan masyarakat DKI Jakarta.
Masalah kesemrawutan, kemacetan, dan ketidakadilan mungkin akan menjadi pekerjaan rumah baru sebagai akibat dari kebijakan tersebut. Semrawut dan macet akan mungkin terjadi sebagai akibat operasional becak di jalan-jalan kampung, area pasar, dan kemungkinan pelanggaran rute becak.
Ketidakadilan sosial akan mungkin terjadi karena para penarik becak yang ber-KTP Jakarta berpotensi mendapatkan saingan sebagai akibat mobilisasi becak dan penariknya yang berasal dari luar DKI Jakarta. Lantas sebenarnya, untuk siapakah kebijkan ini ?