Kamis, Maret 28, 2024

Becak Di Ujung Kayuh!

Fatony Darmawan
Fatony Darmawan
Rakyat biasa yang hobi menulis,seorang pelajar dan seorang penikmat opini publik.

Persoalan legalitas Bentor (becak motor) di Indonesia semakin pelik dan sukar dipecahkan. Di beberapa daerah khususnya di Yogyakarta, keberadaan Bentor kian menjamur. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaannya saat ini akan terus memeras jeritan penyedia jasa becak onthel.

Disamping itu, pandangan tajam juga datang dari masyarakat yang menganggap bahwa kehadiran bentor akan merugikan aspek lingkungan dan keamanan berkendara. Bentor disangkakan melanggar Pasal 48 Ayat 1 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyatakan bahwa “Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan harus memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan”.

Menjamur dan berkembang pesatnya becak di Indonesia tidak mengindikasikan bahwa becak adalah moda transportasi asli tanah air. Pasalnya, sejarah mencatat lewat Lea Jellanik dalam Seperti Roda Berputar, mengatakan becak didatangkan ke Batavia dari Singapura dan Hongkong. Jepang digadang-gadang menjadi tempat asal-muasal becak.

Diperkuat lewat pernyataan John King Fairbank (1989) yang menuturkan bahwa ditemukan sebuah rancaman dari budaya barat dan timur yaitu becak yang dijumpai di Jepang pada 1869. Di sana menyebut kendaraan ini dengan nama jinrikisha yang berarti kendaraan bertenaga manusia.

Di negeri sakura becak sangat kondang digunakan untuk transportasi umum. Merujuk dari The Jinrikisha story (1996), By 1872, some 40,000 rickshaws were operating in Tokyo. They soon became the chief form of public transportation in Japan.

Semenjak napak tilas Jepang (1942) posisi becak di Indonesia semakin kuat. Erwiza Herman (2013) mengilhami penyebutan kata becak di Indonesia berlatar belakang dari bahasa Tionghoa yaitu Be dan Chia yang berarti kendaraan.

Diberlakukannya pelarangan terhadap penggunaan kendaraan bermotor serta sangat selektifnya kontrol Jepang terhadap penggunaan bensin mendorong eksistensi becak sebagai moda transportasi publik. Kenaikan jumlah operasi becak bertemali dengan meningkatnya angka kriminalitas, perampokan sepeda pada tahun-tahun pertama dan kedua masa pendudukan Jepang.(Sinar Hindia,4-7-1-42 dan 12/18-5-42).

Blasius Haryadi (2011) membukukan tentang bibit buwit betjak/becak/bechia bisa sampai di Yogyakarta. Beliau menuliskan permulaan becak terjadi pada awal 1950-an disaat para pedagang Tionghoa membawa contoh becak dari Semarang.

Bertemali dengan itu, bengkel-bengkel muncul dengan merintis bentuk becak dengan pengemudi dibelakang hingga saat ini. Dilihat dari segi etnik, banyak penarik becak adalah orang-orang China terutama suku Hok Cia yang kemudian mengimbit kepada orang-orang Jawa dan Sunda.

Dalam perspektif ekonomi, kemunculan bentor dapat membunuh pendapatan becak onthel. Padahal becak onthel sempat menjadi primadona kala depresi ekonomi dunia melanda.

Studi dari Susan Abeyasekere (1985) menginformasikan bahwa kemunduran perusahaan-perusahaan besar telah melahirkan pengangguran dan banyak sebagian diantara mereka memilih menjadi pengayuh becak.

Becak menjadi alternatif transportasi bersanding dengan sepeda,trem,saldo/delman,dan beberapa bus angkutan untuk melayani penduduk Kota Batavia yang berjumlah 530.000 orang berdasarkan sensus penduduk tahun 1930.

Pramoedya Ananta Toer (1957) menuliskan tentang sindiriannya berkenaan perubahan mencolok angkutan kota sejak periode pendudukan Jepang tentang posisi manusia yang rendah sebagai kuda dan sopir demi uang (penarik becak).

Meski hidup dalam bingkai sejarah yang asik,tampaknya becak kayuh menjadi moda transportasi yang rawan terpinggirkan ditengah arus perkembangan zaman.Walau sama-sama merupakan moda transportasi publik, namun terdapat kesenjangan sistem kerja diantara becak kayuh dengan bentor.

Bentor memiliki jangkauan lebih untuk mengantar dan mencari penumpang. Apalagi daya tariknya adalah embel-embel “tempuh waktu yang lebih singkat”. Sementara becak onthel masih bertahan dengan elemen-elemen seperti pedhal, ramah lingkungan dan handuk yang melingkar untuk sekadar menyeka keringat.

Sebagai alat transportasi lokal, becak onthel memang diminati masyarakat,khususnya bagi wong cilik. Selama ini,becak sangat berguna untuk media angkut-angkut yang tidak terlalu menguras isi dompet.

Misal saja untuk angkat hasil tani, belanjaan pasar atau sekadar berjalan-jalan. Selain itu, becak juga siap bertarung ditengah padatnya lalu lintas kota menerobos disela-sela roda empat dan ojol.

Namun becak onthel sedikit banyak keberedaanya lekas terdesak dengan kehadiran becak tenaga mesin atau bentor. Kaum milenial yang menuntut apa saja serba cepat tentu lebih memilih bentor untuk menunjang aktivitas hariannya. Di sisi lain wong cilik mengeluhkan, Yogyakarta yang semakin padat, semakin berasap dan panas.

Bentor dianggap lebih klop untuk digunakan sebagai moda transportasi zaman now.Dampaknya dalam roda persaingan, becak onthel akan dengan mudah tergeser.

Sebagai wong cilik, penarik becak onthel juga masih pikiran dengan anak istri di desa untuk kebutuhan papan, sandang, pangan. Demi mencukupi kebutuhan di rumah, penarik becak.

Karut marut becak onthel ditengah kendaraan pribadi yang membanjiri Yogyakarta, membuat mereka menggeser sasarannya. Becak onthel dipandang memiliki popularitas di bidang pariwasata.

Jauh di lubuk kacamata wisatawan,becak onthel dirasa memiliki kharisma tersendiri untuk menarik pelanggan. Istrumen beroda tiga ini seakan-akan dapat bercerita tentang hal-hal sederhana. Filosofi kesederhanaan yang disajikan bersamaan dengan representasi Malioboro sebagai daerah yang mengakui keberedaan becak onthel sebagai bagian dari aset budaya Yogyakarta.

Situasi ini lambat laun dapat menggugah kembali semangat tukang-tukang becak untuk terus mengayuh menyebarkan cerita bagi penumpang-penumpangnya. Eksistensi wisatawan domestik maupun tuan kulit putih menjadi ladang tersendiri bagi tukang becak untuk menggondol penghasilan.

Apa yang dilakukan Pemda DIY belakangan ini laik untuk diapresiasi. Demi melindungi keberadaan becak dan andong, Pemda DIY merespon dengan mengeluarkan Perda Nomor 5/2016 tentang Moda Transportasi Tradisional. Becak onthel sudah esensial sebagai bentuk ikon Daerah Istimewa Yogyakarta.

Bagaimanapun juga bentor tidak dapat diklasifikasikan menjadi transportasi tradisional. Bentor mobilitasnya sangat bergantung dengan mesin bukan tenaga manusia. Alasan keamanan, kenyamanan dan keabsahan undang-undang membuat bentor urung dilegalkan menjadi moda transportasi publik.

Sudah saatnya rayap aspal (becak ontel) bangkit. Rayap aspal yang identik dengan sekelompok kaum marjinal yang secara ekonomi dan pendidikan di bawah rata-rata digugah dari tidurnya. Keberedaanya harus lebih ditenggakan.Implikasi pemerintah sangat diperlukan!

Fatony Darmawan
Fatony Darmawan
Rakyat biasa yang hobi menulis,seorang pelajar dan seorang penikmat opini publik.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.