Sorotan terhadap kebijakan pemerintah terkait Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum usai. Seakan menjadi sekuel sebuah film yang berlanjut dari satu episode ke episode yang lain.
Mulai dari proses pemilihan pimpinan KPK, revisi UU KPK hingga pembentukan Dewan Pengawas KPK selalu mendapat perhatian dan kritik dari masyarakat. Rentetan episode tersebut seolah akan menemui ujungnya saat Presiden memutuskan untuk memilih orang-orang terbaik seperti Tumpak Hatarongan Panggabean (Ketua), Artidjo Alkostar, Albertina Ho, Harjono, dan Syamsudin Haris sebagai dewan pengawas KPK sehingga diharapkan menjadi klimaks penutup happy ending dari sekuel KPK.
Namun yang terjadi tidaklah demikian, yang terbaru pemerintah berencana menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) yang merupakan turunan dari UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Tidak tanggung-tanggung pemerintah berencana menerbitkan 3 (tiga) perpres tentang KPK.
Tiga Perpres tersebut terkait dewan pengawas KPK, organisasi KPK, dan perubahan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN). Benar saja, pemerintah serius dengan rencananya dengan sudah menerbitkan Perpres Nomor 91 Tahun 2019 tentang organ pelaksana Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu yang lalu.
Problem Perpres KPK
Sejatinya kewenangan presiden membentuk perpres tidak secara tegas disebutkan dalam UUD 1945, istilah perpres ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Istilah ‘Peraturan Presiden’ ini muncul lebih didasarkan pada adanya upaya untuk membedakan bentuk keputusan presiden yang bersifat mengatur dengan keputusan presiden yang bersifat penetapan (beschikking).
Meskipun begitu, kewenangan membentuk perpres dilandaskan pada ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.
Justifikasi konstitusional Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 sebagai dasar membentuk perpres dapat dilihat pada konsiderans mengingat hampir semua perpres yang dibentuk pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 selalu menempatkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 sebagai dasar hukum, baik secara sendiri maupun disertai dengan beberapa dasar hukum lainnya.
Selain itu, dilihat dari materi muatan sebuah perpres menurut Pasal 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menjelaskan bahwa materi muatan perpres berisi materi yang diperintahkan oleh UU, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
Dipertegas oleh penjelasan Pasal 13 tersebut bahwa Peraturan Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah UU atau Peraturan Pemerintah secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya. Inilah ruang “abu-abu” yang secara subjektif bisa ditafsirkan oleh presiden untuk membentuk sebuah perpres.
Merujuk kepada ketentuan diatas, perpres KPK yang direncanakan oleh presiden sejatinya punya problem serius sebelum benar-benar dibentuk terutama perpres tentang tata kerja dan organisasi KPK. Andaikan perpres tersebut diterbitkan oleh presiden maka akan bertentangan dengan setidaknya 3 pasal dari UU 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Dimana, pada Pasal 25 (2) menyebutkan bahwa ketentuan mengenai prosedur tata kerja Komisi Pemberantasan Korupsi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal 26 menjelaskan bahwa ketentuan mengenai tugas Bidang-bidang dan masing-masing Subbidang diatur lebih lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi. Kemudian Pasal 27 (4) menyatakan bahwa ketentuan mengenai tugas dan fungsi Sekretariat Jenderal ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Izin Prakarsa dan Beban Politik Perpres
Proses penyiapan pembentukan sebuah pepres harus melalui izin prakarsa kepada Presiden. Mekanisme izin prakarsa bukanlah mekanisme perencanaan pembentukan peraturan perundangan-undangan namun merupakan izin prinsip yang diberikan oleh Presiden kepada kementerian atau lembaga yang ingin mengusulkan sebuah perpres.
Dasar hukum penggunaan izin prakarsa berdasarkan Pasal 30 dan Pasal 32 Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2014 yang secara umum mengatur bahwa, kementerian atau lembaga dapat menyusun perpres dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan izin prakarsa kepada Presiden. Dalam hal Presiden menyetujui permohonan izin prakarsa maka pemrakarsa dapat meneruskan proses penyusunan Perpres tersebut.
Tidak ada dasar hukum yang secara khusus mengatur mengenai tata cara penyampaian izin prakarsa dalam proses penyusunan sebuah perpres. Namun demikian, berdasarkan tugas dan fungsi Kementerian Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet, kementerian atau lembaga dapat menyampaikan permohonan izin prakarsa melalui dua instansi tersebut.
Hal tersebut diatur dalam Perpres No. 24 Tahun 2015 tentang Kementerian Sekretariat Negara dan Perpres No. 25 Tahun 2015 tentang Sekretariat Kabinet. Tata cara penyampaian izin prakarsa kepada Presiden secara umum diatur mulai dari Menteri Sekretaris Negara meminta persetujuan ke Sekretaris Kabinet atas permohonan izin prakarsa penyusunan perpres dan atas substansi perpres dan Sekretaris Kabinet memberikan persetujuan kepada Menteri Sekretaris Negara atas permohonan izin prakarsa penyusunan perpres dan atas substansi perpres.
Artinya, meskipun secara formil sebuah perpres dibentuk melibatkan Kementerian Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet namun tanggung jawab tetap ada pada presiden. Bukan saja karena namanya adalah peraturan presiden namun karena izin prakarsa menjadi wujud tanggung jawab presiden.
Jika memang perpres tentang tata kerja dan organisasi KPK benar-benar terbit seperti sebelumnya beredar di kalangan masyarakat sipil dimana, draf perpres tersebut menempatkan pimpinan KPK di bawah presiden.
Bahkan, dalam pasal-pasalnya disebut pimpinan KPK merupakan pejabat negara setingkat menteri yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden sebagai kepala negara. Hal ini tentu mereduksi kelembagaan KPK dari sebelumnya independen menjadi dependen.
Akhirnya, presiden tentu harus benar-benar mempertimbangkan perpres tentang tata kerja dan organisasi KPK. Sebab, selain bertentangan dengan UU KPK, perpres juga akan menjadi beban politik serta legacy buruk sebuah pemerintahan. Di samping itu, masyarakat tentu akan menunggu sekuel dari episode-episode terhadap KPK dan mengingat siapa saja pemeran utama, pemeran pembantu hingga sutradara dari sebuah film yang disebut banyak orang sebagai pelemahan KPK.