Sabtu, Maret 30, 2024

Basa-Basi Suara Perempuan dalam Musrenbang

Paulus Mujiran
Paulus Mujiran
Paulus Mujiran, MSi Alumnus Pascasarjana Undip Semarang. Kolumnis, penulis buku, peneliti The Dickstra Syndicate Semarang.

Partisipasi perempuan dalam musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) dirasa belum maksimal. Kehadiran perempuan dalam musrenbang kerapkali hanya kedatangan fisik semata sementara aspirasi, pandangan dan suaranya kurang didengar. Hal ini disebabkan musrenbang mulai dari level terendah RT/RW, dusun bahkan kelurahan/desa dan kecamatan adalah hajatan yang cenderung bias gender. Dominasi patriarkhi lebih terasa dalam hajatan seperti itu.

Penulis pernah hadir dalam musrenbang kelurahan yang lurahnya adalah perempuan. Si ibu lurah yang notabene adalah perempuan – tetap kesulitan mengadopsi usul terkait isu perlindungan perempuan dan anak dalam prioritas usulan kegiatan. Klasik mendengarnya dari tahun ke tahun yang namanya usulan musrenbang adalah pembangunan fisik. Jika pun ada usul perempuan kerapkali bukan untuk kepentingan perempuan melainkan kian memperkukuh subordinasi laki-laki atas perempuan.

Usulan yang kerap muncul seperti pengadaan tape recorder untuk senam, pembelian bahan-bahan untuk kerajinan tangan perempuan, demo memasak, tikar untuk arisan kian mengukuhkan di sektor domestik. Bahkan cenderung stereotype. Menurut Ruslan (2010) sekalipun partisipasi perempuan dalam pembangunan kelihatan mengalami peningkatan, sebagian besar dianggap bahwa perempuan dalam banyak hal tetap sebagai pihak yang dirugikan dalam proses pembangunan.

Salah satu sebabnya karena model-model pembangunan yang dipergunakan yang dirancang dan dipergunakan tidak selalu memperhatikan relasi yang ada di antara perempuan dan laki-laki. Rendahnya keterlibatan perempuan dalam proses pembangunan telah terjadi mulai di strata di tingkat paling bawah dalam strata pemerintahan yang ada yaitu tingkat RT, RW dan desa. Ditengarai rendahnya aspirasi perempuan disebabkan oleh sedikitnya perempuan yang duduk dalam pengambilan keputusan.

Sementara di level yang lebih tinggi bahkan nasional keterwakilan perempuan cenderung sedikit. Keterwakilan perempuan di DPR RI periode 2019-2024 hanya mencapai 20,5 persen artinya terdapat 118 dari 575 anggota terpilih. Sementara untuk kepala daerah hasil pemilu 2019  hanya terdapat 14 perempuan yang menduduki jabatan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota.

Pada tahun 2000 pemerintah mengeluarkan Inpres No 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) di segala bidang pembangunan yang berisi, “menginstruksikan kepada semua pejabat termasuk Gubernur, Bupati, Walikota untuk melaksanakan PUG guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan pengevaluasian PUG atas kebijakan dan program pembangunan responsif gender sesuai tugas pokok, fungsi dan kewenangan masing-masing”.

Merujuk instruksi itu partisipasi perempuan wajib dalam setiap tahapan musrenbang. Secara normatif, dalam setiap tahapan musrenbang, keterwakilan masyarakat dapat dikatakan sudah cukup memadai. Pada saat musrenbang desa/kelurahan hadir anggota BPD sebagai wakil masyarakat dan tokoh-tokoh masyarakat. Demikian pula saat musrenbang tingkat kecamatan tokoh-tokoh masyarakat juga hadir. Saat musrenbang kabupaten atau kota  hadir tokoh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, termasuk perwakilan perempuan.

Masalahnya dalam setiap tahapan musrenbang perempuan juga diundang untuk hadir mewakili organisasi perempuan. Representasi kehadiran perempuan acapkali sudah dianggap cukup mewakili ketika berlaku prinsip yang penting ada perempuan hadir untuk mengisi daftar hadir dan didokumentasikan. Penyelenggara musrenbang juga kerap tidak peduli apakah ada usul perempuan atau tidak dapat dalam daftar usulan kegiatan. Atau yang hadir menjadi representasi keterwakilan perempuan dan menyuarakan aspirasi  perempuan.

Dengan demikian keterwakilan dalam bentuk kehadiran saja sebenarnya belum cukup menjamin aspirasi dari bawah tersampaikan atau menjadi bagian dari pengambilan keputusan. Mengacu pada John Friedman (1997) proses politik yang transparan dan aksesibel membuat masyarakat memperoleh kemudahan untuk terlibat dalam setiap proses pembangunan di setiap tahapnya. Dalam hal ini perencanaan partisipatif  lebih sebagai sebuah alat yang dapat meminimalkan konflik antar stakeholder.

Perencanaan partisipatif juga dapat dipandang sebagai instrumen pembelajaran masyarakat secara kolektif melalui interaksi antar pelaku pembangunan. Dalam prakteknya, meski musrenbang didesain secara partisipatif usulan pembangunan mayoritas bersifaf hal fisik. Ini jauh dari angan-angan perempuan. Di daerah yang masih ada kasus kekerasan pada anak dan perempuan nyaris tidak ada gagasan untuk menghentikan praktek kekerasan itu.

Prakteknya, hanya 50 persen dari usulan dari bawah yang benar-benar dapat terealisasikan. Andai ada usulan perempuan kerapkali termasuk dalam 50 persen yang dihilangkan itu. Yang kerapkali mudah diadopsi ialah usulan sarana publik seperti jalan, selokan, talut, jembatan sementara usulan terkait pendidikan, kesehatan kurang mendapat perhatian. Ironisnya, perlindungan terhadap perempuan dan anak harus perempuan sendiri yang memperjuangkannya. Sementara pengambil keputusan mayoritas bukanlah perempuan.

Dalam pelaksanaan musrenbang terdapat faktor yang mempengaruhi hasil musrenbang diantararanya faktor keakuratan usulan kegiatan. Ada kecenderungan bahwa usulan merupakan usulan yang diajukan oleh elit setempat baik RT/RW, dusun dan desa/kelurahan, hingga kecamatan sehingga partisipasi masyarakat jauh dari harapan. Ada kesan usulan itu sudah disiapkan sebelumnya sehingga bukan murni usulan rembug bersama masyarakat.

Di level desa/kelurahan pemerintah desa/kelurahan masih mendominasi perumusan prioritas kegiatan yang akan diusulkan pada musrenbang selanjutnya. Bahkan ada kemungkinan usulan itu nyaris sama dari tahun ke tahun. Dan forum musrenbang hanya dipergunakan melegitimasi usulan dari masyarakat. Selain itu minimnya pendamping atau fasilitator desa/kelurahan. Kurangnya pendamping yang kompeten menyebabkan prioritas kegiatan terkadang tidak bisa terakomodir dalam sebuah perencanan pembangunan. Jangan harap ada gagasan perempuan yang diadopsi selama dalam tim perumus tak duduk seorangpun perempuan.

Agar masyarakat tidak kecewa dengan keikutsertaan dalam musrenbang sebagai aktivitas pura-pura alias basa-basi perlu ada transparansi terhadap pelaksanaan musrenbang dimana usulan kegiatan yang sudah disusun dari bawah dapat terlacak. Banyaknya usulan yang hilang di tengah jalan menjadi penyebab masyarakat enggan terlibat aktif dalam musrenbang. Masyarakat perlu diberitahu dan dapat mengawal usulan mana saja yang diterima dan benar-benar dibiayai dengan anggaran. Sudah sepatutnya dalam musrenbang suara perempuan mendapat tempat yang luas.

Dengan mengabaikan aspirasi perempuan sesungguhnya telah mengabaikan kepentingan perempuan dan anak sekaligus. Usaha yang dirintis di beberapa daerah dengan menggelar rembug perempuan dapat menjadi sarana membuka dan mendengarkan aspirasi perempuan. Pekerjaan rumah berikutnya bagaimana mewujudkan suara perempuan itu menjadi kebijakan pembangunan yang berpihak kepada kepentingan terbaik perempuan.  

Paulus Mujiran
Paulus Mujiran
Paulus Mujiran, MSi Alumnus Pascasarjana Undip Semarang. Kolumnis, penulis buku, peneliti The Dickstra Syndicate Semarang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.