Sebuah Persfektif Dari Ekosistem Perpustakaan Umum Daerah dan Literasi Masyarakat
Pilkada serentak 2024 sesaat lagi. Riuh rendah ejawantah politik tanah air begitu dinamis. Lawan bisa jadi kawan, kawan bisa jadi lawan. Merata di berbagai tataran, baik elit maupun akar rumput. Dinamika tersebut akan terus bergulir di tengah semakin concern dan kritisnya masyarakat hari-hari sekarang ini.
Meski begitu, masyarakat, bagaimanapun selalu dijadikan objek bagi pemerintahan yang kelak dikomandoi oleh para Calon Kepala Daerah yang telah mendaftar ke KPU dan merengek minta dipilih ini. Masyarakat terpaksa memilih. Dalam artian deal-deal politik sudah lebih dulu terjadi antara sang calon dengan partai politik tanpa melibatkan masyarakat, karena sekali lagi, masyarakat hanya diberi peran sebagai objek. Tugasnya hanya memilih.
Kendati pun argumen di atas sangat mencekik dan seolah-olah masyarakat sangat inferior. Sejatinya masyarakat dalam kacamata sejarah politik adalah sang subjek. Sang pelaku utama. Vox Populi, Vox Dei. Justru karena tugasnya hanya sekadar memilih itulah, arah dan kebijakan pemerintahan bisa ”didikte” oleh masyarakat. Tak terkecuali bagi masyarakat yang merindukan dampak dan manfaat perpustakaan di daerahnya.
Akan halnya lembaga pemerintah lain, perpustakaan secara struktural adalah lembaga yang berjenjang tugas, fungsi, dan kewenangannya. Perpustakaan di daerah dengan mandat paling tinggi adalah Perpustakaan Umum Provinsi selanjutnya berturut-turut ada Perpustakaan Umum Kabupaten / Kota, Perpustakaan Kecamatan, dan Perpustakaan Desa / Kelurahan. Masing-masing bertanggung jawab terhadap literasi masyarakat di daerahnya.
Artinya Calon Kepala Daerah yang akan kita pilih mempunyai tanggung jawab terhadap informasi dan literasi kita kan?
Gambaran Besar Perpustakaan Umum Daerah
Secara holistik, perkembangan perpustakaan di daerah tak bisa dipisahkan dari isu pemerataan pembangunan dan otonomi daerah. Di kota-kota besar, banyak yang aware terhadap urgensi keberadaan perpustakaan. Selain karena SDM di perpustakaan itu sendiri, masyarakatnya turut menjaga dan mengawal ekosistem literasi masyarakat. Maka tak heran jika perpustakaan di kota-kota besar sangat bagus dan laik.
Kontradiktif dengan realita yang ada di daerah. Semangat para penyintas literasi yang senantiasa bergerak baik individu maupun kelompok tidak diimbangi dengan perpustakaan yang mumpuni. Stigma perpustakaan sebagai tempat buangan masih tumbuh dengan subur di sini: para pegawai yang bermasalah dengan kedisiplinan dan kinerja, pegawai yang jadi ”tawanan” politik, pegawai pra-pensiun yang ingin santai, justru ditugaskan di perpustakaan. Hal ini semakin menegaskan bahwa sistem merit pada pemerintahan daerah khususnya di perpustakaan berjalan dengan sangat buruk.
Alih-alih menjadikan masyarakatnya pintar dan cerdas dengan berbagai fasilitas yang ada, perpustakaan di daerah masih terjebak dengan permasalahannya sediri: tata kelola perpustakaan yang ngawur, gedung yang tidak layak, koleksi yang kurang dan tidak representatif, layanan yang tidak maksimal, sampai dengan akses informasi yang sangat minim.
Jika sudah begitu, bukankah ini waktu yang tepat agar suara kita didengar?
Sebuah Momentum untuk Masyarakat
Sebagai suara tuhan di pilkada serentak 2024 ini. Kita wajib melihat rekam jejak para Calon Kepala Daerah di dunia perpustakaan dan literasi apakah berpihak atau justru menghambat?
Jika berpihak kita pilih. Jika menghambat jangan dipilih. Sesederhana itu. Namun jika tak satu pun ada jejaknya. Kita berada di momentum yang tepat untuk ”lobi-lobi politik” hak kita atas akses informasi dan buku-buku berkualitas sebagaimana amanat UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan kepada para Calon Kepala Daerah.
Pun kita juga bisa menuntut agar isu strategis ini masuk ke dalam visi-misi serta program kerja unggulan para Calon Kepala Daerah. Tentu saja dengan cara-cara yang elegan: membuat petisi, diskusi terbuka, sampai dengan menulis di media.
Pada dasarnya para Calon Kepala Daerah tinggal memilih, mau ngurusin perpustakaan atau mau tidak dipilih? Tinggal pilih.