Pro kontra terhadap pemerintahan adalah hal lumrah saat ini. Entah itu pemerintahan negara, ataupun daerah. Polemik yang sering terjadi tak jauh dari birokrasii ataupun kritik pedas pada pemerintah.
Kritik dari warga atau rakyat itu ibarat rempah-rempah dalam memasak yang tak bisa terlewat dan diacuhkan. Tapi ya, sebagai rakyat kita tetap harus memberikan kritikan yang berisi dan tak mengabaikan fakta. Apalagi kalau bahas Banyuwangi, daerah yang mulai banyak dikenal melalui klenik “santet” nya yang tersohor itu. Sampai-sampai banyak film horor Indonesia belakangan ini marak berlatar belakang di ujung timur pulau Jawa. Mana lagi kalau bukan Banyuwangi. Kabupaten yang berhasil meraih julukan The Sunrise of Java di tahun 2021.
Ala-ala kritikus tersohor di luar sana, yang sering menikamkan pena tajamnya terhadap kinerja Pemkab, saya juga pernah melakukan hal yang sama. Tapi, akhir-akhir ini, yang bikin saya gatal karena masih banyak yang mengritik tanpa melihat fakta dan data. Agenda promosi Banyuwangi Festival 2023 dianggap tidak maksimal, event adat tak lagi sakral, penjiplakan festival unggulan, potensi wisata yang nanggung. Membuat saya sedikit heran.
Suara Hati Pemkab Banyuwangi
Susahnya menghilangkan citra ‘Kota Santet’ membuat Pemkab Banyuwangi terus mempromosikan pariwisata alam, budaya, dan festival-festival lainnya. Bagi saya usaha mati-matian Pemkab Banyuwangi setiap tahunnya patut diacungi jempol. Jumlah festival yang diselenggarakan pun tahun ini pun tak muluk-muluk hingga ratusan festival seperti tahun-tahun sebelumnya. Banyuwangi hanya menagdakan 55 festival di tahun 2023 ini.
Penghujuang tahun ini, event Banyuwangi Festival 2023 akan ditutup dengan Hari Jadi Banyuwangi (Harjaba) pada tanggal 18 Desember 2023. Acara B-Fest pada tanggal tersebut bertema Harjaba Fest & Refleksi Akhir Tahun “Old & New”. Memutar ulang kritikan-kritikan pedas di tahun ini perkara rangkaian Banyuwangi Festival yang cukup menukik hingga terjungkal. Saya tertarik untuk membahas beberapa festival Banyuwangi yang paling disoroti dan banyak mendapat komentar beragam dari masyarakat mulai dari yang positif sampai negatif.
BEC Plagiat JFC?
Acara daerah memiliki sejarah, cerita, dan keunikan masing-masing. Kata ‘plagiat’ saya kira terlalu berlebihan. Sempat saya membaca salah satu artikel yang sangat menohok tentang festival Banyuwangi yang dianggap plagiasi, tidak kreatif, wisatanya nanggung, hingga acara adat yang masuk dalam festival tidak lagi sakral, membuat saya sedikit tersentak.
Salah satunya adalah Banyuwangi Etno Carnival (BEC) yang disebut plagiat Jember Fashion Carnival (JFC). Padahal faktanya, BEC merupakan salah satu usaha Banyuwangi melalui akulturasi budaya untuk meningkatkan kunjungan wisata dan mengenalkan daerah Banyuwangi ke kancah nasional hingga internasional adalah hal yang sah-sah saja.
BEC yang pertama digelar di tahun 2011, berfokus pada etno atau etnik daerah Banyuwangi. Apabila dibilang penjiplakan JFC, perlu diteliti lebih dalam. Betul atau tidak. Meskipun beropini itu bebas, namun tetap harus pada jalur yang tegas dan memiliki data. Banyuwangi pun terkenal dari tarian khasnya yaitu ‘Gandrung’. Bukan dari BEC-nya. Bisa digarisbawahi bahwa ikon Banyuwangi itu Gandrung, sedangkan BEC adalah acara yang dihelatkan untuk lebih mengenalkan etnik dan budaya daerah Banyuwangi.
Pembangunan Wisata Banyuwangi itu Berproses
Pembangunan Wisata Banyuwangi tak senanganggung yang sering dibicarakan. Kalau mau dikomparasikan denagn daerah lain, Kota Malang misalnya, yang sudah mendjadi domisili saya sejak lima tahun terakhir, pembangunan wisata di Banyuwangi memiliki proses kenaikan yang baik. Ketimbang Kota Malang, yang mayoritas hanya menghabiskan dana untuk menggeser tugu di perempatan, patung-patung, dan lain urusan penggeseran yang membutuhkan dana tak sedikit. Bab ini mungkin akan saya bahas di lain waktu.
Dilihat dari track record perkembangan pembangunan wisata, saya kira 80% sudah baik. Jalan-jalan dan akses menuju lokasi wisata diperhatikan. Diperbaiki, dipercantik, agar wisatawan tidak kesulitan. Wisata yang ada di Banyuwangi dari selatan hingga timur tak ada habis-habisnya.
Saya bisa dengan bengga menjadi warga asli Banyuwangi juka kelak kawan saya ingin berplesir ke tanah kelahiran ini. Sebab pembangunan wisata Banyuwangi tak nanggung-nanggung, tepat sasaran. Kecuali, apabila yang dikritisi perihal wisata buatan, perawatan tak melulu harus menuntut Pemkab untuk bertanggung jawab. Jelas masyarakat sekitar yang harus bersama-sama bertanggung jawab.
Banyuwangi Menyimpan Banyak Prestasi
Banyuwangi sering jadi tuan rumah ajang nasional hingga internasional, seperti Ajang selancar paling bergengsi di dunia, World Surf League (WSL) yang digelar di pantai Plengkung (G-Land) pada 28 Mei hingga 2 Juni 2022 silam, berhasil mencuri perhatian dunia. Dari beberapa kandidat negara pilihan WSL 2022 seperti Hawaii, Australia, Amerika Serikat, Brazil, Afrika Selatan, Portugal, dan Tahiti, Indonesia melalui Banyuwangi berhasil menjadi tuan rumah WSL adalah suatu kebanggaan, bukan?
Selain itu, Banyuwangi juga menjadi tuan rumah Kejurnas Balap Sepeda Indonesia National Championship (INC) 2022, Kejurnas Livoli Divisi Utama 2022, hingga jadi tuan rumah IFRC ke-19 yang disiapkan dengan konsep digitalisasi event pada November di tahun yang sama, dan tuan rumah HKN/Hakernas ke-58 Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan pada data Pemkab Banyuwangi melalui website banyuwangikab.go.id, Banyuwangi mendapatkan banyak prestasi di sektor pariwisata dan inovasi publik. Saya kira prestasi-prestasi ini cukup untuk membungkam progres perbaikan Banyuwangi dalam mengenalkan daerahnya melalui beragam aspek.
Dilansir dari kominfo.jatimprof.co.id, tahun 2023 Pemkab Banyuwangi menyabet tiga penghargaan sekaligus di sektor pelayanan publik. Mulai dar Top 45 Inovasi Pelayanan Publik (Sinovik), penyelenggara Mal Pelayanan Publik (MPP) Terbaik, dan Pemantauan dan Evaluasi Kinerja Penyelenggara Pelayanan Publik (PEKPPP)di tahun ini.
Pada tahun ini, Banyuwangi juga menjadi salah satu tuan rumah acara Tour Kemala 2023. Ajang balap sepeda yang diselenggarakan oleh Ketum Bhayangkari yang mampu mendongkrak perekonomian di Banyuwangi, beserta kunjungan wisata yang melebihi ekspektasi. Hal ini disampaikan oleh Kadisbudpar Banyuwangi dalam wawancaranya di media Antara.
Event Adat Masih Sakral, Kok
Kesakralan upacara adat tak selalu harus ada yang unsur trance (kesurupan). Tidak ada kesurupan pun, upacara adat masih sakral. Pun meski didokumentasikan dan disebarluaskan juga bukan menjadi masalah ataupun menghilangkan nilai-nilai spiritual dan moral. Apabila seseorang dengan sengaja menghina, merendahkan, atgau mengganggu acara adat, barulah dapat disebut merusak kesakralan.
Sebuah promosi wisata dan budaya, pemerintah daerah dituntut untuk menonjolkan potensi wisata dan budaya yang dimiliki sebagai sebuah ciri khas daerahnya. Justru itu paket komplit untuk mengenalkan sebuah daerah di kancah nasional maupun internasional. Supaya masyarakat tau bahwa ada tradisi yang masih hidup hingga sekarang. Bahasa jawanya, “Nguri-nguri budhaya”.
Jadi bagaimana? Apakah Banyuwangi masih sesepele itu hingga dianggap plagiat & tidak inovatif?