Kebebasan, kesetaraan, dan kesejahteraan adalah visi yang hendak dicapai setelah runtuhnya rezim Orde Baru. 19 tahun sudah berlalu sejak Reformasi ditegakkan pada tahun 1998. namun secara retrospektif politik hari ini seolah tidak jauh berbeda dengan politik pra-1998. Pancasila sebagai supreme Ideology kini kembali hendak ditegakkan seperti masa Orde Baru. Wacana pengembalian dwi-fungsi ABRI juga turut berkibar di tengah diskursus politik hari ini. Ketakutan akan ancaman PKI kembali digerakkan, pun dengan pengesahan UU Ormas yang kembali menjadi tekanan bagi para ormas lain untuk menyampaikan ketidak-setujuannya pada Pancasila. Hal ini menjadi penanda bahwa kondisi hari ini tidak jauh berbeda dengan kondisi pada masa Orde Baru dalam soal kebebasan dan hak dasar.
Cita-cita penegakan HAM yang diharapkan setelah 1998 tak kunjung mencapai tahap final. Secara kualitatif, laporan-laporan Organisasi-organisasi pengawas penegakan HAM masih menunjukkan tidak kunjung selesainya penegakan HAM di Indonesia. Kasus-kasus HAM Papua dan kasus Munir dapat menjadi petunjuk sederhana bahwa penyelesaian kasus HAM bukan menjadi prioritas rezim yang berkuasa di pemerintahan saat ini. Penekanan semangat reformasi yang hendak menyemai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia juga masih terjebak dalam arahan-arahan Orde Baru untuk memastikan semua “perut kenyang” dan tak ada lagi masyarakat yang hidup dalam kemiskinan. Padahal jika ditelusuri lebih jauh keadilan sosial seharusnya memiliki intensi untuk berbicara pengarusutamaan hak dan kebebasan sebagai barang yang harus didistribusikan pada semua warga negara.
Klaim rezim Jokowi dalam menegakkan keadilan sosial tergambar secara vebal dari kebijakan satu harga BBM di Papua. Jokowi dalam pernyataanya telah menyatakan bahwa usaha untuk mengimplementasikan keadilan sosial dalam sila kelima Pancasila sudah dilakukan dengan menyamakan harga BBM di Papua dengan wilayah lain di Indonesia. Secara reflektif pernyataan tersebut telah menggambarkan konsep keadilan sosial yang dipahami dalam benak Presiden Jokowi. Ia melihat keadilan sosial sebagai keadilan dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan konsumsi, padahal keadilan sosial dalam pandangan yang lebih luas berbicara tentang pemenuhan kebutuhan akan hak dan kebebasan sebagaimana semangat awal Era Reformasi. Melalui refleksi kritis, kita juga dapat melihat bahwa belum ada perhatian khusus pemerintah pada kasus Paniai dan kasus HAM Papua lainnya yang terjadi pada saat kebijakan satu harga BBM disahkan. Padahal dua event politik tersebut terjadi dalam ruang yang sama dan waktu yang berdekatan.
Konsep keadilan di dalam benak rezim masih belum “move on” dari rumusan Mubyarto tentang Ekonomi Pancasila. Rumusan Mubyarto secara sederhana memandang wujud keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah wujud Indonesia yang berdikari, swasembada, dan yang serba cukup bagi mendorong terwujudnya kesejahteraan materiil. Hal inilah yang hendak diwujudkan oleh Jokowi dengan menggunakan paradigma new-developmentalism, dalam bentuk pembangunan infrastruktur fisik sebagai prioritas utama pembangunan negara yang berkeadilan sosial. Pada sisi yang lain, ada persoalan hak dan kebebasan yang kini tengah berada dalam kondisi yang perlu diselamatkan.
Trauma atas praktik politik rezim Orde Baru yang menyampingkan penghargaan negara atas hak dan kebebasan warga negaranya harusnya menjadi pemicu utama untuk menjadikan hak dan kebebasan dasar sebagai akar utama politik keadilan sosial di Era Reformasi. Namun, kenyataan politik hari ini menggambarkan kondisi yang berseberangan karena jalan pikir rezim masih mirip dengan jalan pikiran Orde Baru. Pancasila dijadikan basis pikiran demi alasan Order & Harmony sebagaimana jalan pikir Orde Baru terus memproduksi cara pandang tersebut melalui supremasi Pancasila dalam TAP MPR No. II/MPR/1978 tentang Ekaprasetia Pancakarsa. Di masa kini, UU No.2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan adalah jalan pembuka untuk menjadikan Pancasila sebagai alat dalam menciptakan Harmoni dalam perihal wujud dan eksistensi kebebasan “berormas.” Kenyataan politik hari ini merefleksiakn bahwa tidak ada bunyi dari Pancasila dalam menyuarakan kasus Kendeng, kasus Munir, investigasi kasus HAM Papua, reklamasi, dan sebagainya. Pancasila justru berbunyi jika berbicara soal Hizbut Tahrir Indonesia, terorisme dan ekstremisme yang harusnya dapat diselesaikan dengan pelaksanaan tugas perangkat keamanan negara yang terkelola dengan baik, serta supremasi rule of law. Seharusnya sila kedua dan kelima adalah jaminan universal bagi warga negara Indonesia untuk mendapatkan hak dan kebebasan yang layak jika kita menusuri kembali usaha aktualisasi dan rasionalisasi “Negara Paripurna” yang ditulis oleh Yudi Latif.
Keadaan tersebut secara sederhana menggambarkan kebangkrutan Reformasi dalam hal merasionalisasi, dan mengaktualisasi Pancasila, khususnya sila ke-lima Pancasila. Jika sebuah perusahaan mengalami kebangkrutan, maka ada dua hal yang dapat dilakukan oleh seorang CEO perusahaan tersebut; pertama mendeklarasikan bahwa perusahaannya bangkrut, dan kedua adalah dengan menambahkan suntikan modal. Dalam kehidupan bernegara, CEO tersebut adalah Presiden Jokowi. Ia harus mendeklarasikan bahwa negara dalam kebangkrutan ideologis atau ia harus menarik tambahan modal intelektual untuk menerjemahkan ulang Pancasila dengan pemahaman yang baru dan berbeda sebagai sebuah suntikan ideologis. Opsi pertama sepertinya akan sulit untuk dilaksanakan, sehingga opsi kedua adalah satu-satunya pilihan yang paling mungkin untuk dilaksanakan. Untuk melaksanakan opsi kedua tersebut, maka salah satu pilihan adalah dengan mengembalikan semua pemahaman Pancasila dalam perspektif HAM dan kebebasan karena kebutuhan zaman menuntut adanya hak universal, kebebasan sosial, politik dan ekonomi, dan keterbukaan sebagai landasan pembangunan peradaban.
Kondisi dimana orang-orang mendapatkan kesempatan untuk berbicara, bertingkah laku, dan mengejar sumber daya kebahagiaan tanpa ada hambatan eksternal harus dijamin dalam konstitusi. Jaminan tersebut harus ada demi peningkatan kualitas hidup, dan memperbesar kreatifitas publik seluruh warga negara Indonesia. UUD 1945 menjamin hal tersebut namun harus diuji melalui nalar publik karena hingga saat ini belum dapat menyelesaikan persoalan Ahmadiyah, pengepungan LBH, dan lainnya. Pancasila dalam kontestasi diskursus politik hari ini justru lebih berbunyi dibandingkan dengan UUD 1945, terutama sejak Jokowi mengeluarkan fatwa akan menggebuk semua yang berlawanan dengan nilai-nilai Pancasila. Implikasinya, usaha publik untuk menyampaikan nalarnya dapat dilakukan dengan menggunakan rule of game Jokowi untuk merevisi atau bahkan mendelegitimasi logika supremasi Pancasila itu sendiri. Warga negara harus mampu menjawab pertanyaan sejenis; apakah kasus Kendeng, pengepungan LBH, korupsi, pelanggaran HAM bertentang dengan nilai sila ke lima Pancasila? Jika pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan baik oleh pikiran publik maka ada kemungkinan Jokowi untuk menggebuk rezimnya sendiri jika kita semua kembali memikirkan Pancasila Era Reformasi sebagai Pancasila yang bersandar pada hak, kebebasan, & keadilan sosial.