Kamis, Maret 28, 2024

Bandung sebagai Calon Ibu Kota

Tri Joko Her Riadi
Tri Joko Her Riadi
Jurnalis, tinggal di Bandung.

Bandung pada 1920-an disiapkan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai ibu kota baru menggantikan Batavia yang udaranya membuat gerah dan rawa-rawanya menyimpan wabah. Persiapan itu tidak main-main. Bukan melulu rapat dan kajian.

Satu per satu gedung-gedung pemerintahan didirikan kota yang berjarak 140 kilometer di tenggara Jakarta ini. Dimulai dari markas militer, lalu menyusul kantor-kantor layanan strategis, mencakup infrastruktur, transportasi, dan telekomunikasi.

Pada 1924, gedung pemerintahan yang sekarang sohor dengan nama Gedung Sate, diresmikan. Bangunan hasil perkawinan arsitektur Barat dan Timur yang tepat menghadap Gunung Tangkuban Perahu ini disebut-sebut sebagai salah satu bangunan terindah di Hindia Belanda.

Melengkapi gedung-gedung pemerintahan, Technische Hoogeschool yang kemudian menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB) dibuka pada 1920. Setahun berselang, dibuka Rumah Sakit Borromeus di Jalan Dago. Pada 2025 giliran lapangan udara Andir, yang sekarang menjadi Bandara Internasional Husein Sastranegara, mulai melayani penerbangan.

Bandung pada 1920-an, sebagaimana termuat dalam buku “Wajah Bandung Tempo Doeloe” karangan Haryoto Kunto, betul-betul sedang sibuk bersolek. Gedung-gedung baru seolah memuncaki derap pembangunan ala kolonial yang sudah dimulai jauh-jauh hari. Jalan Raya Pos Daendels dibangun pada awal abad ke-19, disusul kereta api pertama yang masuk ke Bandung pada penghujung abad. Bandung tumbuh pesat sebagai kota modern yang dikelilingi perkebunan di pegunungan Priangan.

Semua pembangunan tersebut, termasuk pemindahan ibu kota, tentu saja dilakukan demi kepentingan kolonial. Udara Bandung yang sejuk membuat para penguasa asal Eropa nyaman mengelola daerah jajahannya. Bukit-bukit yang mengeliling kota di dasar cekungan danau purba ini memberikan jaminan keamanan dari serangan luar.

Sejarah kemudian mencatat, rencana pemindahan ibu kota dari Batavia ke Bandung yang sudah separuh jalan ini kandas akibat depresi besar dunia atau zaman malaise yang dimulai pada 1929. Kegagalan tersebut menyisakan gedung-gedung berarsitektur indah yang sampai hari ini kokoh berdiri sebagai warisan cagar budaya.

Namun sejarah pemindahan ibukota bukan hanya cerita tentang pemindahan gedung-gedung perkantoran pemerintah. Yang tidak bisa dihentikan oleh kesulitan uang akibat malaise sekali pun adalah makin menguatnya pergerakan nasional di Bandung selama periode tersebut.

Pemuda Sukarno datang dari Jawa Timur untuk belajar Teknik Sipil di Technische Hoogeschool pada 1920. Di kota inilah, sebagaimana diceritakan wartawan senior Her Suganda Dalam buku “Jejak Soekarno di Bandung”, Sukarno menemukan ketertarikan yang tak terbendung terhadap politik.

Di bawah bimbingan H.O.S. Cokroaminoto, ia menemukan kawan-kawan sebaya yang menjadi mitra diskusi, mulai dari Kartosuwiryo hingga Semaun. Berawal dari Algemeene Studie Club, ia lantas bergabung ke PNI (Perserikatan Nasional Indonesia, sebelum bersalin nama menjadi Partai Nasional Indonesia), partai politik pertama di Hindia Belanda yang didirikan pada 1927.

Menebalnya pergerakan kemerdekaan di Bandung pada periode 1920-1930, tahun-tahun ketika Kota Kembang ini bersiap menjadi ibukota, merupakan kelanjutan dari lahirnya benih-benih kesadaran kebangsaan sejak awal abad ke-21.

Dewi Sartika mendirikan sekolah pertama bagi kaum perempuan pada 1904. Tiga tahun kemudian, Tirto Adhi Soerjo, yang oleh Pramoedya Ananta Toer ditahbiskan sebagai ‘Sang Pemula’, mulai menerbitkan Medan Prijaji sebagai surat kabar pertama milik pribumi. Tirto secara sadar memilih menggunakan bahasa Melayu untuk menggugah kesadaran kelas menengah.

Setelah era kolonial, rencana memindahkan ibu kota dari Batavia tidak pernah mati. Kajian dibuat di zaman pemerintahan Sukarno, Suharto, sampai presiden hari ini Joko Widodo. Tapi sebagaimana kita tahu, belum ada presiden yang memiliki nyali lebih untuk mulai merealisasikan rencana yang penuh risiko ini.

Kalau pemerintah hari ini serius hendak memindahkan ibukota dari Jakarta, sebaiknya kepentingan rakyat yang dinomorsatukan. Bukan kalkulasi untung-rugi secara anggaran. Pemindahan ibukota semata-mata dilakukan demi perbaikan mutu layanan publik oleh pemerintah. Bukan pencarian tempat yang lebih nyaman untuk berkuasa sebagaimana dilakukan pemerintah Hindia Belanda seabad silam.

Bercermin dari Bandung pada 1920-an, sebaiknya pemindahan ibukota bukan hanya dilihat sebagai penciptaan kompleks perkantoran baru, tetapi juga penciptaan adab politik yang baru. Memisahkan pusat pemerintahan dari pusat ekonomi diharapkan betul-betul berdampak besar pada perilaku para pejabat dan politisi. Ketika merumuskan kebijakan dan proyek bersumber uang rakyat, mereka tidak lagi tergoda untuk mengeruk keuntungan bagi perusahaan miliknya atau milik keluarganya. Tinggalkan itu semua di Jakarta!

Ibukota yang lebih beradab secara politik melahirkan dinamika yang sehat antara pemerintah dan partai-partai penyokongnya dengan partai-partai oposisi. Bolehlah kita berharap, ibukota baru nanti memunculkan politisi-politisi muda yang mumpuni.

Mereka yang memikirkan dan memperjuangkan kepentingan kebangsaaan, persis seperti generasi Sukarno di Bandung pada 1920-an. Dinamika politik yang sehat ini yang menghindarkan pemerintah menjadi penguasa yang kebablasan, sama seperti pemerintah kolonial Hindia Belanda yang memenjarakan Sukarno dan kedua kawannya pada penghujung 1929.

Tidak ada lagi yang ditunggu selain kemauan dan keberanian. Hari ini, genap satu abad setelah juru kesehatan Belanda H.F. Tellema menurunkan laporan tentang ketidaklayakannya, Jakarta semakin kepayahan menanggung beban sebagai pusat pemerintahan sekaligus pusat ekonomi.

Udaranya semakin panas, semakin membuat gerah. Kota superpadat ini juga tetap menyimpan ancaman kesehatan. Bukan lagi malaria yang meneror dari rawa-rawanya. Tapi beragam penyakit yang disebabkan buruknya mutu udara akibat polusi. Juga stress yang mengimpit warga akibat macet dan banjir yang makin akut. Belum lagi kita bicara riset terbaru yang menyebut ajegnya laju penurunan muka tanah dari tahun ke tahun.

Sudah saatnya Republik berusia 74 tahun ini meninggalkan Jakarta sebagai ibukota negara. Sudah saatnya Republik berpenduduk 267 juta jiwa ini melangkah ke luar dari Pulau Jawa. Bukan karena usulan Tellema sang juru kesehatan Belanda, tapi demi kebaikan dan kesejahteraan warganya.

Tri Joko Her Riadi
Tri Joko Her Riadi
Jurnalis, tinggal di Bandung.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.